Jangan baper dulu
Jika boleh memperkenalkan secuil tentang sifat saya, saya ini termasuk orang yang nggak tegaan, gampang terenyuh, selalu baper ketika melihat orang yang memelas seperti porter di Terminal Purabya. Meski saya sudah menyetel diri untuk bersikap bodo amat, yang namanya hari apes siapa yang tahu. Saya lupa untuk menonaktifkan mode baper dalam diri saya.
Benar saja saya mulai terkecoh dan merasa kasihan dengan seorang porter yang sejak saya menginjakkan kaki pertama di lantai ruang tunggu terminal, dia sudah melancarkan tipu muslihatnya. Lantaran saya terus-terusan diikuti dan dicecar dengan pertanyaan yang sama—tentu dengan tampangnya yang memelas dan seakan peduli dengan saya—akhirnya saya luluh juga. Bayangkan, hampir sejam dia mencecar saya di ruang tunggu. Ibarat setan, dia sudah sukses menggoyahkan keimanan. Dasar setan!
Jangan pernah percaya siapa pun
Kalian tahu kelanjutannya? Ya, pada akhirnya saya pun menyerahkan barang yang sebenarnya mampu saya bawa sendiri. Apalagi saat itu jarak ke tempat bus sudah sangat dekat. Mau bagaimana lagi, saya sudah telanjur luluh.
Sebentar saja saya sudah sampai di tempat bus karena jaraknya memang sangat dekat. Sialnya, saya langsung terkejut ketika si porter minta upah Rp20 ribu yang sejujurnya bagi saya itu kemahalan. Lha, wong jaraknya memang dekat banget, ditambah barang saya nggak terlalu berat. Agak lama kami bersitegang, saya merasa kena tipu dan dia merasa sudah dirugikan. Pada akhirnya saya juga yang harus mengalah.
Nggak cukup di situ, belum usai rasa kesal saya, saya kembali kena tipu sama orang yang saya kira kondektur karena pakaiannya sama persis dan meyakinkan, yang sebelumnya dengan lugas menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke bus tarif biasa atau ekonomi. Saya tersadar kalau sudah kena tipu saat sampai di dalam bus. Sebab, bus yang saya tumpangi lebih bagus ketimbang bus ekonomi lainnya. Dan betul saja, saya bertanya kepada penumpang lain dan ternyata bus yang saya naiki adalah bus patas.
Sekuat tenaga saya menahan kesumat, namun saya sadar bukan saatnya melayani amarah ini. Saya harus cepat-cepat turun karena kalau busnya keburu berangkat, hidup saya malam itu bakal kacau. Memang sama-sama bus, tapi kan kalau bus patas tarifnya lebih mahal. Sementara saat itu, saya cuma bawa uang pas-pasan.
Sejak saat itu kisah orang-orang yang kena tipu di Terminal Purabaya saya ketahui kebenarannya, dan bahkan saya jadi korban. Tapi semoga saja hal apes yang terjadi pada saya nggak menimpa kalian ya. Sejujurnya, Terminal Purabaya sudah sukses menciptakan memori buruk dalam kepala saya.
Penulis: Faris Al Farisi
Editor: Intan Ekapratiwi