Kisah Ayah Saya Menangkap Pencuri Burung Kicau Milik Tetangga

Sangkar burung kicau. (Unsplash.com)

Sangkar burung kicau. (Unsplash.com)

Malam hari. Beberapa hari yang lalu. Saat baru keluar dari kamar mandi yang ada di lantai 2, saya tiba-tiba mendengar suara kicauan burung yang cukup menarik perhatian telinga. Yah, semacam suara merdu dari burung kicau.

Tapi, aneh sekali. Kenapa ada burung yang berkicau di malam hari? Saya bukan ahli burung. Tapi, bukankah burung umumnya bukan hewan nokturnal? Harusnya ia tidak banyak berkicau menjelang tengah malam hari begini. Lagipula, setahu saya, di sekitar rumah tidak ada yang memelihara burung. Lantas, suara apakah itu sebenarnya?

Cukup banyak pertanyaan timbul di dalam benak saya. Namun, belum habis pikiran saya mengawang-awang, ibu saya yang ada di lantai 1 ternyata lebih dulu meluapkan soal kejanggalan ini dengan bertanya kepada adik perempuan saya yang juga ada di bawah.

“Dek, kenapa ada suara kicauan burung, ya?”

Adik perempuan saya yang biasanya tahu akan “semua hal” kali ini menyerah dan berkata, “Nggak tahu, Bu.” 

Mungkin jawaban tersebut keluar karena adik saya sudah cukup malas untuk berpikir di malam hari. Tapi, ibu saya yang masih penasaran kemudian kembali bertanya.

“Memangnya di sekitar sini siapa yang pelihara burung kicau?” 

Untuk menjawab pertanyaan itu, kali ini adik perempuan terdiam sejenak. Terlihat berpikir lalu menjawab.

“Di depan rumahnya Ci Wawa ada sangkar burung, tadi pagi pas adek nyapu, keliatan kok dari luar. Mungkin suara kicauan burung ini punya Ci Wawa.”

Mendengar jawaban tersebut, ibu jadi agak lega, “Oalah, kirain ada apa-apa. Aneh kan kalau tiba-tiba ada suara burung kicau di malam hari tapi burungnya saja tidak ada.” 

Saya yang dari tadi hanya menyimak sambil terdiam juga ikut merasa tenang. Mungkin saja burung kicau itu bersuara karena merasa terganggu dengan lampu kendaraan yang hilir mudik. Satu hal yang paling penting juga memang ada yang memelihara burung di sekitar rumah. Jadi bukan suara gaib. Meskipun saya sendiri tidak mengecek kebenarannya secara langsung, tapi omongan adik perempuan saya ini rasanya bisa dipercaya.

Dengan terjawabnya pertanyaan mengenai burung kicau misterius tersebut, gugur pula niat saya untuk menuliskan pengalaman yang sedikit mistik itu dan mengirimkannya ke rubrik Malam Jumat Mojok. Tapi, bukan berarti saya tidak memiliki kisah yang ingin dibagikan kepada kalian semua.

Berbicara soal burung kicau, teringatlah saya akan sebuah peristiwa yang sebenarnya tidak heroik-heroik amat mengenai ayah saya. Mungkin tulisan ini terkesan agak tidak nyambung karena pada awalnya menceritakan pengalaman semi-horor tapi selanjutnya malah semacam kisah pahlawan. Tapi, biarlah begitu, yang penting saya bisa menceritakan satu-satunya hal heroik yang pernah dilakukan ayah saya. Setidaknya yang saya ingat.

Kejadian ini terjadi saat saya masih duduk di bangku SD. Minggu pagi, seperti kebiasaan orang-orang, kami sekeluarga punya kesIbukan masing-masing. Ayah saya biasanya mencuci motor, mobil, dan sepeda. Kebetulan, hari itu, ayah berniat mencuci mobil. 

Jadi, pagar garasi rumah harus dibuka untuk mengeluarkan sebagian badan mobil dari garasi sehingga menciptakan sedikit ruang di belakang garasi untuk aktivitas. Ibu sedang mencuci alat makan dan peralatan masak yang digunakan untuk membuat sarapan di tempat cuci piring. Kakak laki-laki saya biasanya mengurung diri di kamar setelah sarapan sampai matahari lebih naik. Saya dan adik-adik lainnya tentu menonton siaran kartun spesial hari Minggu di Indosiar, yaitu Pokemon dan Dragon Ball.

Saya menonton TV dengan cukup antusias, tapi langsung bosan setiap kali menunggu jeda iklan. Oleh karena itu, saya mulai mencari pusat perhatian lain. Duduklah saya di sebuah kursi di dekat pintu yang menghadap langsung ke garasi. Dari situ, saya bisa melihat ayah yang mulai menyiapkan segala sesuatunya untuk mencuci mobil.

Karena terlihat menyenangkan, saya dengan antengnya terus mengamati ayah yang sedang mencuci mobil. Sampai-sampai saya lupa kalau jeda iklan sudah selesai dan tayangan kartun sudah dimulai kembali.

Beberapa saat kemudian, saya mendengar suara motor bebek dari kejauhan melaju dari bawah ke arah atas jalan blok rumah. Motor itu kemudian melewati begitu saja ayah saya yang sedang mencuci mobil. Dari suaranya, si pengendara berhenti tepat di depan rumah tetangga kami, Pak Iwan. Awalnya saya dan ayah tidak menaruh curiga sama sekali pada pengendara motor tersebut. Mungkin saudaranya Pak Iwan yang berkunjung untuk bersilaturahmi di hari Minggu yang cerah itu.

Namun, setelah berhenti cukup lama, si pengendara tidak kunjung turun dari motornya. Dia malah melirik-lirik, mengamati sekitar dan sesekali melihat ke arah sangkar burung kicau milik Pak Iwan. 

Iya, kebetulan saat itu Pak Iwan masih memelihara burung kicau yang sangkarnya digantung di luar pagar. Ayah saya agak heran kenapa burung itu bisa ditaruh di luar pagar. Mungkin, Pak Iwan lupa memasukkannya ke dalam rumah sebelum pergi. Yah, lantaran digantung di luar pagar, sudah jelas sangat mengundang niat jahat. Setelah melihat hal tersebut, ayah saya mulai curiga si pengendara akan mencuri burung kicau milik Pak Iwan sambil terus memperhatikan gerak-gerik si pengendara motor.

Benar saja, tak lama kemudian, si pengendara motor dengan berani dan gegabahnya berusaha meraih sangkar burung milik Pak Iwan. Ayah saya pada saat itu masih berusaha bersikap tenang.

Ayah bertanya kepada si pengendara motor tersebut, “Mau ngapain ngambil sangkar burung itu?” 

Dengan polosnya si pengendara motor menjawab, “Saya diminta oleh yang punya untuk membawanya.” 

Tentu saja ayah tahu bahwa si pengendara motor itu berbohong. Ayah sejak tadi pagi ada di depan dan melihat Pak Iwan pergi bersama keluarganya. Meskipun tidak tahu ke mana perginya dan ada urusan apa, tapi yang pasti bukan ikut kontes burung kicau.

Mengetahui niat jahat si pengendara motor, Ayah saya pelan-pelan mendekatinya perlahan-lahan dan… HAP! Leher si pengendara seketika ada dalam cengkraman lengan bagian atas ayah saya. 

Sambil memohon ampun, si pengendara kemudian meletakkan sangkar burung kicau yang sudah diambilnya ke tanah. Dia juga tidak memberi perlawanan, seolah-olah sudah pasrah dengan nasibnya tertangkap basah hendak mencuri. Ayah saya kemudian membawanya dengan tenang ke arah rumah Pak RT.

Mendengar suara ribut-ribut, saya terdiam sejenak sebelum masuk kembali ke rumah. Ibu saya yang ada di dapur juga mendengar suaranya dan mencoba ke depan melihat apa yang terjadi. Kemudian, saya dan ibu melihat ayah sedang memiting seorang pria yang mengoceh tidak jelas. Saya, pada waktu itu, tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, ibu saya sepertinya mengetahui bahwa ayah baru saja menangkap pencuri. Ibu kemudian meminta saya untuk masuk dan menutup pintu.

Setelah beberapa waktu, saya melihat dari jendela banyak bapak-bapak ramai berjalan menuju Kantor RW. Di situlah ibu baru memberi tahu saya bahwa ada pencuri yang kemungkinan hendak mencuri burung kicau. 

Ibu kemudian meminta saya untuk mencoba mengintip ke kantor RW apa yang akan dilakukan bapak-bapak terhadap si pencuri tersebut. Namun, saya merasa agak takut untuk pergi ke sana. Entah apa yang saya takuti, pokoknya saya tidak mau dekat-dekat dengan kantor RW. Akhirnya, saya hanya melihat kantor RW dari kejauhan, dari situ saya melihat ada beberapa orang “berjaga” di luar ruangan kantor RW.

Setelah cukup lama memantau dari kejauhan, saya mengumpulkan keberanian dan mencoba untuk lebih dekat ke kantor RW. Di situlah saya bisa melihat kondisi terkini dari si pencuri burung kicau. 

Tubuhnya diikat dengan semacam tali di kursi dan diposisikan di tengah aula. Wajahnya tertunduk ke bawah dengan muka lebam. Saya sebenarnya pengin melihatnya lebih lama lagi, tapi salah satu bapak-bapak yang berjaga lebih dulu melihat dan meminta saya untuk kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, saya memberikan laporan kepada ibu. Ibu kemudian kembali meminta saya untuk tetap di rumah dan lanjut menonton TV. Saya mengiyakan permintaan ibu dan kembali menonton TV sambil bersemangat menceritakan apa yang terjadi “menurut saya” kepada saudara-saudara yang lain.

Menjelang siang, ayah baru kembali ke rumah sambil menghela nafas panjang, menandakan lelah atau perasaan negatif. Ibu membuatkan kopi dan kemudian meminta ayah menceritakan kembali peristiwa tadi. 

Mereka bicara cukup lama di ruang tengah. Saya yang penasaran tapi takut dimarahi, akhirnya mencoba untuk curi-curi kesempatan menguping pembicaraan mereka berdua. Dan untungnya, tidak ketahuan. Dengan cara seperti itulah saya bisa mengetahui cukup jelas peristiwa percobaan pencuriannya.

Begitulah kisah ayah saya menghentikan pencurian burung kicau milik tetangga saya. Memang kesannya kurang heroik dan menegangkan, tapi tetap ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut. 

Pertama, usahakan untuk tidak menaruh barang di luar pagar rumah, apalagi barang yang kelihatannya bernilai tinggi. Kedua, tolong-menolonglah dengan tetangga, karena merekalah yang juga akan pertama kali menolong kita jika dalam masalah. 

Penulis: Muhammad Raihan Nurhakim

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 3 Tipe Kicau Mania Dilihat dari Motifnya Memelihara Burung Kicau.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version