Tak ada yang lebih cerah daripada udara Kampung Wargaluyu, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur pada Senin (21/11/2022). Langit cerah berwarna biru dengan awan putih yang berarak dengan anggun, seperti mempertontonkan keindahan alam yang tak ada duanya. Tetapi, malapetaka yang tidak pernah terduga ternyata akan kami rasakan hari itu.
Siang itu, saya sebetulnya sudah berniat untuk pergi ke kafe dan menyelesaikan beberapa pekerjaan, tetapi entah kenapa rasanya malas betul untuk beranjak dari rumah. Seolah ada yang menahan saya untuk tetap berada di rumah. Padahal motor sudah saya isi bensin dan terparkir dengan manis di teras rumah.
Sekitar pukul 13.00 WIB, saya berbincang dengan mama soal gempa kecil dini hari yang berpusat di Cianjur. Celakanya, tak sampai setengah jam kemudian, mimpi buruk itu datang menghampiri. Tiba-tiba goncangan dahsyat menggoyangkan rumah. Seketika saya yang panik hanya bisa menggenggam ponsel mencoba berlari ke luar rumah.
Mama yang saat itu tengah berada di kamar depan, dekat dengan pintu depan, berdiri namun tak bisa berlari. Plafon teras lalu ambruk tepat di depan mata saya saat tengah mencoba menengok mama. Debu berwarna oranye beterbangan menghalangi pandangan. Nekat, saya putuskan kembali ke dalam rumah dan menarik tangan mama lalu menggandeng beliau loncat keluar rumah. Dengan pandangan yang masih kurang jelas, saya mencoba membawa mama ke tempat aman.
Akhirnya pandangan kami jadi jelas setelah berhasil keluar dari rumah. Sayangnya, pandangan jelas itu tak membawa kabar baik. Beberapa rumah di hadapan kami luluh lantak rata dengan tanah. Ya Allah, itu rumah sepupu saya! Rumah yang tepat berada di seberang rumah kami itu runtuh di hadapan kami. Samar-samar terdengar teriakan takbir menggema dari beberapa warga kampung. Kengerian makin saya rasakan saat itu.
Saya lalu meminta mama dan kakak ipar yang berhasil keluar bersama anaknya menuju ke tempat yang aman. Sementara itu, kakak perempuan saya berteriak sambil menunjuk ke arah rumah sepupu saya yang rata dengan tanah tadi, “Ada anak-anak di dalam rumah!” Saya terkejut mendengarnya. Beberapa warga yang selamat lalu menghampiri kami dan mencoba untuk mencari tahu. Dibantu dengan warga kampung, kami mencoba mencari di antara puing-puing reruntuhan. Sayangnya, sulit melakukan evakuasi.
Hingga akhirnya salah satu dari tiga anak yang berada di rumah sepupu saya berhasil dievakuasi dengan selamat. Wajahnya yang penuh debu lantas dibersihkan oleh kakak perempuan saya. Namun, ternyata masih ada beberapa orang lain yang terjebak dalam reruntuhan tersebut, mereka adalah kakak sepupu saya beserta dua orang anak.
Salah satu keponakan saya berhasil dikeluarkan warga sekitar. Tubuhnya lemas tak berdaya. Ia tidak berteriak dan tidak merespons. Saya lalu menggendongnya dan membawanya menjauh dari reruntuhan. Kakak saya mencoba membantu dengan memberikan pertolongan pertama berupa CPR pada keponakan saya yang bernama Zeeshan tersebut, namun tetap tak ada respons.
Dalam kepanikan, saya dibantu seorang tetangga bergegas membawa Zeeshan ke rumah sakit. Dalam kepanikan itu pula saya berharap masih ada kesempatan bagi bocah berusia 6 tahun itu bisa hidup di tengah dunia yang hancur ini. Nahas, situasi jalanan saat itu kacau. Semua orang berhamburan di jalanan mencoba pergi ke tempat yang lebih aman untuk menyelamatkan diri. Ya, semua orang panik akan adanya gempa susulan. Situasi jalanan padat dan macet parah. Saya mencoba berteriak agar bisa diberi jalan karena situasinya sangat darurat.
Perjalanan siang itu menuju RSUD Sayang Cianjur terasa sangat lama. Saya menggendong Zeeshan dalam pelukan, berharap bocah kecil itu lekas sadar. Hal ajaib yang saya rasakan ketika menggendong keponakan saya itu adalah lembut kulitnya yang bahkan tak terkena debu sekalipun. Rambutnya bersih seperti baru habis dimandikan. Hanya ada sedikit bercak darah keluar dari hidungnya.
Sekelompok pengemudi ojek online sempat membantu mengurai kemacetan di jalan. Mereka berusaha menyingkirkan pengendara yang tumpah ruah agar korban gempa bisa mendapatkan akses jalan.
Setibanya di RSUD Sayang Cianjur, saya langsung bergegas ke ruang IGD. Saya meminta pada petugas medis yang sigap menghampiri untuk segera memberi pertolongan pada ponakan saya. Mereka lalu memeriksa denyut nadi, pupil, dll. Pertolongan seperti CPR, oksigen, dan suntikan khusus coba diberikan agar bocah itu merespons. Namun, sekitar setengah jam berlalu, Zeeshan tak memberikan respons apa pun. Dokter yang menangani berkata, “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.”
Tangis saya pecah tak terbendung begitu mendengarnya. Bocah kecil yang sering main ke rumah saya itu pergi begitu cepat. Sesekali saya memegangi tangannya berharap ada keajaiban yang membuat denyut nadinya kembali terasa, namun Allah sudah berkehendak. Zeeshan telah berpulang.
“Maaf, saya terlambat membawamu ke rumah sakit,” hanya itu yang bisa saya katakan.
Beberapa saat kemudian, ponakan saya yang lain tiba di RSUD Sayang, termasuk dua orang sepupu saya. Sepupu perempuan saya terluka parah di bagian kepala. Saya berpikir dia akan tetap sadar, namun rupanya Allah turut memanggilnya pulang bersama dengan Zeeshan.
Sementara sepupu laki-laki saya terluka di bagian tangan kiri karena tertimpa beton saat mencoba menyelamatkan anaknya. Sayang, anaknya tak tertolong juga. Mendengar kabar itu, tangis kami semua pecah.
Saya yang hanya bermodalkan celana pendek dan kaos hitam siang itu hanya bisa termenung. RSUD Sayang mulai didatangi korban gempa Cianjur. Tangisan, jeritan, jenazah yang berjejer, orang-orang terluka, dan kengerian lainnya membangkitkan bulu kuduk saya.
Cianjur yang asri dan berseri, kini luluh lantak karena gempa. Hingga hari ketiga, saya masih memikirkan gempa Cianjur yang mengguncang siang itu. Saya takut akan terjadi gempa susulan yang sama besarnya atau bahkan lebih besar. Saya takut tak bisa menolong keluarga dan juga banyak orang. Saya takut… Semoga Cianjur lekas pulih.
Penulis: Muhammad Afsal Fauzan S.
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Mengenal Sesar Cimandiri Penyebab Gempa Cianjur, Wilayah Mana Saja yang Dilewati?