Pada dasarnya orang tua saya melarang saya kuliah, disuruh mondok dari bocah sampai menikah. Saya mondok ke Sarang Rembang karena dipaksa orang tua, bukan karena keinginan saya sendiri. Jika sekarang kenyataannya saya lulusan kuliahan hingga S2, itu karena saya mbeling saja; keluar dari tradisi keluarga saya yang santri pondok salaf, jadilah saya sarjana pertama sepanjang sejarah keluarga. Ya, saya ini santri mbeling.
Sebelum mondok, ibu berkata: “Wasiat almarhum kakekmu, kau harus mondok di Sarang, karena Kakekmu nyantri di Sarang tahun 50-an…” saya pun mondok ke tempat yang tak pernah saya tahu, saya baru mukalaf waktu itu, sedang asik-asiknya keluyuran. Lalu saya dijebloskan ke Sarang Rembang Jawa Tengah.
Sebelumnya saya tidak tahu siapa kiai-kiai Sarang, termasuk Kiai Maimoen Zubair. Saya tidak kenal sama sekali sosoknya, kecuali fotonya di ruang tamu rumah kakek.
Rombongan kami tiba di Sarang tahun 2007, ibu menanyai saya, “Kau mau mondok di ndalem mana? Di sini banyak sekali ndalem. Pilih aja mana kau mau. Ada Anwar, ada MUS, MIS, PMH, Nurul Anwar, Al-Amin, Al-Hidayah…” Saya pasrah saja, sehingga saya diletakkan di Pondok MUS, dengan alasan, dulu kakek saya di Pondok MUS, di bawah asuhan Kiai Ahmad bin Syu’aib bersama putera menantunya Kiai Zubair Dahlan (sang ayahanda Kiai Maimoen).
Tahun pertama di Sarang merupakan tahun yang saya jalani dengan penuh gejolak: Saya tidak kerasan. Saya sempat boyong ke Madura tanpa pamit pengurus pondok, ibu saya marah tak tertanggungkan, lalu saya balik kanan kembali ke Sarang. “Duh, ke Sarang lagi, ke Sarang lagi,” gerutu saya waktu itu. Sungguh, saya tidak betah sama sekali di Sarang. Kendati saya tidak kerasan, namun saya selalu ngaji kepada Mbah Maimoen Zubair (tiap sore dan Ahad pagi) dan Mbah Said Abdurrochim (tiap pagi dan siang), tak seharipun alfa. Ini aneh, memang aneh. Saya gak kerasan tapi seneng ngikuti wetonan.
Dalam keadaan tidak kerasan, teman saya mencoba menghibur dengan cerita karomah-karomah dan kewaliyan Kiai Maimoen Zubair. Ceritanya berepisode-episode, setiap hari diceritakan, kadang di warung, kadang di teras pondok, kadang sambil ngopi di pinggir sungai belakang pondok. Waktu itu saya hanya memiliki sangka bahwa yang disebut wali adalah orang yang bisa membaca pikiran orang lain. Ya, sebatas sangka culun saya begitu. Sehingga tak membuang waktu, saya berangkat ke ndalem Kiai Maimoen Zubair di siang bolong. Saya bergumam sendirian: “Kalau Mbah Moen memang wali, pasti Mbah Moen akan menemui saya siang bolong ini di depan rumahnya.” Demikian sifat mbeling saya waktu itu, bak cecurut menantang dewa. Teman-teman mengetawai saya.
Saya pun masuk lewat mulut gang dekat pondok ndalem Al-Amien menuju ndalem Al-Anwar. Di depan pintu ndalem Mbah Moen, ada sosok yang memantau saya sejak saya masih di mulut gang, matanya cekat memandang saya, saya drastis gemetaran mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, sungguh hati saya menahan malu. Sosok itu adalah Gus Kamil Maimoen. Gus Kamil terus memandang saya, hingga saya berada 1-2 meter di hadapannya, jantung saya berdegub kencang tak alang pialang. Dalam hati saya bergumam lagi, “Ini baru dipantau Gus Kamil, aku sudah gemetaran begini, apalagi kalau nanti dipantau abahnya.”
Tak dinyana, keesokan hari, ayah saya datang ke Sarang, tepatnya ayah tiri saya—baik ayah maupun ayah tiri saya saat ini sama-sama telah wafat, allahuyarham. Kedatangan ayah yang tiba-tiba itu, tentu membuat saya kaget. “Ayo ikut aku sowan ke Mbah Maimoen sekarang!” ajak ayah.
Saya kaget… “apakah kedatangan ayahku ini ada hubungannya dengan kecongkakanku dua hari yang lalu kepada Mbah Maimoen? Kok kayak ada benang merah yang sama…” Curiga saya dalam hati, saya cemas-cemas harap, berharap tak terjadi apa-apa.
Benar saja, ketika sampai di ruang tamu Mbah Moen, ayah saya mendorong tubuh kurus saya hingga tersungkur ke dalam pelukan Kiai Maimoen Zubair. Inilah pelukan pertama saya, saya langsung tewas dalam dekapan Kiai Tercinta, menangis dan tebata-bata mengucapkan permohonan maaf atas sikap mbeling saya dua hari sebelumnya.
Ayah saya berkata, “Anak saya ini tidak berhenti nakal, Kiai. Tolong doakan anak saya ini semoga menjadi bla bla bla…. [maaf dialog ini saya sensor].”
Saya masih dalam pelukan Kiai Maimoen, namun berubah posisi, kepala saya ada dalam pangkuannya. Hangat sekali, detail sekali. “Sopo jenengmu? Koe ngaji opo? Koe kelas piro saiki?” pertanyaan-pertanyaan Kiai Maimoen Zubair, saya jawab satu-persatu sambil merunduk, saya seperti tak punya muka. Kemudian beliau mengangkat tangannya, membaca doa, semua tamu-tamu yang ada di sana sekitar 20-an orang mengucapkan amin, amin, amin…. Saya menangis sejadi-jadinya… doanya panjang sekali.
Setelah berdoa, Kiai Maimoen menyuruh saya bangkit dari pangkuannya, lalu menyuruh saya menghabiskan segelas kopi panas, panas sekali… “langsung habiskan!” kata beliau, dan saya minum sekali tenggak. Panas full…! Seandainya bukan Mbah Moen yang sudah sangat sepuh itu yang menyuruh, pasti saya tidak mau minum dengan cara yang seganas itu.
Setelah minum, ayah saya langsung pamitan, dan langsung pulang ke Madura. Sebelum menutup pintu mobil, ayah berujar, “Lihat minggu depan! Kau akan tahu betapa beningnya hati Kiai Maimoen… dia waliyullah…” saya sontak kocar-kacir…. Ternyata peristiwa itu ada hubungannya dengan kecongkakan saya dua hari yang lalu, ada benang merahnya.
Benang merah itu kian saga. Persis seperti perkataan ayah saya di pintu mobilnya sebelum pulang ke Madura, bahwa seminggu setelah peristiwa sowan itu, tiba-tiba ada tamu agung dari Kota Damaskus… Syekh Rojab Dib namanya, kabarnya seorang mursyid thariqah. Kedatangannya disambut oleh marching band Al-Anwar dan forum halaqah di mushala Al-Anwar. Singkat cerita, Syekh Rojab Dib pidato dalam bahasa Arab di hadapan para santri, dan diterjemahkan oleh pengurus PCINU Demaskus kala itu, tidak diketahui namanya. Kurang lebih begini isi pidatonya:
“Wahai santri sekalian, tahukah kalian? Aku melihat cahaya-cahaya bersinar-sinar dari wajah Kiai Maimoen Zubair. Lihatlah dan perhatikanlah wajah kiai kalian ini, dari setiap lubang-lubang kulit tubuhnya, lubang-pori wajahnya, memancarkan cahaya… maka sungguh tak salah bila pesantren ini dinamakan Al-Anwar (Cahaya-cahaya). Aku bersaksi bahwa Kiai Maimoen Zubair ini waliyullah, dia alim dalam keilmuan dhohir dan alim dalam keilmuan bathin. Jika di Indonesia jumlah Walisongo ada sembilan, maka aku berpendapat bahwa Kiai Maimoen Zubair yang ke-10…”
Syekh Rojab menyampaikan pidato sambil menderai-deraikan air mata. Semua santri dan hadirin menangis, Kiai Maimoen juga menangis, dan saya juga menangis dan seolah langsung tewas…
itulah acara halaqah terdahsyat yang pernah saya ikuti kala remaja. Setelah itu saya langsung betah di Sarang, kendati harus mandi 1x dalam beberapa hari. Karena cinta telah mengalahkan segala aroma bau dan kuman di tubuh ini.
Sumenep, 6 Agustus 2019–bakda isya awal
Catatan: Tulisan ini dimuat ulang dari status Facebook penulis.