Kenapa Kita Butuh Membaca Buku Kiri?

anti-kapitalisme buku kiri komunis oktober PKI Orba Lenin mojok

anti-kapitalisme buku kiri komunis oktober PKI Orba Lenin mojok

Ketika mendengar kata kiri kebanyakan orang Indonesia akan kepikiran komunis. Kelompok kiri, pemikir kiri, ideologi kiri, politik kiri, katanya adalah komunis. Takutnya stereotip yang kayak begini nanti pemain-pemain bulu tangkis tangan kiri dan pemain sepak bola kaki kiri ikut dituduh orang komunis lagi. Semoga jangan lah ya, kan kasihan mereka, orang yang nggak tahu apa-apa dituduh komunis.

Eh ada satu lagi yang tidak kalah ditakuti orang-orang, benda mati doang, yaitu buku. Ha buku? Iya buku, buku kiri. Apa sih itu buku kiri? Sama, juga buku yang dituduh menyebarkan paham komunisme. Katanya nih ya, ciri-ciri buku kiri itu yang ada gambarnya Karl Marx, ada tulisan komunis, ada gambar palu arit, ada kata PKI.

Nah buku-buku yang seperti inilah yang sering kita lihat di media kena sweeping oleh aparat dan ormas yang katanya anti komunis. Sebagai contoh razia buku kiri pernah terjadi di kota Padang pada 8 Agustus 2019 lalu, waktu itu aparat menyita enam eksemplar buku, juga ada di Makassar beberapa tahun sebelumnya. Di Makassar ini yang paling parah, ormas yang bernama Brigade Muslim Indonesia (BMI) menyita buku Franz Magnis Suseno yang berjudul Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis Menuju Perselisihan Revisionisme lantaran di buku itu ada wajah Karl Marx. Padahal buku itu isinya mengkritik habis-habisan marxisme/komunisme-leninisme.

Razia dan penyitaan buku kiri itu sebenarnya perbuatan yang sia-sia, orang yang kurang kerjaan, tidak suka literasi. Padahal kalau dipikir-pikir buku kiri itu bagus loh, dan menurut saya sih kita butuh buku-buku yang katanya kiri tersebut. Kenapa?

Mengikuti pahlawan masa lalu

Selama ini kenapa buku-buku kiri itu ditakuti karena katanya buku tersebut menyebarkan paham komunisme. Ditakutkan nanti siapa pun yang membaca buku-buku itu ditakutkan menjadi komunis. Ah masa sih? Bercandanya jelek. Stigma seperti ini sama sekali tidak bisa dibenarkan. Lalu? Begini ya, dulu, dari zaman pergerakan nasional hingga 1965 Indonesia akrab sekali dengan pemikiran-pemikiran kiri.

Hampir semua tokoh nasional mempelajari buku-buku Marxis (kiri). Sebut saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, HOS Cokroaminoto, dan sederet nama lagi. Bukan hanya baca malahan tetapi mereka berkawan akrab dengan orang-orang kiri. Toh, mereka tidak pernah jadi komunis kok. Jadi tidak benar jika membaca buku kiri akan menyebabkan orang langsung jadi komunis.

Alternatif buat permasalahan bangsa

Saya mau nyontohin dulu biar entar nggak salah kaprah. Klub kesayangan saya, Arsenal, itu kan terkenal dengan filosofis permainan menyerangnya dengan memperagakan permainan cantik satu dua kayak Barcelona (akuin aja dah) . Tapi, kan sepakbola gaya permainannya bukan cuma menyerang dengan gaya yang indah doang, masih ada taktik pragmatis ala Mourinho.

Pas laga terakhir melawan Manchester City dalam laga semifinal FA Cup, Arsenal lebih memilih main bertahan. Bisa saja Arsenal tetap bermain menyerang seperti biasa, namun melawan Manchester City yang kualitas pemainnya di atas kertas jauh lebih baik sama saja dengan bunuh diri. Jika Arsenal waktu itu memaksakan bermain menyerang mungkin saja mereka tidak akan lolos ke final dan mengalahkan Chelsea untuk menjadi juara.

Nah begitu juga dengan Indonesia. Di negeri gemah ripah loh jinawi ini yang tidak pernah terlepas dari carut marut permasalahan, kita contohkan saja kemiskinan misalnya. Di era Pakde Jokowi terlihat sekali beliau meningkatkan perekonomian dengan cara meningkatkan investasi. Dalam kajian ideologi kan gaya yang begini lebih dekat dengan gaya kapitalisme pasar. Nah, saat lagi pandemi gaya seperti ini mengalami stagnasi karena pasar tidak berjalan lancar. Untuk memecahkan maslaah ini, bisa jadi pemerintah mengambil langkah ala-ala sosialis, dengan cara memberdayakan ekonomi rakyat misalnya. Dan, memang wacana yang dibangun belakangan ini demikian.

Semangat hak asasi manusia

Salah satu ciri-ciri negara demokrasi adalah terjaminnya HAM, termasuk di dalamnya kebebasan berpendapat dan mengakses informasi. Konstitusi kita UUD 1945 dalam pasal 27 F telah mengatur tentang kebebasan tersebut. Membaca buku apapun jenisnya adalah suatu hak yang harus dilindungi. Kecuali memang terbukti menimbulkan kegaduhan, baru itu ditindak.

Kepentingan literasi

Bagian ini yang tidak kalah penting. Dikutip dari White Paper: Literasi di Indonesia yang disusun oleh Divisi Kajian Komisi Pendidikan PPI Dunia 2017/2018 berdasarkan data dari World’s Most Literate Nations yang dilakukan oleh Central Connecticut State University tahun 2016, Indonesia menempati urutan 60 dari 61 negara partisipan survei dalam hal kemampuan literasi (Miller & McKenna, 2016).

Sementara berdasarkan hasil tes Progress International Reading Literacy Study (PIRLS) tahun 2011, kemampuan membaca peserta didik di Indonesia berada di peringkat ke 45 dari 48 negara sedangkan survei yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2015, menempatkan Indonesia di urutan ke 61 dari 72 negara partisipan survey (OECD, 2018). Data Perpustakaan Nasional tahun 2017, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat kali per minggu (Pratiwi, 2018). Data terbaru pun (2019) dalam hal literasi Indonesia hanya menempati posisi ke 56 dari 63 negara.

Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun. Hasil dari berbagai survei tersebut menunjukkan bahwa literasi merupakan masalah yang serius dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Razia salah kaprah yang kerap terjadi selama ini bisa jadi disebabkan oleh krisis literasi tersebut. Menjadi sebuah ironi ketika buku-buku disita saat literasi kita berada dalam tahap yang memperihatinkan.

Itu sih pendapat aku. Wong cuma buku doang. Buku itu ya dibaca, kalau sesuai ambil manfaatnya, kalau nggak sekadar mengambil pengetahuan saja. Buat apa dibakar, dirazia, disita? Ada-ada saja…

BACA JUGA Level Sombong Ultimate: Nggak Mau Turun Mobil Pas Beli Roti Bakar

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version