Kenaikan UMK Banyuwangi Nggak Ada Efeknya, Realitasnya dari Dulu Pekerja Banyuwangi Diupah Tak Manusiawi

Kenaikan UMK Banyuwangi Nggak Ada Efeknya, Realitasnya dari Dulu Pekerja Banyuwangi Diupah Tak Manusiawi

Kenaikan UMK Banyuwangi Nggak Ada Efeknya, Realitasnya dari Dulu Pekerja Banyuwangi Diupah Tak Manusiawi (Pixabay.com)

Kenaikan UMK di berbagai kota/kabupaten di Indonesia beberapa waktu lalu, berhasil menghadirkan senyum kepada masyarakat kalangan pekerja. Hampir semua pekerja di Indonesia teriak kegirangan. Pekerja di Jogja bersorak(?) mendengar kabar yang ditunggu-tunggu ini. Begitu pun orang Karawang yang tersenyum lega setelah mendengarnya. Tak ingin ketinggalan, orang Banyuwangi pun tak kalah girangnya menyambut berita ini. UMK Banyuwangi soalnya juga ikutan naik. Namun, 5 detik kemudian, mereka kembali merenung dalam rangka mengutuki nasibnya.

Bagi orang Banyuwangi, kenaikan UMK tak banyak memberikan pengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Lho, kok bisa? Ya, karena sudah terlalu banyak pekerja di Banyuwangi yang mendapatkan gaji tak sesuai dengan data yang ada. Ditambah dengan minimnya lapangan kerja dan tak adanya “karpet merah” Dari pemkab yang mempersilahkan putera daerahnya mendapatkan upah yang layak, semakin melengkapi penderitaan orang Banyuwangi.

Pada akhirnya, merantau ke daerah lain (yang bahkan memiliki UMK lebih rendah) menjadi keputusan yang paling rasional demi melanjutkan hidup.

Merantau bukan hanya soal budaya, tapi karena tertekan di tanah sendiri (dan tertekan UMK Banyuwangi)

Jika kalian punya teman dari Jawa Timur yang merantau, mungkin itu sudah dianggap biasa. Bahkan, beberapa orang menganggapnya sebagai kultur orang Jawa Timur. Namun, di Banyuwangi agak sedikit berbeda. Orang Banyuwangi yang merantau bukan semata-mata karena kultur daerahnya, tapi juga karena gaji yang tak sesuai UMK Banyuwangi.

Bahkan, jika ada remaja di Banyuwangi yang nggak mau merantau, mereka lebih memilih untuk bekerja sendiri. Entah dagang jajanan di sekolah-sekolah, entah bertani, atau menjadi nelayan. Walaupun penghasilannya nggak stabil, tapi, bagi mereka, hal ini dirasa lebih mudah untuk diusahakan daripada berusaha mencari perusahaan yang memberi gaji mereka sesuai UMK.

Pokoknya, jarang sekali ada remaja di Banyuwangi yang setelah lulus sekolah memutuskan untuk kerja pada suatu perusahaan. Karena, ya itu tadi, data yang ada di atas meja Dinas Ketenagakerjaan tak pernah serasi dengan fakta yang ada di lapangan.

Beberapa gaji pekerja nggak hanya di bawah UMK Banyuwangi, tapi sudah terperosok jauh

Jika melihat UMK Banyuwangi saat ini, yang berada di nominal 2,6 juta, rasa-rasanya hidup di Banyuwangi bukanlah keputusan yang bodoh. Biaya hidup yang sangat rendah, kotanya indah dan nyaman, mampu memberi harapan pada siapa pun. Ya, Banyuwangi memang sangat menawan, jika dilihat dari data. Jika tidak, ya bayangin sendiri lah hidup dengan gaji jauh di bawah UMK kayak apa.

Bahkan, beberapa pekerja di Banyuwangi, bukan hanya mendapatkan gaji di bawah UMK Banyuwangi, tapi lebih buruk dari itu. Mungkin, saya adalah saksinya. Teman saya pernah bekerja sebagai pengoperasi mesin bordir batik. Dan kata dia, gaji yang dia dapat dalam satu bulan hanya 1 juta rupiah saja. Nggak heran jika akhirnya teman saya ini menjadikan pekerjaan ini sebagai sampingan. Sebab, jika tidak disambi dengan pekerjaan lain, tentu gaji tersebut nggak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Walaupun pekerjaan ini dianggap sebagai sampingan oleh teman saya, namun jam kerjanya udah kayak PNS. Delapan hingga sembilan jam sehari, dan enam hari dalam satu minggu. 

Bah, PNS aja kadang nggak sampai segitu jam kerjanya.

Mungkin sampai titik penjelasan ini, kalian akan bilang “Ya kalau gitu cari kerja yang lain, dong”. Masalahnya, lapangan kerja di Banyuwangi sangat minim. Kalau pun ada lapangan kerja yang bergaji sesuai UMK Banyuwangi, mereka harus bersaing dulu dengan pegawai yang didatangkan dari luar kota oleh perusahaan tersebut. Dan yang melakukan ini, bukan hanya satu atau dua perusahaan, tapi mayoritas.

Pemkab yang terkesan AFK dalam usaha memberantas jumlah pengangguran

Peran pemkab, khususnya Dinas Ketenagakerjaan, seharusnya menjadi pertolongan yang paling vital dalam kasus ini. Namun faktanya, keduanya tak bisa diandalkan. Apa yang sudah mereka lakukan untuk mengatasi semua masalah ini, memang layak jika tidak mendapatkan apresiasi oleh masyarakat.

Sosialisasi program yang amburadul, program yang nggak sesuai sasaran hingga program sekelas BLK yang nggak berjalan mulus, diborong semua oleh Dinas Ketenagakerjaan Banyuwangi.

Seperti yang sudah diketahui, sejak Banyuwangi bersolek menjadi kota pariwisata, Pemkab Banyuwangi pun tak henti-hentinya mendorong pelaku usaha UMKM unjuk gigi. Namun, ya gitu, ini bukanlah solusi terbaik. Karena, nggak mungkin dong semua pengangguran dan pekerja dengan gaji di bawah UMK Banyuwangi disuruh jadi pelaku UMKM. Lagian, biaya sewa lapak di tempat wisata juga edyan.

Selain itu, pemkab juga seolah tak memberikan cukup ruang terhadap masyarakatnya yang ingin mengembangkan skill-nya. Tentu, ini menjadi rapor merah bagi Pemkab Banyuwangi. Karena, di jaman sekarang, skill adalah segalanya. Satu-satunya tempat yang disediakan pemkab bagi masyarakat Banyuwangi untuk mengembangkan skill-nya cuma BLK. Itu pun masih amburadul.

BLK Banyuwangi yang amburadul

Saya ambil contoh dari kisah saya sendiri aja, deh, biar lebih menggambarkan betapa bobroknya BLK di Banyuwangi. Suatu saat, setelah bersusah payah mencari informasi tentang BLK terdekat, saya akhirnya mendapatkan nomor telepon pihak BLK yang bisa dihubungi. Langsung saja, tanpa babibu, saya menyatakan apa maksud dan tujuan saya. Namun, setelah hari itu, nyaris nomor saya tak lagi dihubungi oleh pihak BLK. Ya, saya dibiarkan dalam ketidakjelasan ini.

Lalu, sekitar hampir beberapa bulan selepas itu, di malam harinya saya mendapatkan pesan VIA Wa dari pihak BLK. Dalam pesan tersebut, saya dimohon untuk datang mengikuti seleksi pada keesokan harinya tepat jam 8 pagi. Tentu saja, dengan berbagai macam persyaratan yang nggak bisa saya lengkapi malam itu juga. Karena terlanjur muntab dan merasa ada yang nggak beres dengan pengelolaan BLK di kota saya, akhirnya, saya lebih memilih untuk mengikuti kursus milik swasta yang sudah tentu menguras tabungan saya.

Kalau boleh jujur, sebenarnya, semua keluh kesah warga Banyuwangi yang ada di tulisan ini, bisa diatasi dengan melampirkan laporan pada Dinas Ketenagakerjaan Banyuwangi dan nantinya akan diproses oleh mereka. Namun, masalahnya, emang mereka peduli dengan kita yang bukan siapa-siapanya ini? Wong selama ini pekerja dapat gaji di bawah UMK Banyuwangi juga nggak ada tindakan, kan?

Penulis: Rino Andreanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Plis Banget, Banyuwangi Bukan Kota Santet dan Nggak Perlu Nanya Hal Itu, kayak Nggak Ada Bahasan yang Lain Aja!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version