Beberapa waktu yang lalu, saya membaca status WhatsApp teman saya yang ingin pulang karena merasa kesepian di perantauan saat Ramadan seperti ini. Nyatanya, merasakan Ramadan di kampung halaman itu juga bisa mengalami hal serupa seperti yang saya rasakan.
Merasakan kesepian saat Ramadan di perantauan itu sangat wajar. Saya juga merasakan 4 tahun merantau ketika kuliah dan hampir setiap tahunnya merasakan nelangsa ketika berpuasa di perantauan. Contoh sederhananya, di perantauan saya harus menyetel alarm dan memaksa diri bangun ketika sahur. Di rumah, sudah ada ibu yang membangunkan.
Soal menentukan apa menu sahur dan berbuka, itu semakin menegaskan rasa sepi. Rasa malas juga menjalar untuk mengitari jalanan mencari makan. Nelangsa. Hal itu tentu saja membuat siapa saja merasa pulang kampung adalah hal yang paling dirindukan ketika masa-masa berpuasa di perantauan.
Mungkin di perantauan kita bisa saja menemukan banyak makanan enak dan beraneka macam atau ragam. Tapi masakan rumah yang sudah biasa kita makan tentu akan selalu dirindukan. Apalagi perasaan rindu tersebut ditemani dengan perasaan sepi di perantauan.
Namun, pernahkah kalian merasa tetap kesepian di kampung halaman? Mungkin ini bisa jadi relate. Bisa jadi juga tidak. Namanya juga pengalaman. Tahun ini saya merasakan puasa penuh di kampung halaman. Kebetulan setelah lulus kuliah, saya mendapatkan pekerjaan dekat rumah sehingga saya tidak perlu merantau lagi sekarang. Awalnya terasa menyenangkan, tentu.
Perasaan tidak jauh dari orang tua dan mendapatkan perhatian di rumah yang sedari dulu saya idam-idamkan di perantauan tentu itu yang saya dambakan. Tapi, di usia saya yang masih suka bercengkrama dengan orang-orang, ternyata Ramadan di kampung halaman memunculkan rasa kesepian lain.
Ya, benar. Saya merasa kesepian karena saya sudah tidak punya teman sebaya yang dulu sering bersama saya. Mungkin beberapa dari kalian juga merasakannya ketika menginjak usia 20-24 tahun dan kalian belum menikah atau masih lajang. Ketika berada di kampung halaman yang ada hanya orang tua atau kalau bukan ya anak-anak kecil.
Teman-teman sebaya saya rata-rata sudah merantau semua atau bahkan sudah berkeluarga. Rasa sepi karena tidak punya teman bercengkrama yang relate ternyata tidak kalah menyebalkan seperti rasa sepi ketika hidup sendiri di perantauan.
Yang paling terasa jelas ketika salat tarawih di masjid atau musala. Pernah justru merasa asing di tempat sendiri karena banyak orang yang sudah berubah? Saya merasa lucu ketika bertemu anak kecil yang dulu sering saya gendong sekarang tingginya sudah hampir sama dengan saya. Semuanya jadi terasa asing karena waktu. Apalagi ketika sudah tidak ada teman sebaya di situ.
Perasaan ketika bercengkrama atau berinteraksi dengan orang tua yang tidak jauh dari pertanyaan, “Sekarang kerja di mana?”, “Sudah selesai sekolahnya, ya?’, atau bahkan pertanyaan, “Calonnya sudah ada atau belum?” tentu selalu melelahkan untuk menjawabnya. Mentok-mentok paling kita akhirnya bercengkrama dengan anak kecil yang lagi-lagi tentu sudah tidak terhubung obrolannya dengan kita.
Pada akhirnya, setelah saya rasakan, ternyata perasaan kesepian bisa muncul di mana pun dan di situasi apa pun. Beberapa orang mungkin melihatmu mungkin sukses di perantauan, tapi beberapa dari mereka juga ada yang tidak paham bahwa di sana juga ada perasaan kesepian yang menemani. Di sisi lain juga sama. Beberapa orang yang melihat kita yang bisa hidup di kampung halaman hidupnya juga tentram. Tapi di sisi lain juga pasti ada rasa kesepian di sana entah bagaimana pun bentuknya. Sawang sinawang.
BACA JUGA Mobile Legends Menyelamatkan Saya dari Kesepian atau tulisan-tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.