Kenapa Gen Z dan Milenial Tak Beli Rumah? Karena Memang Tak Bisa. Gaji Sekecil Itu Berkelahi dengan Bunga KPR, ya Rungkad!

Kenapa Gen Z dan Milenial Tak Beli Rumah? Karena Memang Tak Bisa. Gaji Nggak Naik-naik, tapi Harga Properti Selalu Naik, Gimana Bisa Beli? KPR rumah

Kenapa Gen Z dan Milenial Tak Beli Rumah? Karena Memang Tak Bisa. Gaji Nggak Naik-naik, tapi Harga Properti Selalu Naik, Gimana Bisa Beli? (Pixabay.com)

“Makanya jangan beli es kopi terus, uangnya bisa ditabung buat beli rumah!”

“Ah, anak muda sekarang isinya self reward, tapi ngeluh nggak bisa beli rumah. Cih.”

“Saya dulu waktu masih seumuranmu sudah bisa beli rumah. Kamu malah beli mainan apa ini nggak jelas.”

Pernah dengar boomer atau si melek finansial bilang begini? Pasti pernah dong. Kalau waktu kalian baca ini dan kebetulan sedang diceramahi perkara finansial begini, saran saya ambil kanebo, lalu lap muka penceramah biar pandangannya bersih.

Cercaan pada milenial dan gen Z, terutama yang bekerja dengan gaji cukup lumayan (menyedihkan) tentang rumah memang lumayan deras. Banyak yang menuding gaya hidup mereka adalah faktor utama kenapa mereka tak bisa beli rumah. Padahal orang-orang ini lupa, harga properti naik tak masuk akal, tapi gaji tak ikut naik signifikan adalah penyebabnya.

Biar kalian paham maksud saya dan nggak ngang-ngong, saya jelaskan semampu saya.

Kondisi finansial, penghalang sebenarnya

Survei yang dilakukan oleh Bank BTN tahun 2021 mendapati alasan generasi milenial belum membeli rumah pertama karena terhalang oleh kondisi finansial (63.1%). Milenial adalah generasi terbesar kedua di Indonesia (25,87%), diikuti oleh generasi Z (27,94%).

Sebagai generasi milenial yang berkantor di Jakarta, saya mengalami sendiri sulitnya memiliki rumah pertama. Harga rumah di kawasan Jakarta jelas tak terjangkau, begitu pun harga hunian di kawasan pendukung seperti Tangerang, Depok, Bogor dan Bekasi. Kalaupun memaksa untuk membeli rumah dengan KPR, kami harus memaksa diri hidup sangat frugal dengan risiko kurang gizi dan liburan.

Pasar properti Indonesia sempat stagnan dan menurun di kurun waktu 2019-2021. Namun sekarang kembali menunjukkan nilai positif, dilihat dari harga-harga rumah yang semakin naik dan tak pernah turun. Saya mengambil contoh harga rumah di Tangerang Raya, yang merupakan lokasi penyumbang KPR BCA terbanyak di area Jabodetabek.

“Rumah 1 menit dari Aeon Mall BSD ditawarkan dengan harga mulai dari 700 juta.” Jika ingin membeli rumah seharga 700 juta, simulasi pembayaran yang umum adalah DP 20% dan sisanya pembiayaan KPR. Artinya, pembeli harus menyiapkan uang 140 juta rupiah untuk DP, belum termasuk biaya notaris dan lain-lain.

Sampai sini, sudah pusing belum? 140 juta plus plus itu nilai uang yang banyak banget, apalagi ketika usia 20-an.

Baca halaman selanjutnya: Gaji sekecil itu berkelahi dengan bunga floating…

Gaji sekecil itu berkelahi dengan bunga floating

Untuk mendapatkan rumah seharga 700 juta, pembeli juga harus siap komitmen membayar KPR selama 15 tahun setiap bulan sebesar Rp3.378.730. Angsuran rumah senilai 3 jutaan adalah simulasi bunga fix. Jika bunga bank sedang floating ya siap-siap saja angsuran bisa mencapai nilai 4 bahkan 5 juta lebih. Jangan lupa, bank hanya akan memberikan nilai maksimal kredit 30% dari total income suami, istri atau pasangan. Artinya, untuk mendapatkan approval KPR senilai 3,3 juta, pemasukan bulanan minimal 10 juta rupiah.

Sandwich generation di Jakarta, gaji 10 juta, dipotong KPR pula. Gaji sekecil itu bisa berkelahi dengan self reward apa?

Inflasi dan harga kebutuhan pokok terus meningkat seiring krisis global dan krisis iklim. Sementara kenaikan gaji karyawan atau UMR mengikuti kebijakan yang disetujui pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh. Merujuk fakta yang terjadi 1-2 dekade terakhir, tentu saja rawan terjadi ketimpangan kenaikan pemasukan vs pengeluaran.

Jika generasi baby boomers kelas menengah di tahun 1990-an mampu membeli rumah, mobil, menyekolahkan 3-5 anak, bahkan sesekali liburan, beda cerita dengan milenial dan gen Z. Boro-boro beli rumah tipe terkecil, ngumpulin DP untuk beli rumah saja setengah mati.

Beli rumah terhalang UMR

Saya sedikit menganalisis UMR vs harga rumah dalam rentang waktu 1 dekade terakhir untuk menunjukkan ketimpangan antara pemasukan vs pengeluaran. Disclaimer, analisis ini dilakukan oleh logika personal saya dan dengan data yang paling mudah didapatkan. Saya menggunakan harga rumah developer besar sebagai patokan, karena biasanya kenaikan harga akan diikuti oleh developer kecil yang lokasi proyeknya berdekatan.

Ambil contoh harga sebuah rumah developer Sinarmas Land di Tangerang dengan luas tanah 90 meter persegi. Pada kurun waktu 2013 rumah tersebut dijual dengan harga 300-400 juta per unit, di tahun 2024 harganya sudah mencapai 1.5 milyar. Singkatnya, selama satu dekade harga properti naik 5 kali lipat.

Sebagai pembanding angka pemasukan maka saya menggunakan angka UMR yang menjadi patokan kenaikan gaji rata-rata perusahaan. Nilai UMR DKI Jakarta dan Tangerang pada tahun 2013 adalah sama yaitu 2,2 juta. Pada 2024, UMR DKI Jakarta adalah 5 juta rupiah dan UMR Tangerang Raya kisaran 4,6-4,7 juta. Kesimpulannya selama satu dekade UMR di DKI dan Tangerang naik sekitar 2 kali lipat.

Gap kenaikan harga properti vs gaji di kawasan pendukung Jakarta cukup mengkuatirkan, lima vs dua kali lipat! Saya pun mempertanyakan apakah pemerintah menyadari ketimpangan ini. Survei kepemilikan KPR pun sudah dilakukan bank plat merah, logikanya pemerintah seharusnya sudah baca insight data tersebut.

Nggak usah beli rumah, mandi kopi aja

Jika sudah, apa rencana pemerintah selanjutnya agar warga usia produktif dapat memiliki rumah sendiri? Apakah generasi milenial dan z ini memang diperhatikan kebutuhan dasarnya oleh pemerintah atau hanya sekedar angka di atas kertas penyumbang pajak terbesar? Semoga pertanyaan saya ini menjadi pemantik kebijakan kepemilikan hunian bagi pemerintahan yang baru.

Akhirnya, kalian tahu kenapa milenial dan gen Z lebih memilih mandi kopi dan koleksi gundam. Sebab, melihat harga rumah sudah bikin mereka merasa kehilangan harapan. Bahkan membayangkan bisa beli rumah saja sudah merasa tolol.

Penulis: Maryza Surya Andari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Taman Seribu Janji, Saksi Bisu Kisah Asmara Mahasiswa UIN Malang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version