Mungkin kalian masih ingat dengan film garapan Watchdoc yang berjudul Sexy Killer. Film ini menjadi fenomenal karena mengungkap lingkaran para pemilik saham di perusahaan batu bara yang tidak jauh dari tokoh elit negara termasuk kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dampak negatif dari batu bara dan PLTU menjadi sorotan dalam film ini. Waktu perilisan film yang mana menjelang Pemilu 2019 berlangsung membuat film ini semakin banyak diperbincangkan oleh banyak orang.
Akan tetapi kali ini,kita tidak akan membahas film tersebut. Kita akan membahas film lain dari Watchdoc yang berjudul Kesetrum Listrik Negara. Film ini diluncurkan pada 4 September 2020 di kanal YouTube Watchdoc Documentary. Judul film Kesetrum Listrik Negara merupakan metafora dari kekagetan masyarakat karena tiba-tiba mengalami lonjakan tagihan. Dalam beberapa bulan ini, keluhan soal tagihan listrik yang naik berkali lipat ramai diperbincangkan. Padahal semasa pandemi, banyak aktivitas yang berkurang. Seperti Gultom pada film dokumenter ini. Meski usaha tambal bannya jadi tutup lebih awal semasa pandemi, tagihan listriknya justru naik 500%.
Adegan lonjakan tagihan listrik ini menjadi titik awal film Kesetrum Listrik Negara dalam membongkar kondisi Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Sebuah paradoks yang cukup mengenaskan kita dapatkan dalam film ini. Ketika masyarakat sudah dibuat rugi dengan tagihan listrik yang membengkak, nyatanya PLN juga mengalami kerugian. Dalam empat bulan pertama tahun 2020 PLN mengalami kerugian sebesar 38 Triliun. Bagaimana bisa sebuah perusahaan tanpa pesaing yang mana konsumennya merupakan seluruh rakyat Indonesia bisa mengalami kerugian?
Dalam film Kesetrum Listrik Negara saya menangkap beberapa penyebab di balik kerugian PLN. Yang pertama adalah melemahnya rupiah terhadap dolar. PLN membeli listrik dari para pemasok swasta dengan harga yang mengacu pada dolar, tapi pelanggan membayarnya dengan rupiah. Batubara sebagai bahan baku pembangkit listrik utama di Indonesia diambil dari Sumatera dan Kalimantan lalu PLN membelinya dari pengusaha dalam negeri, tapi dibayar dalam dolar. Lalu listriknya dijual kepada rakyat dalam rupiah. Sesuatu yang sulit diterima akal orang seperti Gultom dan kita semua.
Penyebab kedua adalah pemakaian listrik kini lebih sedikit daripada pasokan pembangkitnya atau bisa disebut dengan over supply. Sebenarnya kelebihan pasokan atau oversupply ini bukan masalah karena perusahaan listrik seperti PLN memang harus memiliki cadangan. Baik untuk mengantisipasi pelanggan baru sekaligus berjaga-jaga jika ada pembangkit yang rusak atau butuh perawatan.
Namun, dengan kebijakan sektor energi yang berlaku saat ini, oversupply menjadi sebuah masalah. Oversupply ini membuat PLN rugi karena salah satu isi perjanjian PLN dengan perusahaan pembangkit adalah adanya ketentuan pembelian minimum. Di dalam kontrak ini disebut take or pay. Artinya dipakai atau tidak dipakai oleh pelanggannya, PLN diharuskan membayar seluruh listrik yang dipasok oleh pihak swasta. Singkat kata PLN hanya menerima pembayaran dari listrik yang kita pakai tapi PLN juga membayar listrik yang tidak terpakai kepada perusahaan-perusahaan pembangkit.
Di tengah kelebihan kapasitas yang membuat PLN merugi ini, pemerintah justru terus mengeluarkan izin untuk menambah pembangkit listrik swasta di grid Jawa dan Bali. Dengan kondisi seperti ini, PLN pun terpaksa mendorong masyarakat untuk mengonsumsi listrik lebih banyak agar produksi listrik yang berlebih dapat diserap. Gerakan hemat energi yang sering kita dengarkan ini pada akhirnya dikalahkan oleh kepentingan keuangan korporasi.
“Para pebisnis listrik” ini juga tak akan khawatir akan mengalami kerugian karena PLN sebagai BUMN tidak akan dibiarkan bangkrut oleh negara. Semua kerugian itu akan ditanggung oleh negara yang di sini kita bisa mengacu pada APBN. “Para pebisnis listrik” ini tidak mengemban resiko bisnis apapun karena semua resiko itu ditanggung oleh PLN dan PLN pun ditanggung oleh negara. Oleh karena itu, bisnis ini menjadi bisnis yang tumbuh seperti jamur dengan daya tarik investasi yang sangat besar
Tak heran jika bisnis pembangkit listrik tumbuh subur bahkan melibatkan para elit politik karena bisnis ini tak hanya mengandalkan pasar yang sudah jelas, tetapi juga karena ada kontrak pembelian atau pendapatan yang lebih jelas.
Dalam film Kesetrum Listrik Negara kita melihat bahwa bagaimana sumber daya alam khususnya batubara dan teknologi listrik itu menjadi salah satu sektor ekonomi yang dikuasai oleh pemerintah sehingga peran politik dan negara menjadi sangat besar terkait dengan apapun yang terjadi pada sektor tersebut. Kebijakan dan sistem yang berlaku di PLN itu mau tidak mau harus kita akui mengakibatkan pemborosan dan kerugian yang sangat besar. Beberapa regulasi atau kebijakan yang tidak dibutuhkan akan tetapi tetap dipaksakan.
Di saat PLN terikat dengan skema-skema bisnis yang menguntungkan kekuatan ekonomi politik tertentu, masyarakat sendiri sebenarnya memiliki potensi untuk mulai melepaskan ketergantungan terhadap penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan, yang menjadi ladang subur bagi para “pebisnis listrik” di Indonesia.
Jika kita bicara sistem energi terbarukan Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Dengan dianugerahi sumber daya alam yang melimpah Indonesia memiliki modal yang lebih dari cukup untuk mengembangkan sistem energi terbarukan. Akan tetapi sayangnya sistem energi di Indonesia masih didominasi oleh batu bara yang kemungkinan akan terus berlanjut dengan adanya Undang-undang Minerba dan penambahan PLTU Batu bara.
Sistem energi terbarukan memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan sistem energi yang berasal dari batu bara. Sistem energi menimbulkan berbagai dampak negatif terutama di bidang lingkungan. Sepertinya tidak perlu dibahas lagi kalau kita bicara mengenai dampak yang ditimbulkan oleh sistem energi batubara ini. Dari hulu ke hilir kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sangat signifikan. Polusi yang mengancam kesehatan masyarakat dan para petani yang lahan produktifnya sudah dirampas oleh proyek PLTU.
Sistem energi terbarukan sangat cocok diterapkan di Indonesia dengan memanfaatkan potensi energi lokal. Energi terbarukan ini bisa dimanfaatkan tergantung potensi apa yang dimiliki oleh daerah tersebut dengan skala paling kecil sekalipun seperti rumah tangga,sekolah, sampai skala desa. Di film ini disajikan berbagai sumber energi terbarukan seperti solar panel yang ada di atas rumah dan rumah pasif hemat energi.
Sistem energi terbarukan memang memiliki biaya investasi awal yang besar, namun biaya operasionalnya jauh lebih rendah daripada sistem energi yang berasal dari batu bara. Hal ini disebabkan karena sistem energi terbarukan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan bahan bakar. Berbeda dengan sistem energi yang berasal dari batu bara yang mana harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan bahan bakar dan kemungkinan juga akan terjadi kenaikan harga bahan bakar tersebut. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa sistem energi terbarukan lebih murah daripada sistem energi yang berasal dari batu bara.
Film ini tak lupa menjelaskan siapa saja orang yang berhubungan atau berkaitan khususnya secara bisnis dengan PLN. Sama seperti Sexy Killer,film ini menyajikan kira-kira siapa saja orang yang diuntungkan dari semua persoalan ini. Tapi, di sini saya tidak akan menyebutkan nama-nama tersebut, takut depan rumah ada tukang bakso bawa handy talkie.
BACA JUGA Percayalah, Kami Para Introvert Juga Ingin Berteman.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.