Sebuah foto tua menarik perhatian saya. Dalam foto itu, ada seorang sepuh yang duduk di sofa mewah. Penampilannya kelewat biasa saja. Badan kurusnya berbalut kaos putih dan celana pendek. Secarik sarung mengalungi lehernya. Kontras dengan sosok di sampingnya yang lebih glamor. Dengan setelan jas dan peci hitam yang khas. Foto itu adalah dokumentasi pertemuan Ki Ageng Suryomentaram dan Bung Karno.
Sosok Ki Ageng Suryomentaram memang tidak senada dengan gelarnya. Bangsawan ini terlihat seperti figuran film yang berlatar pedesaan. Tapi penampilan sederhana blio selaras dengan filsafat yang diciptakannya. Hidup yang lepas merdeka tanpa tekanan apapun. Kawruh Begjo, itulah filsafat yang membuatnya dijuluki “Plato dari Jawa.”
Tidak hanya melahirkan pemikiran hebat, Ki Ageng Suryomentaram juga melawan. Bersama rakyat jelata, blio angkat senjata melawan Belanda. Bahkan muncul klaim bahwa blio yang menciptakan PETA (Pembela Tanah Air). Sebuah klaim besar yang membuat foto yang saya maksud tadi wajar.
Siapa sebenarnya Ki Ageng Suryomentaram? Kenapa namanya kelewat sepi ketika punya karya kelewat besar? Kenapa pula sosok pangeran Jogja ini tidak terlihat seperti bangsawan?
Daftar Isi
Putra Sultan yang patah hati
Bendara Pangeran Harya (BPH) Suryomentaram adalah anak ke-55 Sri Sultan HB VII. Anda tidak salah baca, blio memang punya 79 saudara. Masa kecil blio dihabiskan di dalam Kraton Yogyakarta. Tentunya dengan segala kenikmatan yang hanya dimiliki putra raja. Namun kenikmatan ini tak membuatnya puas.
BPH Suryomentaram menghabiskan waktunya untuk belajar dan semedi. Berusaha menemukan jawaban dari ketidakpuasannya. Blio juga minggat dari kraton untuk jadi rakyat biasa. Suryomentaram kabur ke Cilacap menjadi pedagang batik.
Kaburnya blio membuat Sultan tidak berkenan. Sultan memerintahkan pencarian dan menjemput Suryomentaram untuk pulang ke Kraton. Perburuan membuahkan hasil, blio ditemukan di daerah Kroya saat sedang menggali sumur. Terpaksalah Suryomentaram pulang ke Kraton.
Kembalinya ke kraton tetap belum memuaskan hati Suryomentaram. Blio memilih untuk menjual seluruh hartanya dan hidup menggelandang. Konon, saat Sultan HB VII wafat, blio melayat dengan penampilan seperti gelandangan. Pada fase ini, Suryomentaram dipandang sebagai pangeran edan atau gila.
Akhirnya Suryomentaram mencoba sekali lagi untuk melepas gelar kebangsawanannya. Apalagi semenjak kakeknya dipecat dan istrinya meninggal. Permohonan ini akhirnya dikabulkan. Gelar BPH gugur, berganti dengan Ki Ageng Suryomentaram. Blio memilih menjadi petani dan tinggal di Bringin, Salatiga.
Keputusan ini tidak hanya melahirkan Ki Ageng Suryomentaram yang mantan pangeran. Namun juga melahirkan seorang filsuf yang dijuluki “Plato dari Jawa.” Selama 40 tahun, blio mengolah rasa dan menciptakan formulasi falsafah hidup: Kawruh Begja.
Plato dari Jawa yang bahagia
Seumur hidup Ki Ageng Suryomentaram berjuang membebaskan diri dari segala kekecewaan dan depresi. Kristalisasi pemikiran Suryomentaram dikenal sebagai Kawruh Jiwo atau Ilmu Jiwa. Beberapa sumber menyebut sebagai Kawruh Begja atau ilmu kebahagiaan/keberuntungan.
Saya tidak akan mencoba meringkas Kawruh Begja dalam artikel ini. Jangankan satu artikel, satu buku pun tidak akan cukup. Silahkan tanya Mas Irfan Afifi. Budayawan dan sejarawan ini saja harus membaca banyak manuskrip untuk memahami Kawruh Begja.
Tapi saya mencoba memberi gambaran tentang Kawruh Begja. Ilmu ini ini berfokus pada memahami diri dan keinginan manusia. Ki Ageng Suryomentaram menyatakan keinginan manusia sifatnya mulur-mengkeret. Alias selalu mengembang dan menyusut. Dengan memahami keinginan ini, manusia bisa memahami kebahagiaannya.
Bahagia dan duka akan selalu bergantian datangnya. Setelah bahagia, pasti akan ada duka. Setelah duka, pasti akan ada bahagia. Maka manusia tidak perlu terjebak dalam satu fase saja. Namun memahami dinamika ini. Dengan memahami dinamika ini, maka kebahagiaan lebih mudah terwujud dalam diri manusia. Tidak kelewat besar dan kecil.
Untuk mencapai titik kebahagiaan ini, Ki Ageng Suryomentaram memberikan Nemsa atau 6-sa: sakepenake; sabutuhe; saperlune; sacukupe; samesthine, dan; sabenere. Memahami Nemsa ini menjadi jembatan seseorang terlepas dari belenggu duka dan bahagia yang berlebihan. Menjadi merdeka untuk hidup.
Kira-kira, inilah secuplik Kawruh Begja yang baru seujung kuku. Bukan hiperbola, tapi memang ilmu satu ini sangat luas. Bapak saya yang sudah mendalami Kawruh Begja sejak muda merasa belum sempurna memahami ilmu ini.
Ki Ageng Suryomentaram, pejuang kemerdekaan yang dekat dengan rakyat
Perjuangan Ki Ageng Suryomentaram tidak hanya melawan dirinya sendiri. Tapi juga melawan agresi Belanda di Indonesia. Bahkan muncul klaim bahwa Ki Ageng Suryomentaram menjadi otak di balik berdirinya Tentara PETA.
Klaim ini masih diperdebatkan. Menurut sejarah resmi, PETA digagas oleh Gatot Mangkupraja. Salah satu karya blio berjudul “Jimat Perang” dipandang belum cukup membuktikan dirinya sebagai penggagas PETA. Tapi bukan berarti Ki Ageng Suryomentaram tidak ikut berjuang melawan Belanda.
Pada masa 1947 sampai 1949, Suryomentaram menjadi pemimpin dari Pasukan Rakyat Jelata. Sebuah organ militer akar rumput yang aktif melawan agresi militer Belanda. Kiprahnya dikenal luas di Kota Jogja. Ketika Suryomentaram harus mengungsi ke Gunungkidul, ia tetap membakar semangat para gerilyawan.
Setiap malam Jumat, Suryomentaram mengunjungi Makam Raja-Raja Imogiri. Bersila di Bangsal Suwargan, blio memberi wejangan tentang kondisi bangsa. Para gerilyawan dan simpatisan duduk melingkar mendengar wejangan sang filsuf kere ini.
Bung Karno meminta wejangan pada Ki Ageng Suryomentaram
Tidak hanya para gerilyawan dan rakyat jelata yang haus wejangan dari Suryomentaram. Presiden pertama Indonesia juga butuh buah pikirnya. Pada 1957, Bung Karno mengundang Suryomentaram ke istana negara. Agar bisa mendengar langsung pandangan sang filsuf tentang permasalahan negara yang masih sangat belia ini.
Tidak ada rekaman pasti tentang apa yang mereka bicarakan. Tidak ada juga dokumen yang mencatat diskusi mereka. Hanya ada satu foto tua yang saya bahas di awal artikel. Sebuah gambaran kontras namun menunjukkan sikap Ki Ageng Suryomentaram. Di manapun ia berada, ia tetap merdeka. Tidak terjebak kepalsuan busana megah ataupun sikap sok hebat.
Ki Ageng Suryomentaram meninggal di Jogja pada 18 Maret 1962. Jenazahnya disemayamkan di Makam Keluarga Cepokosari, Pleret, Bantul. Makamnya telah didirikan nisan elegan dan bercungkup. Nisannya tidak berlebihan. Tidak juga mencatat perjalanan dan buah karyanya.
Sosok Ki Ageng Suryomentaram tidak pernah semegah ayahnya. Tidak pula setenar bapak bangsa dan juga pemikir lain. Tapi saya yakin Ki Ageng Suryomentaram tidak ambil pusing. Tidak masalah jika dirinya dilupakan sejarah. Tidak masalah jika namanya hanya dibicarakan segelintir orang yang sedang mempelajari sejarah. Suryomentaram telah terbebas dari keinginan itu. Tanpa dikenang, ia telah merdeka seutuhnya.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Belajar Menjadi Manusia Merdeka dari Ki Ageng Suryomentaram