Sewaktu kuliah, dijelaskan oleh salah satu dosen bahwa kecerdasan manusia itu terbagi menjadi beberapa bagian. Ada kecerdasan musikal, linguistik, interpersonal, visual dan spasial, kinestetik, dan lain sebagainya. Yang jelas itu semua mengacu pada teori dari beberapa tokoh.
Sebagai mahasiswa yang baik dan ingin cari perhatian ke dosen, kemudian saya bertanya apakah mungkin jika seseorang memiliki banyak kecerdasan atau semua kecerdasan yang ada. Pada saat itu, dosen saya menjawab sangat mungkin tetapi sulit. Sebab, biasanya dalam diri seseorang ada kecerdasan yang dominan ada pula yang kurang—bukan berarti tidak memiliki sama sekali.
Terakhir saya mengikuti psikotes adalah saat wawancara kerja, salah satunya ada alat tes yang mengukur tingkat kecerdasan. Saya memang sudah sepenuhnya menerima jika kecerdasan saya tergolong rata-rata atau terbilang biasa saja. Namun, rasanya masih berat bagi saya mengakui bahwa kecerdasan visual-spasial saya mungkin termasuk rendah—khususnya dalam mengingat atau menghafal jalan juga bangun ruang saat berada di suatu tempat.
Sebelum familiar dengan Maps—termasuk memiliki handphone yang terdapat aplikasinya—saya selalu kesulitan dan khawatir jika jalan-jalan ke suatu tempat. Lebih tepatnya sih takut nyasar. Entah kenapa saya mengakui kurang pintar dalam mengingat jalan. Meski berangkat dan pulang melalui jalan yang sama, bukan hanya satu atau dua kali saya bisa nyasar—bahkan sampai beberapa kali.
Tidak usahlah ke tempat yang baru, ke tempat atau jalan familiar yang biasa dilalui di domisili sendiri saja masih seringkali nyasar. Pernah bahkan dalam kondisi panik—dan hampir menangis—saya menelfon teman untuk minta diarahkan jalan pulang. Teman saya puas menertawakan sambil mengarahkan jalan melalui telfon. Pada saat itu saya merasa blank sehingga buta jika melihat peta—aplikasi Maps.
Bukan hanya soal jalan, beberapa kali saya nyasar di beberapa mall besar. Bagi saya, melihat tempat dengan banyak blok dan pembatas terbilang memusingkan—dan merepotkan—karena harus menghafal banyak belokan dan apa yang menjadi patokan jika ingin kembali ke tempat semula—ke parkiran misalnya.
Mungkin benar apa yang pernah dikatakan teman saya sewaktu kuliah, saya orangnya tidak bisa hidup sendiri—bukan soal cinta—karena ketergantungan saya dengan keberadaan orang lain cukup tinggi alias sulit hidup mandiri. Apalagi dengan fakta bahwa saya sulit sekali mengingat atau menghafal jalan, dapat dipastikan butuh seseorang yang bisa mendampingi saya jika berada dalam suatu perjalanan.
Hal tersebut menjadikan saya seringkali enggan jika harus sendiri dalam bepergian khususnya ke tempat baru. Di wilayah sendiri saja masih seringkali nyasar, apalagi di tempat yang baru. Dengan alasan itu, sudah jelas saya tidak mungkin menjadi seorang travell blogger—kecuali pada akhirnya saya memberanikan diri.
Hal itu juga yang membuat saya kurang begitu tertarik untuk melakukan perjalanan wisata alam termasuk mendaki gunung yang pastinya saya akan semakin kesulitan jika tersesat sendirian. Bagi saya, jalan-jalan ke mall atau pusat perbelanjaan sudah cukup untuk dijadikan hiburan—selain olahraga, bermain musik, atau membaca.
Bukannya sombong dengan tidak mau mencoba bergabung dengan segala aktivitas teman yang dilakukan, tapi saya merasa memiliki cara sendiri untuk membuat paling tidak merasa nyaman dan bahagia dalam melakukan sesuatu meski hanya sekadar berdiam diri di rumah. Satu yang pasti, hal tersebut tidak menjadikan saya mengklaim diri sendiri sebagai seseorang yang introvert—hanya punya cara sendiri saja dalam menikmati kebiasaan.
Dengan adanya kecanggihan teknologi beserta aplikasinya, saya merasa terbantu dan dimudahkan khususnya sewaktu ada dalam perjalanan. Apalagi dengan adanya aplikasi Maps juga Waze, semua hanya tinggal melihat arah jalan melalui layar handphone. Perlahan, saya mulai bisa membaca peta berbentuk digital tersebut tanpa harus nyasar di suatu tempat.
Dan jika kecanggihan teknologi tidak berfungsi karena kendala teknis—baterai habis pun dengan powerbank—cara lama atau tradisional masih bisa digunakan dan terbilang efektif, bertanya langsung saja pada orang atau warga di sekitar ya, Bambang. Sebagaimana pepatah lama katakan, malu bertanya sesat di jalan. Tapi, saran saya sih, jangan terlalu sering atau selalu bertanya untuk segala hal, bukannya terlihat kritis dan keren, malah menyebalkan.