Setiap kali hendak ke Yogyakarta, saya harus pergi ke Terminal Boyolali terlebih dahulu. Lalu ke Solo dan naik kereta ke Yogyakarta. Untuk sampai ke Terminal Boyolali, saya mesti naik bis dari Pasar Cepogo.
Bis itu kecil dan biasanya bertuliskan “Duta Sayur” atau “Sayur Gunung”. Biasanya digunakan untuk mengantar ibu-ibu dari Selo ke Cepogo dan Cepogo ke Boyolali atau sebaliknya. Pokoknya untuk mengantar ibu-ibu pasar guna jual beli hasil tanam.
Berada dalam bis yang sama dengan ibu-ibu itu menjadi cerita tersendiri bagi saya. Ada beberapa hal yang saya rasa menjadi keuntungan bagi penumpang. Berikut ini saya tuliskan beberapa di antaranya. Cekidot~
1. Bis berjalan dengan santuy
Saya termasuk orang yang tidak suka kebut-kebutan. Mau itu sepeda onthel, motor, mobil, truk, ataupun bis. Jadi, saya tidak suka kalau disuruh naik bis Sumber Kencana yang kesetanan itu. Mau sih, tapi tidak suka aja. Lah saya ini kagetan. Bisa-bisa nanti jantungan. Amsyong dong~
Untungnya, bis pasar kecil ini memuat ibu-ibu—yang sebagian besar sudah berumur. Jadi ya, sopirnya nancap gas tipis-tipis saja. Selaju dengan jalan kaki ibu-ibu di karnaval desa—santuy tiada terkira.
Dengan laju seperti itu, saya bisa dengan nikmat memandangi jalanan. Pohon-pohon di kiri-kanan jalan—yang seperti kilatan ingatan—melintas begitu bersahaja—pelan-pelan saja. Kalau begini kan, saya bisa leluasa mengingat momen-momen bersamanya.
Menyenangkannya lagi, perjalanan bis kecil ini biasanya pagi hari—perjalanan dari Barat ke Timur. Ditambah, letak geografis Cepogo lebih tinggi dari Boyolali. Jadi bisa kamu bayangkan, betapa indah pemandangan.
2. Pertunjukan story telling
Laju bis yang nyaman buat ibu-ibu membuat mereka leluasa untuk bercerita. Saya suka memperhatikannya dengan seksama. Setiap ibu akan bergilir untuk bercerita. Meski terkadang chaos dan tumpang-tindih, semua mendapat bagiannya masing-masing. Biasanya yang tujuannya lebih dekat, bercerita lebih dulu.
Fenomena saling cerita seperti ini saya sebut sebagai pertunjukan story telling. Sebab dari setiap ibu, saya mendapat cerita yang berbeda. Entah cerita tentang anak-anaknya atau terkadang tetangga-tetangganya.
Mungkin memang lebih tepat disebut gosip sih. Tapi kan nanti gak jadi keuntungan. Makanya saya bahasakan dengan story telling—bak sebuah pertunjukan.
Selain alasan tidak mutu ini, kalau diperhatikan cara ibu-ibu bercerita mirip dengan pementasan drama. Satu ibu bercerita sambil duduk, tapi gestur tubuh dan mimik wajahnya ikut berbicara. Ibu-ibu lain menyimak dan sesekali menimpali. Setiap melihat ini, saya ingat penghancuran dinding ke empat (breaking the fourth wall) dalam pentas drama.
Saya membayangkan, ibu-ibu ini benar-benar sedang pentas di dalam sebuah gedung kecil bernama bis. Pentas yang mengandalkan ibu-ibu sebagai aktor seutuhnya. Tanpa memperhatikan tata panggung, rias, kostum, ataupun tata cahaya. Kurang lebih, seperti Teater Miskinnya Simbah Jerzy Grotowski. Yang terpenting adalah peristiwa pertemuan antara ibu-ibu sebagai aktor dan sekaligus penonton.
Nah, kalau sudah dibahas sampai segitu, sudah bisa disebut pertunjukan, bukan? hehe
3. Info harga di pasar
Di antara sekian naskah yang dipentaskan ibu-ibu tersebut, pasti terselip isu pasar. Paling jamak dibicarakan adalah perkara naik-turunnya harga yang sering mendebarkan.
Berkat ibu-ibu yang pulang dari pasar, saya jadi mengerti harga-harga terkini. Tidak jarang mereka mengeluhkan kondisi ini. Tapi toh dapur tetap harus dihidupi. Jadi sebisa mungkin mereka menyiasati.
Bagi anak kecil seperti saya—yang tidak tahu apa-apa selain bucin semata—info harga-harga tersebut tidak begitu berarti. Saya juga tidak belanja ke pasar setiap hari. Pol mentok, ya jajan dawet ayu yang harganya tetap lima ribu dari dulu. Jadi, saya senyum, nyengir, ikut terkejut, dan ekspresi lain menyesuaikan tangga dramatik emosi ibu-ibu.
Tapi untuk ibu-ibu lain yang sedang dalam perjalanan ke pasar—entah jualan atau belanja—info ini penting sekali. Fungsi pertama adalah sebagai patokan harga. Jangan sampai jauh dari harga yang seharusnya. Namanya juga pasar, harga kan sering manipulatif agar terjadi tawar-menawar. Perkara itu, setiap ibu mesti pintar.
4. Ada pasar dadakan
Poin terakhir ini memang jarang terjadi. Tapi kalau kamu sempat menemuinya, pasti untung sekali. Kamu bisa jadi pembeli tangan pertama dari ibu-ibu yang menjajakan dagangannya.
Sebagai pembeli pertama, kamu akan dapat harga lebih murah dan barang lebih bagus. Pembeli lain sebagai saingan tawar-menawarmu pun tidak sebanyak di pasar besar. Apa ya tidak menggoda hasrat jajan?
Saya sih sering menemui ini. Kalau pas cocok dagangannya, saya pun ikut membeli. Lumayan buat teman di perjalanan. Daripada beli di pedagang asongan yang sering gila dalam mematok harga. Ibu-ibu yang berjualan di bis ini jadi solusi paling hokya~
Nah, itulah beberapa keuntungan buat kamu kalau naik bis bersama ibu-ibu. Tapi ya itu, bisnya yang kecil saja. Bis yang memberi ruang untuk berbagi cerita. Bukan bis yang cuma memberi waktu kita berbicara dengan kondektur saja.
Selamat mencoba!