Belakangan ini nama Ternate lumayan populer berkat Vincent Rompies. Host yang kerap mengisi layar televisi dan YouTube bersama Desta Mahendra ini memang berasal dari Ternate dan sering mempopulerkan kota Ternate dan Maluku Utara secara umum. Nah, lantaran saya pernah ke Ternate, saya pun ingin berbagi cerita tentang salah satu kecamatan di Ternate yang bernama Kecamatan Pulau Hiri.
Jika berbicara soal teritorial, tidak semua kecamatan di Ternate berada dalam satu Pulau. Ada Kecamatan yang masuk wilayah administrasi Kota Ternate namun tidak berada di Pulau Ternate melainkan di pulau lain. Contohnya ya seperti Kecamatan Pulau Hiri yang ada di Pulau Hiri. Pulau ini luas daratannya sekitar 697,84 Hektar dan memiliki enam desa yang semuanya terletak di pesisir. Mayoritas penduduk di sini bekerja sebagai nelayan dan petani (pala, cengkih, kopra). Di Pulau Hiri, kita bisa dengan mudah bertemu pohon kelapa, sukun, lautan yang indah hingga senyuman dan keramahan warga yang jarang Anda temui di kota-kota besar.
Jika kita berkunjung ke Pulau Hiri sebagai wisatawan selama satu atau dua hari, kehidupan akan berjalan menggembirakan. Namun, saat saya tinggal selama 28 hari, barulah mulai menyadari betapa sulitnya hidup di sini. Saya tidak akan bercerita tentang hal-hal besar macam lapangan pekerjaan yang terbatas dan kebijakan publik. Saya justru akan mengeluhkan tentang hal-hal pokok yang dekat dengan keseharian rakyat biasa dan umumnya bisa saya temukan dengan mudah di Jawa, ternyata tidak tersedia di Pulau Hiri.
Pom bensin
Bensin peranannya sangat penting bagi penduduk kepulauan. Sebab, bensin tidak hanya digunakan untuk bahan bakar motor dan mobil melainkan juga kapal. Jika mayoritas penduduk di Jawa mengeluhkan tentang antrian pom bensin yang panjang hingga pelayanan yang kurang memuaskan. Di Pulau Hiri, semua keluhan tersebut sangat tidak relate karena pulau ini belum memiliki pom bensin.
Kalau penduduk setempat ingin antre di pom bensin milik Pertamina agar bisa membeli BBM yang harganya sama dengan di Jawa, mereka harus menyeberang lautan terlebih dahulu ke Pulau Ternate menggunakan kapal dengan ongkos Rp10 ribuan dan memakan waktu tempuh sekitar 30 menitan. Bayangin aja, hanya untuk membeli bensin, kita harus nyeberang laut dulu. Selain rugi waktu dan tenaga, biayanya pun jadi membengkak. Ya kali mau isi tangki motor lima liter harus keluar ongkos perjalanan PP Rp20 ribu. Sangat tidak ekonomis, bukan?
Biasanya penduduk lokal lebih memilih untuk membeli bensin eceran (bensin yang dijual di depan rumah warga) yang ada di sekitar Pulau Hiri. Harga bensin eceran di sini bisa tembus Rp15 ribu per liter untuk pertalite. Mahal banget ini mah, dengan uang yang sama, saya sudah bisa membeli Pertamax Turbo di Surabaya. Makin menyedihkan lagi karena bensin adalah kebutuhan pokok bagi nelayan, mereka membutuhkan bensin untuk melaut dan menangkap ikan. Lha kalau harga bensin mahal, apa kabar kesejahteraan nelayan?
Jika pemerintah mengatakan harga bensin sama untuk seluruh wilayah di Indonesia, secara teori memang benar. Namun, dalam praktik lapangannya butuh diperhatikan lagi agar distribusinya merata dan bisa dinikmati penduduk di seluruh negeri tak terkecuali warga kepulauan. Jangankan di Pulau Hiri, saya di Pulau Ternate yang hitungannya sudah kota, pergi ke pom bensin pukul 19.00 WIT saja pomnya sudah tutup karena stok BBM-nya habis. Hadeh, kudu-kudu tak tangisi ae, Rek.
Minimarket
Kita yang hidup di Jawa pasti familiar dengan Indomaret, Alfamaret, hingga Family Mart dan Lawson. Saking banyaknya jumlah mini market, saya kadang bingung mau berbelanja di minimarket mana. Namun, ketika berkunjung di Pulau Hiri, saya tak bisa menemukan satu pun Indomaret apalagi Family Mart. Adanya ya pasar, itu pun jumlahnya terbatas, bahkan ada lho pemukiman warga yang jaraknya cukup jauh dengan pasar.
Penduduk di Pulau Hiri tidak menolak modernitas. Hanya saja, negara belum memberikan kesempatan yang sama kepada mereka untuk memilih produk atau barang mana yang paling murah. Boro-boro memilih produk dengan harga termurah, harga kebutuhan pokok bisa stabil saja sudah beruntung. Harga Indomie saja beda lho antara di Jawa dengan di sini.
Saya tahu, ongkos produksi sebuah barang harus menghitung akomodasinya juga. Tapi, negara kita ini kan sejak lahir berbentuk kepulauan—lautan luas yang ditaburi pulau-pulau. Agaknya aneh, ketika kita sudah merdeka selama lebih dari 70 tahun, tapi tak mampu memberikan harga barang yang sama di setiap daerah. Setidaknya buatlah harga sama untuk kebutuhan pokoknya.
Bengkel motor
Sebagai anak teknik mesin, datang ke Pulau Hiri membuat hati saya nelangsa. Di pulau yang memiliki banyak spot snorkeling indah ini, tidak ada bengkel resmi. Adanya bengkel rumahan, itu pun jarang. Ketika saya bertanya kepada penduduk setempat, jika mereka ingin service motor di bengkel resmi ya kudu nyeberang laut terlebih dahulu menuju Pulau Ternate. Kebayang kan, gimana effort-nya warga Pulau Hiri maintenance motornya? Kalau hanya ganti oli, bapak-bapak di sini biasanya menggantinya secara mandiri.
Sementara untuk service dilakukan di bengkel rumahan. Saya tidak mengatakan bengkel rumahan jelek. Akan tetapi, tidak semua motor bisa diservis apalagi motor dengan permesinan yang sudah terkomputerisasi. Mengendarai motor trail ideal lho di Pulau ini dari segi jalannya, tapi nggak ideal dari sisi maintenance dan bahan bakar motornya.
Rumah sakit dan fasilitas pendidikan
Tidak ada rumah sakit besar di Pulau Hiri. Ketika tinggal di sini saya hanya bertemu dengan satu puskesmas, itu pun belum menerima pasien rawat inap. Jika kita sakitnya parah atau membutuhkan rawat inap harus berobat ke Ternate (baca: menyeberang laut lagi). Bagi penduduk lokal yang sudah terbiasa dengan laut, riwa-riwi naik kapal ketinting ataupun speedboat saat sakit sudah biasa. Namun bagi saya, membayangkannya saja sudah nelangsa duluan.
Lantas, bagaimana dengan sekolah? Ada kok sekolahan di sini untuk menunjang proses pendidikan. Akan tetapi, jangan dibayangkan sekolah dengan perpustakaan besar, lab komputer, dan lapangan olahraga lengkap dengan peralatan nge-gym. Nggak mungkin selengkap itu. Sekolah di sini fasilitasnya masih cukup terbatas, namun semangat juang adik-adik untuk belajar tanpa batas.
Sumber air bersih
Meskipun dikelilingi lautan, air bersih masih menjadi masalah klasik di Pulau Hiri. Ya kali warga diminta minum atau mandi dengan air laut? Lak yo pliket. Di Pulau Hiri ada beberapa sumur resapan, tapi jumlahnya tak banyak. Beberapa warga kadang menadah air hujan untuk kebutuhan mencuci dan mandi. Sebenarnya Kementerian PUPR berencana membangun saluran penjaringan air bersih dengan menggunakan pipa bawah laut pada 2020. Tapi, hingga kini belum terealisasi karena pandemi dan warga kembali diminta bersabar.
Masalah yang menurut saya tak kalah pentingnya adalah dermaga. Seperti yang saya ceritakan, Pulau Hiri masih “tergantung” dengan Pulau Ternate. Dermaga yang memadai tentu penting untuk memudahkan akses kapal dan distribusi barang. Sayangnya, sampai tahun ini, dermaga di sini masih jauh dari kata layak.
Bagaimana dengan listrik dan internet? Ya ada lah, di sini ada Tower Telkomsel, meskipun kecepatannya tak sekencang di Jawa. Muda-mudi di Pulau Hiri juga mengenal FB, Tiktok dan Instagram. Nggak jauh beda dengan kita yang di Jawa kalau urusan beginian mah.
Akhir kata, meski saya belum tentu bisa survive dan hidup tanpa amarah jika tinggal lebih lama di Pulau Hiri. Namun, saya mendapatkan banyak senyuman, makanan gratis dan keramahan yang luar biasa selama di sini. Urusan rasa syukur dan lapang dada, agaknya orang Maluku Utara juaranya. Saya berharap pemerintah lebih perhatian kepada penduduk yang tinggal jauh dari pusat Ibu Kota dan memercayakan pembangunan tanpa ada yang harus ditinggalkan.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nestapa Warga Pulau Obi, Korban Ambisi Jokowi