Anda tahu susahnya tinggal di Indonesia? Betul, pemerintahnya suka mengeluarkan peraturan yang tidak menapak tanah. Salah satunya adalah wacana peraturan kemasan rokok polos, buah dari Permenkes nomor 28 tahun 2013. Dari awal wacana ini muncul saja, saya sudah garuk-garuk kepala. “Pemerintah kita ini paham tidak sih karakter rakyatnya sendiri?”
Saya yakin bahwa peraturan Kemasan Rokok Polos ini akan berakhir sebagai kegagalan. Sialnya, peraturan ini nantinya malah lebih merusak banyak hal daripada mengontrol konsumsi rokok. Mungkin peraturan serupa terlihat menjanjikan di negara lain. Kalau Indonesia, yakin berhasil?
Wacana peraturan ini adalah bukti nyata pemerintah tidak menapak tanah. Ide lahir tanpa melihat realitas di lapangan. Sialnya, dampak merusak dari kemasan rokok polos bukan perkara sepele. Bukannya mengurangi konsumsi, malah mengacaukan industri yang rajin menyumbang negara.
Daftar Isi
Rekomendasi yang tidak membumi
Penggunaan kemasan rokok polos bukanlah hal baru di dunia ini. Kajiannya saja sudah dilakukan sejak lama. Beberapa peneliti berpendapat bahwa ada korelasi antara kemasan rokok dengan keinginan merokok. Kemasan rokok dianggap memiliki nilai jual yang mampu memengaruhi perokok. Terutama, perokok muda.
Australia adalah pelopor penggunaan kemasan rokok polos. Dimulai dari 2012, kebijakan ini juga direkomendasikan oleh WHO. Akhirnya beberapa negara lain seperti Inggris dan Irlandia mengikuti jejak yang sama.
Penggunaan kemasan rokok polos ini dipandang berhasil menekan konsumsi rokok. Terutama pada segmen anak muda. Meskipun ada laporan peningkatan konsumsi rokok ilegal di Australia, tapi peraturan ini masih menjadi pilihan dalam kontrol konsumsi tembakau.
Kini peraturan yang sama akan diterapkan di Indonesia. Jika melihat negara pendahulu, peraturan kemasan rokok polos terlihat menjanjikan. Namun apakah akan sama hasilnya di Indonesia?
Kemasan rokok bukan alasan untuk merokok
Mari kita pahami bagaimana masyarakat Indonesia memandang rokok. Memang, rokok sering menjadi simbol strata sosial. Konsumen rokok seperti Marlboro pasti dipandang lebih berada daripada konsumen rokok Djeruk. Tapi bukan berarti perokok di Indonesia mementingkan perkara sosial ini.
Mau sekaya apa pun Anda, rokok yang dikonsumsi belum tentu menyesuaikan. Misal, penikmat SKM seperti Surya akan ogah pindah ke SPM seperti Marlboro atau Camel. Meskipun ia bisa membeli 10 slop rokok 40 ribuan setiap bulan. Bahkan pindah ke Surya Exclusive saja belum tentu mau. Padahal Surya Exclusive jelas lebih mahal dengan kemasan lebih mewah.
Belum lagi para perokok lintingan. Mereka sudah terbiasa membawa tembakau dengan tas kresek. Syukur-syukur pakai kontainer plastik. Kemasan rokok (atau tembakau) polos jelas tidak memengaruhi selera mereka.
Konsumen rokok ilegal lebih gila lagi. Rokok yang mereka konsumsi saja pakai nama dan desain yang lebih jelek daripada spanduk pemda. Tapi apa mereka peduli meskipun merk rokok mereka adalah “L300” atau “Mama Baru”? Selama doyan, tetap saja disikat.
Dari kondisi di atas, kemasan rokok bukanlah penentu utama. Jenis dan rasa rokok lebih penting daripada desain kemasan. Justru kemasan rokok polos akan membawa potensi masalah baru. Masalah yang tidak pernah diselesaikan dengan serius oleh pemerintah.
Kemasan rokok jadi polos, industri rokok ilegal bersuka cita
Saya sudah menyinggung perkara rokok ilegal. Mereka bebas membuat desain dan merk seenak jidat. Wajar, toh mereka memang ilegal. Persetan dengan plagiarisme apalagi norma. Industri rokok ilegal ini yang akan diuntungkan oleh kemasan rokok polos.
Industri rokok ilegal tidak lagi sibuk meniru desain rokok legal yang populer. Toh tidak ada lagi identitas yang harus dicuri ketika semua kemasan rokok jadi polos. Bahkan tampilan rokok ilegal dan legal akan makin mirip, tanpa ada pembeda berarti yang membuat konsumen berpikir ulang sebelum membeli.
Bayangkan kemasan rokok semua sama. Entah putih polos, atau lebih menonjolkan gambar horor yang meneror benak konsumen. Yang membedakan hanya nama dan harga rokok. Tidak ada lagi simbol yang diplesetkan. Atau desain yang dipaksakan mirip.
Selamat, rokok ilegal tidak lagi sibuk mencuri identitas rokok legal! Mereka makin leluasa menjual produk tanpa cukai ini. Tentu harga murah akan jadi satu-satunya pembeda yang berarti antara rokok ilegal dan legal. Rokok ilegal makin mudah didistribusikan. Konsumen juga makin mudah mengakses produk ilegal ini.
Industri rokok legal akan terebut pasarnya. Penerimaan cukai akan makin berkurang. Jumlah perokok mungkin terlihat menurun dari kacamata industri legal. Namun harapan menekan jumlah perokok tidak pula terwujud. Sisanya, sila lihat kondisi hari ini. Toh sudah terjadi sejak cukai rokok naik secara ugal-ugalan.
Kapan Pemerintah mau mengenal rakyatnya?
Pada akhirnya, kita perlu kembali bertanya pada pemerintah. Sebenarnya kalian ini paham tidak sih realitas di sekitar kami? Atau cukup melihat peraturan negara lain dan bilang, “wah sepertinya menarik untuk dicoba!”
Jika harapannya untuk menekan perokok muda, maka pertegas peraturan distribusi rokok. Jika tujuannya untuk menekan konsumsi rokok, pahami bagaimana masyarakat berdinamika. Jangan lupa, masih ada PR besar perkara rokok ilegal.
Kalau sekadar coba-coba ide seperti kemasan rokok polos, jangan harap target kalian berhasil. Pahami kenapa masyarakat merokok. Tapi mungkin memahami ini adalah pekerjaan berat bagi pemerintah. Toh kalau gagal, rakyat lagi yang disalahkan. Entah dianggap bodoh, mental miskin, atau stigma negatif lain hanya karena merokok.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya