Melalui tulisan yang dibuat dan tayang pada laman Mojok, saya jadi mengetahui bagaimana Agus Mulyadi begitu nyaman menggunakan sandal jepit, khususnya merk Swallow, dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Katanya, pakai sandal Swallow itu nggak ribet, kalau mau lepas celana jadi lebih mudah, jika basah bisa cepat kering.
Dari pengakuan Agus Mulyadi yang dituliskan pada naskah berjudul “Mensyukuri Kenikmatan dan Kenyamanan Sandal Swallow”, saya juga jadi tahu ketika mengikuti seminar bahkan diundang ke stasiun TV saat diundang untuk suatu acara pun blio tetap menggunakan sandal jepit—begitu tiada dua kenikmatan serta kenyamanan yang dirasakan olehnya.
Jika Agus Mulyadi dan sandal jepit seakan menjadi satu-kesatuan yang sulit dipisahkan—bahkan mungkin sudah melekat sebagai citra diri—lain halnya dengan saya yang harus bertepuk jidat jika harus menggunakan sandal jepit dalam kegiatan sehari-hari. Bukan karena saya malu apalagi gengsi, bahkan saya sepakat bahwa menggunakan sandal ini memiliki tingkat kenyamanan sendiri. Lebih kepada, ketika memakai sandal jenis ini, berkali-kali saya harus menerima kesialan yang membuat saya merasa mangkel tanpa mengenal waktu dan pada tiap kesempatan berbeda. Berikut beberapa kisahnya:
Menggunakan sandal jepit setelah hujan reda mengakibatkan pakaian kotor.
Setelah hujan reda, jalanan pasti menyisakan becek dan jeblok (berlumpur). Dan sungguh menyebalkan ketika saya harus berjalan kaki menggunakan sandal jepit. Lha gimana, dalam kondisi demikian, badan bagian belakang saya dari punggung sampai betis selalu terkena cipratan basah atau lumpur bagaimana pun cara saya berjalan. Setelah saya telusuri, ternyata cipratan tersebut berasal dari area tumit sandal jepit yang sering kali mencipratkan lumpur hingga ke bagian belakang badan pada saat jalanan becek. Jika sudah terlanjur seperti itu, mau tidak mau harus mengganti baju. Masalahnya adalah ketika sedang di luar rumah. Kan jadi risih sendiri dengan pakaian yang jeblok.
Sandal jepit yang putus karena diinjak oleh orang lain dari belakang.
Untuk cerita ini, terjadi di beberapa tempat—utamanya di keramaian. Yang paling saya ingat adalah ketika berada di stasiun saat turun dari kereta. Kala itu, saya menggunakan sandal karena sedang musim hujan dan sepatu saya diinapkan di kantor. Saat masih berjalan kaki di stasiun, seseorang di belakang saya menginjak sandal jepit bagian tumit. Alhasil, sandal jepit tertahan dan karet diantara jempol kaki dan kaki telunjuk putus begitu saja. Singkat cerita, sandal yang saya gunakan rusak. Setelah itu, mau tidak mau saya berjalan sampai kantor tanpa alas kaki.
Terpeleset saat menggunakan sandal jepit.
Bahan utama sandal jepit adalah karet, dan sebagaimana diketahui semakin sering digunakan, semakin sering gesekan antara alas sandal dengan material yang dipijak akan semakin tipis dan terkikis. Akibatnya, sandal tersebut menjadi sensitif dengan sesuatu yang dipijak. Setelahnya mudah ditebak, beberapa kali saya jatuh di depan banyak orang. Nggak sakit, sih, tapi malu yang dirasakan membekas pada ingatan orang di sekitar hingga kurun waktu yang cukup lama. Saran saya, untuk meminimalisir terepelset, lakukan peremajaan sandal Anda. Kalau alasnya sudah licin, tidak perlu ragu mengganti yang baru. Ingat, keselamatan dan mengantisipasi malu saat terpeleset adalah hal utama.
Sandal jepit yang sering kali tertukar di masjid.
Saya pikir hal ini sudah dirasakan oleh banyak orang, khususnya ketika pergi ke masjid saat menunaikan salat. Entah kenapa, cukup banyak orang yang pergi ke masjid mengenakan sandal jepit dengan merk yang sama, Swallow. Maka tidak heran jika sandal rentan tertukar apalagi dengan corak yang sama persis. Bedanya hanya pada ukuran dan tingkat keusangan. Ajaibnya, orang yang menjadi korban sering kali mendapat sandal sisaan yang lebih usang dibanding miliknya. Saya pun pernah merasakan hal tersebut dan setelahnya misuh pun tak dapat dihindari.
Meskipun begitu, pada dasarnya saya tetap menggunakan sandal karet ini tapi pada saat tertentu saja. Ketika bermain atau jalan-jalan di sekitar rumah, misalnya. Untuk bepergian jauh atau ke suatu tempat saya tidak mau memakai sandal jepit lagi. Bukan karena gengsi, tapi untuk meminimalisir kesialan yang pernah terjadi, agar tidak terulang di masa mendatang.
BACA JUGA Suara dari Aktivis Sandal Swallow atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.