Saya yakin masih banyak orang yang kurang familier dengan Ketintang. Ketintang ini bukan nama sejenis umbi-umbian, ya, kalau itu sih namanya kentang. Ketintang adalah nama sebuah kelurahan yang ada di Surabaya. Secara administrasi, Ketintang termasuk dalam Kecamatan Gayungan dan letaknya dekat dengan Wonokromo.
Kelurahan ini cukup unik, sebab di sini berdiri tiga kampus besar, yakni Universitas Negeri Surabaya, Institut Telkom Surabaya, dan Universitas Bhayangkara. Selain tiga kampus tersebut, di Ketintang juga berdiri kantor-kantor besar mulai dari Telkom hingga bank. Ditambah lagi banyak tempat usaha juga di sini. Maka nggak heran kalau di Ketintang banyak perantau yang mengais rezeki dan menimba ilmu pengetahuan.
Sebagai perantau di Ketintang, saya merasakan kalau hidup di kelurahan ini sebenarnya nyaman. Banyak fasilitas penunjang hidup di sini dan cukup lengkap. Ada tempat makan, kos, kontrakan, kafe, toko, warung kopi, angkringan, ATM, pom bensin, rumah ibadah, pokoknya semua ada di sini, deh. Bahkan daerah ini juga dekat dengan Royal Plaza Surabaya, sehingga warga Ketintang kalau butuh healing, nggak usah pergi jauh-jauh.
Kalau Ketintang selengkap itu, kenapa juga dong saya sematkan embel-embel “neraka” bagi perantau saat Ramadan seperti di judul tulisan ini? Padahal kan kelengkapan fasilitas yang saya sebutkan tadi harusnya memberi kemudahan bagi para perantau yang sedang berpuasa.
Kalau dipikir dengan akal sehat, Ketintang memang bisa jadi surga bagi perantau saat Ramadan tiba. Sayangnya, berbagai fasilitas lengkap yang ada di sini justru membuat pembangunan infrastruktur terjadi secara tinggi sehingga nggak ada ruang hijau terbuka di sini. Lantaran nggak ada ruang hijau, suhu udara di Ketintang saat siang hari panasnya bukan main. Sebagai perantau dari Madura yang terkenal panas itu, saya harus mengakui kalau Ketintang lebih panas daripada Madura!
Dengan suhu panas yang bukan main, tubuh kita otomatis cepat lelah dan mengalami dehidrasi. Apalagi di bulan Ramadan seperti sekarang ini. Wah, rasanya pengin cepat-cepat azan magrib biar bisa buka puasa.
Dulu waktu awal kuliah di Ketintang, saya nggak membawa motor ke sini, sehingga harus berjalan kaki dari kos ke kampus. Sebenarnya jarak dari kosan ke kampus nggak terlalu jauh. Tapi, saking panasnya suhu udara di Ketintang, saya merasa lelah bukan main. Meskipun katanya setan dikurung saat bulan Ramadan, tapi karena kelelahan, sering kali muncul godaan agar saya membatalkan puasa.
Cobaan membatalkan puasa ini makin berat saat tinggal di Ketintang. Meski Ramadan berlangsung, warung kopi dan tempat makan masih pada buka. Bukan cuma buka, warung makan di sini bahkan menyajikan makanan secara terang-terangan. Jadi siapa pun yang melintasi jalan raya bisa menyaksikan orang menyeruput minuman dingin atau melihat orang makan nasi dengan lahap. Dengan situasi suhu udara panas dan pemandangan tersebut, siapa yang nggak tergiur membatalkan puasa? Hehehe. Hidup di Ketintang berat, Kangmas.
“Ayo, batalkan puasa aja, Bar,” salah satu teman rantau mengajak saya membatalkan puasa. Dia mengaku kalau sudah nggak tahan lagi berpuasa dengan kondisi panasnya Ketintang. Hal serupa juga pernah dilakukan teman kos saya. Dia berbisik kurang lebih begini, “Minum es teh jumbo di warung kopi enak, nih, apalagi cuacanya lagi panas, Bar!”
Mendengar ajakan untuk membatalkan puasa dari teman-teman saya itu, saya sih biasa saja. Wajar. Sebab, selama bulan Ramadan tentu ada perbedaan budaya ketika menjalankan tradisi puasa di kampung halaman dengan di Surabaya, khususnya di Ketintang ini.
Misalnya di kampung halaman saya, Madura, selama bulan Ramadan, nggak ada warung kopi dan tempat makan yang buka. Sehingga nggak ada tuh godaan untuk membatalkan puasa akibat melihat orang lain makan dan minum walau suhu udara Madura sedang panas-panasnya. Sekalipun ada warung makan yang buka, biasanya tempatnya akan ditutup rapat.
Hal ini berbeda dengan Surabaya. Orang Surabaya yang berpuasa biasanya juga nggak akan tergoda menyaksikan orang lain makan dan minum selama bulan Ramadan. Kebetulan teman kuliah saya banyak yang berasal dari Ketintang. “Udah biasa dari kecil, jadinya ya nggak tergoda juga lihat orang lain makan minum di tengah cuaca panas begini,” kata mereka.
Selain suhu udara yang panas menggoda iman untuk membatalkan puasa, nyatanya ketika mendekati waktu berbuka puasa di Ketintang pun muncul masalah baru. Sudah saya jelaskan ya di sini ada tiga kampus, berbagai macam kantor dan tempat usaha? Jadi tahu dong ya kalau menjelang waktu berbuka puasa yang berdekatan dengan jam orang pulang kerja, jalan raya di Ketintang biasanya macet parah. Kondisi jalan yang sempit nggak seimbang dengan kepadatan penduduknya.
Saya pernah lho pergi ke tempat makan dengan teman untuk bukber. Jika di hari normal cuma butuh waktu 5 menit dari kosan ke tempat makan, saking macetnya jalan di Ketintang saat bulan Ramadan, saya harus menempuh perjalanan hingga 30 menit.
Sungguh berat memang cobaan bagi para perantau di Ketintang saat Ramadan tiba. Namun, anggap saja semua cobaan tadi merupakan momen untuk memperbaiki keimanan. Bukankah puasa memang momen untuk memperbaiki diri?
Penulis: Akbar Mawlana
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Bakso Raos, Kuliner Endemik yang Wajib Diketahui Maba Unesa Ketintang.