Ketua RT dan Janda Cantik: Sebuah Pengalaman Menyandang Status Pak RT

Ketua RT dan Janda Cantik (Unsplash.com)

Ketua RT dan Janda Cantik (Unsplash.com)

Tak terasa, sudah tiga tahun saya menjadi pejabat eselon enam, yaitu Ketua RT (Rukun Tetangga). Berbeda dengan jabatan-jabatan lain yang diperebutkan setiap lima tahun sekali, perebutan yang terjadi di level RT adalah berebut menolak. Jarang ada warga yang sukarela mencalonkan diri atau menawarkan diri menjadi Ketua RT.

Begitu juga yang terjadi saat Ketua RT di perumahan tempat saya tinggal ujug-ujug membuat surat pengunduran diri dan dibagikan ke semua warga. Tidak ada alasan yang dijelaskan dalam surat tersebut.

Lalu, beberapa warga, terutama para sesepuh perum, bersepakat menunjuk saya untuk jadi Ketua RT. Entah apa alasan mereka. Seribu jurus saya keluarkan untuk menolak. Tak mempan. Akhirnya, jabatan Ketua RT tersandang di pundak bersamaan dengan awal pandemi.

Tentu saja, selama tiga tahun menjabat eselon enam ini banyak kejadian atau peristiwa yang saya alami. Namanya Rukun Tetangga, ya… yang diurus tetangga. Bukan hanya tetangga kiri kanan rumah, tetapi tetangga satu perumahan.

Dari segala kejadian, ada tiga yang menarik dan sepertinya takkan terlupakan.

#1 Diajak nagih utang di tengah malam

Betul-betul tengah malam, antara pukul 00 sampai pukul 01. Malam itu saya dibangunkan satpam kompleks. Saat saya bertanya ada apa, dia hanya berkata, “Pak RT ke pos saja, di sana ada beberapa orang yang nunggu.”

Kaget juga mendengar “beberapa orang”. 

“Ada apa ini?” pikir saya sambil segera bergegas ke pos satpam.

Sesampainya di pos satpam tambah kaget lagi. Di sana sudah ada lima orang bertampang serem, jaket kulit hitam, ada yang memakai topi kupluk, ada yang rambutnya panjang. Saya sudah curiga mereka tim buser yang mau menangkap warga. Entah kasus narkoba atau kasus yang lainnya.

Setelah saya mendekat, salah seorang di antara mereka berkata, “Mohon maaf Pak RT, dibangunkan tengah malam. Begini, saya dan teman-teman ini mau menagih utang ke salah seorang warga Bapak. Orang ini sudah lama menghindar terus dan berpindah-pindah tempat tinggal. Kami sudah menyelidiki, ternyata sekarang tinggal di komplek ini.”

Ternyata mereka debt collector. Saya pun berpaling ke Satpam Komplek, “Lih, warga yang mana?”

Olih, satpam komplek, menjawab, “Yang di C-12, Pak. Baru seminggu pindah ke sini. Belum lapor ke Bapak, ya? padahal sudah saya suruh lapor.”

Saya hanya mengangguk.

“Tadi kami sudah ke rumahnya, tetapi yang punya rumah tidak mau keluar. Mungkin tahu akan ditagih. Nah, kami mohon Pak RT mau mengantar kami untuk ke rumahnya lagi,” kata debt collector yang tadi bicara. “Kalau dengan Pak RT mudah-mudahan mau keluar.”

Saya menyanggupi. Lalu, setelah beberapa kali salam dan menyebutkan bahwa saya adalah Ketua RT perumahan, yang punya rumah mau keluar. Ternyata yang ada di rumah cuma istrinya. Sementara suaminya, yang menjadi target debt collector, tidak ada.

Setelah memaksa istri si target memberikan alamat atau tempat-tempat di mana suaminya kemungkinan bersembunyi. Mereka pun berpamitan. Saya pun pulang dengan rasa kantuk yang sudah hilang.

Dan, beberapa hari kemudian, si warga itu keluar dari kompleks, pindah rumah lagi

#2 Mendamaikan istri tua dan istri muda

Sabtu sekitar pukul delapan pagi. Saat sedang menikmati liburan, tiba-tiba ponsel saya berdering. Tetangga yang rumahnya di blok belakang meminta saya datang ke rumahnya. Sekarang juga, katanya.

Sampai di rumahnya, ternyata sudah ada dua orang ibu-ibu.

“Begini, Pak RT. Ibu ini bilang bahwa suaminya disinyalir punya istri muda, dan istri mudanya itu tinggal di komplek ini,” kata tetangga saya seraya menunjuk ibu yang duduk di depannya.

“Oh ya, rumah yang mana, ya?”

“Itu Pak RT. Rumah yang depan itu, Bu Nni.” Tetangga saya menunjuk satu rumah yang ada di depan rumahnya.

“Kemungkinan suami saya sekarang juga ada di rumah itu, Pak RT. Karena semalam tidak pulang,” ibu yang tadi ditunjuk ikut berbicara.

“Lalu, sekarang bagaimana?” 

“Saya mohon Pak RT mau mendampingi saya mendatangi rumah itu. Memastikan betul tidak dia istri muda suami saya, syukur-syukur suami saya masih ada di rumah itu, jadi betul-betul ketahuan,” pinta si ibu.

Saya pun menyanggupi. Bertiga kita mendatangi rumah yang dimaksud, disertai teman si ibu, sedangkan tetangga saya tidak ikut.

Setelah mengucapkan salam dan Bu Nni membukakan pintu, saya pun berkata, ”Maaf, Bu. Ini ada….” 

“Alaaah…, nggak usah basa-basi Pak RT. Kamu pasti simpenannya si Ddy, ya? Saya istrinya. Dia pasti lagi ada di dalam.”

Belum sempat saya menyelesaikan kalimat, si Ibu melabrak Bu Nni, dan tanpa dipersilakan, langsung masuk ke rumah.

“Eh, Ibu mau apa, masuk-masuk?” Cegah bu Nni.

“Saya mau nyari suami saya, dia pasti ngumpet di dalam.” 

Berkata demikian, si ibu langsung masuk ke dalam rumah. Setiap ruangan dimasuki, termasuk lantai atas. Namun nihil, suaminya tidak ada. Nggak kebayang kalau suaminya ada.

Kesal tidak menemukan suaminya, kemarahannya pun dilampiaskan ke Bu Nni. Adu mulut pun terjadi. Beruntung tidak saling jambak.

Beberapa menit menyaksikan peperangan yang tak terhindarkan itu, sebagai Ketua RT, saya pun angkat bicara.

“Maaf, Bu Nni. Kalau ibu tadi mengaku sudah dinikahi pak Ddy, tolong perlihatkan buku nikahnya!”

“Belum ke KUA, Pak RT. Baru nikah siri.”

“Kalau begitu, tolong, Bu. Saya minta nomor suami Ibu,” kata saya ke si Ibu.

Setelah mendapat nomornya, saya langsung menelepon. “Halo, ini betul dengan Bapak Ddy?”

“Iya betul, dengan siapa ya?”

“Saya Urip. Ketua RT Perum Griya S. Ini saya sedang bersama istri bapak di rumah Bu Nni. Saya mau nanya, betul Bapak sudah menikah dengan bu Nni?”

Yang ditelepon tidak segera menjawab. Mungkin kaget dan tidak menyangka ada pertemuan mendadak dua istrinya.

Beberapa jenak kemudian, “Iya, sudah. Saya menikah dengan Nni.”

“Begini saja, Pak! Saya tidak ingin ada keributan di kompleks ini. Untuk itu, tolong saya minta dokumen, bukti Bapak sudah menikah dengan Ibu Nni. Kalau tidak ada bukti, saya akan meminta satpam kompleks untuk melarang bapak masuk ke kompleks ini.”

Saya pun mengakhiri telepon.

“Begitu saja, Bu. Tolong sekarang Ibu pulang saja dan selesaikan masalahnya dengan suami Ibu.” 

Saya menoleh ke si Ibu. “Dan untuk Bu Nni, selama belum ada dokumen bukti menikah, saya tidak mengizinkan ibu menerima Pak Ddy, karena bisa dianggap berbuat zinah.”

Kedua ibu itu, kelihatannya, cukup puas dengan keputusan saya.

#3 Dimintai tolong janda cantik 

Suatu sore, ponsel saya berdering. Saat melihat siapa yang menelepon saya kaget. Di layar tertera nama Lsy, seorang janda cantik, yang kebetulan warga perum, dan rumahnya hanya beberapa meter dari rumah saya.

Sebagai seorang Ketua RT yang bertanggung jawab, tentu saja saya terima teleponnya. Walaupun dipenuhi tanda-tanya dan hati dag-dig-dug karena istri duduk di samping saya.

“Assalamualaikum, Bu Lsy, ada apa ya?” 

“Pak RT, maaf, bisa minta tolong? Bisa ke rumah sekarang?”

Tentu saja kekagetan saya bertambah. Sore-sore, menjelang Maghrib, seorang janda cantik meminta saya datang ke rumahnya. Tak mau dikira ada affair, saya aktifkan loudspeaker, supaya yang lagi duduk di sebelah ikut mendengar.

“Maaf, Bu. Minta tolong apa ya?”

“Begini, Pak RT. Saya terkunci di dalam rumah. Nggak bisa keluar. Bisa minta tolong, bukain pintu rumah?”

Karuan saja, yang disebelah melotot, mendengar permintaan yang aneh itu.

“Bagaimana… bagaimana maksudnya, Bu?” 

Saya bertanya sambil menoleh ke yang duduk di sebelah.

“Anak saya yang besar marah, Pak RT. Dia keluar lalu ngunci rumah dan kuncinya dilempar ke rumah kosong yang ada di depan rumah.”

“Lalu putra ibu di mana?”

“Ada di luar, di depan rumah. Tolong Pak RT, saya nggak bisa keluar.”

Janda cantik minta tolong untuk datang ke rumahnya. Kok memori saya jadi inget cerita-cerita stensilan dulu, ya?

Soalnya yang kayak gini sering dijadiin modus tuh.

Saya pun beranjak ke luar rumah. Yang duduk di sebelah tentu saja ngikut, walau nggak diajak. Terlihat rona curiga di tatapannya. Dikiranya ini benar-benar modus, mungkin.

Singkat cerita, sampai di depan rumah si janda cantik, rupanya anak pertamanya, yang baru kelas 5 SD, ngambek, entah pengin apa, lalu mengunci ibu, adik, dan ART-nya di dalam rumah. Dan kuncinya dilempar. Karuan saja, yang di dalam rumah panik. 

Saya pun mencari-cari anak kunci. Sekitar 10 menit baru ketemu. Setelah menyerahkan kuncinya, saya pun pamit. Si janda pun mengucapkan terima kasih. Entah sambil ngedipkan mata sebelah atau tidak, saya tidak begitu memperhatikan. Soalnya, nih yang di sebelah terus nempel.

Itu kisah tentang tetangga. Sebenarnya masih ada kisah tetangga yang menarik untuk diceritain, tetapi karena kepanjangan kalau ditulis, cukup yang tiga itu saja. Yang lain menyusul.

Penulis: Urip Widodo

Editor: Yamadipati Seno 

BACA JUGA 5 Kesengsaraan Orang Berkacamata, dari Kecolok sampai Dibilang Sombong

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version