Saya nggak cukup berani menuduh bahwa pemangku wilayah desa sejatinya mengambil banyak keuntungan dari program perbaikan jalan. Saya juga nggak cukup data untuk menuding bahwa para pembuat kebijakan desa ini acap membuat laporan palsu terkait penggunaan dana desa kepada pemerintah pusat. Tapi, yang jelas, ke mana perginya uang yang seharusnya bisa untuk membiayai para tukang itu?
Kita tahu, kerja bakti adalah kegiatan yang dilakukan warga secara suka rela tanpa upah. Artinya, melibatkan warga dalam pembangunan jalan itu sangat, sangat meminimalisir anggaran. Bukankah hal semacam ini cukup menguntungkan para pemangku wilayah desa?
Maksud saya begini, sudah semestinya pemerintah pusat harus lebih tegas dalam memantau penggunaan dana desa. Kegiatan semacam kerja bakti perbaikan jalan yang menggunakan dana desa tentu cukup rawan penyelewengan. Sebab, besarnya anggaran yang digelontorkan setiap tahun, sampai saat ini saya rasa belum sebanding dengan perbaikan sarana-prasarana di desa.
Tentu saya sepakat kalau kerja bakti dalam kegiatan tertentu bisa melatih sikap gotong-royong satu sama lain dan menjalani komunikasi antarwarga. Tapi, ketika pemangku wilayah masih menggunakan sistem kerja bakti dengan tujuan memangkas anggaran untuk kepentingan pribadi, tentu ini dosa besar. Terlebih bagi wilayah pedesaan yang masih menerapkan sistem denda kepada warga yang tidak ikut kerja bakti. Kalau sudah seperti ini, adakah istilah yang jauh lebih pantas selain romusha gaya baru?
Warga masyarakat sejatinya sudah lama bermimpi memiliki jalan yang layak untuk dilewati. Bahkan, tidak sedikit warga yang harus patungan untuk membeli pasir, semen, dan material bangunan lainnya untuk membangun jalan. Sekalinya ada anggaran buat memperbaiki insfratruktur pedesaaan, kok, ya tetap saja diperas dan diperbudak. Yah, barangkali begitulah nasib sebagai rakyat kecil, akan selalu mandiri di tengah para pejabat rakus dan nirempati.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 7 Tipe Orang yang Selalu Ada Saat Kerja Bakti