Saat kecil saya sering dibanding-bandingkan sama Joshua Suherman oleh orang tua saya. Hal itu sungguh amat menjengkelkan. Padahal saya nggak pengin jadi seorang artis cilik. Namun pada akhirnya saya jadi insecure dan itu nggak asyik. Para om-om dan kakak kita, sering dibanding-bandingkan dengan Bapak Habibie, sang genius asli Indonesia. Lebih tepatnya disuruh jadi seperti Bapak Habibie. “Belajar yang pinter biar kayak Pak Habibie, bisa bikin pesawat!” Begitu kata para boomer. Kini, banyak pemuda dan pemudi yang insecure melihat pencapaian seorang Maudy Ayunda, aktris sekaligus penyanyi yang jempolan banget.
Siapa yang nggak pengin? Muda, berbakat, berprestasi, berpendidikan tinggi, saya yakin Mbak Maudy nggak pernah dipanggil ke BP, apalagi punya nilai merah. Seolah kehidupan Mbak Maudy adalah kehidupan sempurna impian banyak orang. Nggak kayak kita, yang masih saja bingung milih voucher paket internet, hanya karena beda lima ribu. Saat Mbak Maudy lulus dengan menggaet dua gelar sekaligus, sebagian kita masih suka bikin konten TikTok joget ngasal di warung dan nikahan tanpa rasa malu. Kasihan, mana masih muda.
Tapi, kita harus ingat satu hal. Sebenarnya Mbak Maudy itu memang hebat, namun tetap ada andil besar dari orang tuanya. Kita harus memahami bahwa asuhan dari orang tuanya adalah faktor besar yang mempengaruhi kehidupan Mbak Maudy, yang juga wajib kita pelajari. Orang tuanya bisa mendidik anak dengan baik, pun memberi privilese yang layak. Hasil dari segala privilese itu, mampu membuat seorang Mbak Maudy Ayunda jadi seperti sekarang. Berprestasi, bermanfaat, nggak omdo, dan banyak gaya. Nggak kayak anak orang yang lain, mentang-mentang bapaknya orang penting dan bisa ngasih banyak privilese, malah makin ngelunjak.
Mungkin kita nggak bisa jadi seperti seorang Maudy Ayunda, tapi kita masih bisa mengusahakan agar bisa jadi seperti orang tuanya Mbak Maudy. Mungkin memberikan privilese dalam bentuk harta, kita nggak bisa mirip seratus persen. Tapi, kita bisa belajar cara mendidik anak dengan baik dan benar. Seperti mengajarkan kemandirian dan empati, biar anak kita nanti nggak bombongan dan acuh dengan masalah di sekitarnya.
Menjadi orang tua memang nggak ada sekolahnya. Di zaman empat poin nol ini, sebenarnya mudah jika kita ingin mencari informasi. Ada banyak buku, kelas, sampai ke tutorial parenting. Banyak psikolog anak dan psikiater yang siap membimbing kita. Memang terkadang nggak murah ikut kelas-kelas semacam itu. Bund, ini semua inveatasi juga buat masa depan. Meski belum nikah apalagi punya anak, saya rasa belajar tentang parenting bisa dimulai dari sekarang. Hitung-hitung persiapan, biar nggak telat ngambil start, biar bisa berhati-hati sejak awal.
Seperti para tokoh berpengaruh lain, Habibie, Soekarno, Kartini, Ki Hajar Dewantara, dan lain sebagainya. Mereka datang dari keluarga yang bukan kaleng-kaleng, bangsawan, dan kaya raya. Segala privilese itu diimbangi dengan pendidikan kesetaraan hak dan rasa kemanusiaan yang tinggi dari keluarganya. Hasilnya juga nggak kaleng-kaleng, mereka bisa menghadirkan manfaat untuk banyak orang.
Nggak semua bangsawan di zaman itu mau menghargai orang lain, malah banyak yang jadi antek penjajah. Terbukti dengan privilese dan asuhan yang baik, seorang anak bisa tumbuh menjadi orang hebat dan berguna beneran bagi bangsa dan negara. Meski tetap saja, sebaik-baiknya mereka, saya nggak yakin mereka bisa lolos tes wawasan kebangsaan dari KPK yang ajaib itu.
Sumber Gambar: YouTube Trinity Optima Production
BACA JUGA Tagar #GoodbyeMaudy dan Harapan Orang Indonesia dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.