Kerja bakti menjadi salah satu kebiasaan atau tradisi masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih lestari. Hampir setiap daerah di Tanah Air memiliki kebiasaan ini. Nggak hanya membuat pekerjaan semakin ringan, tetapi kerja bakti juga dipandang mampu mempererat persaudaraan dan dapat membina kerukunan.
Katanya sih gitu.
Biasanya, kerja bakti dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum. Beberapa pekerjaan yang umumnya menggunakan sistem kerja bakti, yaitu membersihkan lingkungan, persiapan HUT Kemerdekaan RI, hingga pembangunan atau perbaikan jalan.
Lahir dan besar di pelosok pedesaan, bikin saya cukup akrab dengan agenda kerja bakti. Sama seperti di desa pada umumnya, di kampung saya juga menerapkan “pengucilan” bagi siapa saja yang nggak ikut kegiatan ini. Ya, mereka yang malas kerja bakti dipandang ora umum batur dan siap menerima hukuman sosial, seperti rumah sepi ketika menggelar hajatan.
Nggak bisa dimungkiri, kerja bakti memang masih dipandang untuk mengakrabkan diri dengan lingkungan sekitar. Dengan adanya kegiatan gotong-royong ini, dipercaya efektif dapat meningkatkan kerukunan dengan tetangga dan masyarakat.
Kerja bakti yang wadidaw
Kendati demikian, seiring berjalannya waktu, kini agenda kerja bakti acap dimanfaatkan oleh para pemilik kepentingan. Ya, banyak kegiatan yang seharusnya cukup dikerjakan oleh para tukang atau profesional, tapi lagi dan lagi warga “dipaksa” harus terlibat. Contoh subtil dari masalah ini adalah pembangunan atau perbaikan jalan dengan biaya dana desa.
Sejatinya, saya nggak menentang kegiatan kerja bakti, seperti persiapan HUT RI, membersihkan masjid, lingkungan, dan tempat umum lainnya. Namun, saya pribadi keberatan jika harus turut andil turut berpartisipasi pembangunan jalan yang notabene sudah dibiayai negara pakai dana desa. Anggaran ratusan juta, masak iya nggak bisa membiayai para tukang profesional, sih?
Sebagaimana kita tahu, dana desa merupakan program untuk membantu keuangan desa dengan mengalokasikannya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Melansir dari Kemenkeu.go.id, setiap tahun pemerintah menggelontorkan dana desa sebesar Rp68 triliun yang dialokasikan di 432 kabupaten/kota. Program yang sudah dimulai sejak 2015 ini, digulirkan untuk pembangunan desa, salah satunya memperbaiki infrastruktur.
Di kampung saya sendiri juga kecipratan anggaran ini untuk perbaikan jalan. Anehnya, meski anggaran sebegitu banyaknya, lagi dan lagi warga dipaksa untuk ikut serta gotong-royong pembangunan jalan. Kata pemangku wilayah, hal ini dilakukan demi menjaga kerukunan warga desa. Tentu ini cacat logika.
Nggak banyak yang bisa dilakukan warga selain menuruti kemauan pemangku wilayah. Sebab, kalau nggak ikut kerja bakti, warga juga akan dikenakan denda. Di desa saya, setiap KK yang nggak ikut kegiatan pembangunan jalan ini biasanya akan didenda Rp30- 50 ribu. Tentu ini cukup ironi, mengingat dana desa memiliki anggaran cukup besar setiap tahunnya.
Lumrah ketika banyak warga mempertanyakan sistem kerja bakti perbaikan jalan yang menggunakan dana desa ini. Pertanyaan muncul, kenapa anggaran segitu banyaknya nggak disisihkan saja untuk membiayai para tukang? Apakah benar semua dilakukan semata-mata demi menjaga tradisi kerja bakti demi kerukunan warga? Atau jangan-jangan ada maksud lain dari kebiasaan ini?
Baca halaman selanjutnya….
Ke mana perginya duit-duit itu?
Saya nggak cukup berani menuduh bahwa pemangku wilayah desa sejatinya mengambil banyak keuntungan dari program perbaikan jalan. Saya juga nggak cukup data untuk menuding bahwa para pembuat kebijakan desa ini acap membuat laporan palsu terkait penggunaan dana desa kepada pemerintah pusat. Tapi, yang jelas, ke mana perginya uang yang seharusnya bisa untuk membiayai para tukang itu?
Kita tahu, kerja bakti adalah kegiatan yang dilakukan warga secara suka rela tanpa upah. Artinya, melibatkan warga dalam pembangunan jalan itu sangat, sangat meminimalisir anggaran. Bukankah hal semacam ini cukup menguntungkan para pemangku wilayah desa?
Maksud saya begini, sudah semestinya pemerintah pusat harus lebih tegas dalam memantau penggunaan dana desa. Kegiatan semacam kerja bakti perbaikan jalan yang menggunakan dana desa tentu cukup rawan penyelewengan. Sebab, besarnya anggaran yang digelontorkan setiap tahun, sampai saat ini saya rasa belum sebanding dengan perbaikan sarana-prasarana di desa.
Tentu saya sepakat kalau kerja bakti dalam kegiatan tertentu bisa melatih sikap gotong-royong satu sama lain dan menjalani komunikasi antarwarga. Tapi, ketika pemangku wilayah masih menggunakan sistem kerja bakti dengan tujuan memangkas anggaran untuk kepentingan pribadi, tentu ini dosa besar. Terlebih bagi wilayah pedesaan yang masih menerapkan sistem denda kepada warga yang tidak ikut kerja bakti. Kalau sudah seperti ini, adakah istilah yang jauh lebih pantas selain romusha gaya baru?
Warga masyarakat sejatinya sudah lama bermimpi memiliki jalan yang layak untuk dilewati. Bahkan, tidak sedikit warga yang harus patungan untuk membeli pasir, semen, dan material bangunan lainnya untuk membangun jalan. Sekalinya ada anggaran buat memperbaiki insfratruktur pedesaaan, kok, ya tetap saja diperas dan diperbudak. Yah, barangkali begitulah nasib sebagai rakyat kecil, akan selalu mandiri di tengah para pejabat rakus dan nirempati.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 7 Tipe Orang yang Selalu Ada Saat Kerja Bakti