Kelok 44, Manifestasi Keindahan Sekaligus Ketakutan yang Menghubungkan Kabupaten Agam dan Bukittinggi

Kelok 44, Manifestasi Keindahan Sekaligus Ketakutan yang Menghubungkan Kabupaten Agam dan Bukittinggi

Kelok 44, Manifestasi Keindahan Sekaligus Ketakutan yang Menghubungkan Kabupaten Agam dan Bukittinggi (Website Provinsi Sumatera Barat via Wikimedia Commons)

Kelok 44 menjadi jalur penghubung Kabupaten Agam dan Bukittinggi. Melewatinya akan membuat kita merasa takut sekaligus berdecak kagum!

Awal bulan Desember tahun lalu, saya bersama rombongan rekan kantor berkesempatan menjelajahi beberapa daerah di Provinsi Sumatera Barat. Penjelajahan itu dimulai dari Padang Pariaman, memutari Danau Maninjau di Kabupaten Agam, naik ke Bukittinggi, hingga ke Padang dan Payakumbuh.

Perjalanan antara satu destinasi ke destinasi lainnya memang cukup jauh, bahkan sangat jauh. Minimal setiap perjalanan menempuh 2 hingga 3 jam. Meski begitu, sepanjang perjalanan cukup memberikan pengalaman yang mengesankan karena melewati banyak perbukitan dan pegunungan yang memuaskan nafsu visual karena keindahannya.

Dari sekian banyak jalur yang dilalui, rombongan saya menggunakan bus yang melewati jalur Kelok 44. Kelok 44 ini merupakan jalur penghubung antara Kabupaten Agam dan Bukittinggi. Waktu itu kebetulan kami dari Danau Maninjau, sehingga mau tidak mau harus melalui jalur tersebut agar tidak memutar jauh hingga melewati Padang Pariaman.

Nama Kelok 44 dikira sebatas metafora

Lantaran pengetahuan saya yang terbatas, awalnya saya mengira kalau Kelok 44 ini hanya metafora. Ah, paling disebut 44 karena jumlahnya banyak, paling hanya sekitar 10-15 kelokan, begitu pikir saya. Namun anggapan tersebut ternyata keliru.

Kelok 44 memang berjumlah 44 dengan jalur menyerupai ular yang meliuk-liuk seperti huruf “s”. Setiap kelokannya melengkung dengan sudut yang tajam, yaitu berkisar 45 hingga 60 derajat. Tidak hanya itu, Kelok 44 juga menanjak memutari pegunungan Bukit Barisan sepanjang 7,8 kilometer.

Sejarah pembangunan Kelok 44 yang terletak di Kabupaten Agam ini tidak diketahui secara pasti. Ada yang menyebutkan bahwa tahun pembangunannya di kisaran awal tahun 1900-an di masa penjajahan Belanda, hampir bersamaan dengan Kelok 9 yang terletak di Payakumbuh. Kabarnya, para gerilyawan juga memanfaatkan jalur ini untuk menyergap para penjajah Belanda yang sedang melintas.

Pemberian nomor kelok dimulai dari bawah, yakni dari dasar danau menuju ke puncak arah jalan menuju ke Bukittinggi. Topografi jalan yang terjal dan sulit membuat kendaraan berselisih bila bertemu di kelokan/tikungan. Oleh karena itu kendaraan dari atas harus bergantian memberi kesempatan kendaraan dari bawah menghindari pertemuan di tikungan.

Bagi pengemudi yang baru pertama kali lewat jalur Kelok 44 harus ekstra hati-hati. Sementara bagi pengemudi yang belum mahir mengendarai mobil atau motor, sebaiknya jangan sok-sokan melewati jalur ini. Hal lain yang perlu diperhatikan saat melintas di sini adalah kondisi kendaraan yang harus baik, terutama rem termasuk rem tangan pada mobil.

Baca halaman selanjutnya: Tak bisa dilewati sembarang kendaraan…

Kendaraan tidak bisa melewati jalur penghubung Kabupaten Agam dan Bukittinggi ini secara sembarangan

Tidak semua kendaraan bisa melewati jalur Kelok 44 ini. Truk besar dan berat dengan roda lebih dari enam tidak diperbolehkan melalui jalur ini. Sebab, jalanannya sempit dan tikungannya tajam. Bus yang saya tumpangi bahkan sering berhenti ketika berbelok karena harus memastikan bagian depan bus tidak menabrak pembatas bagian depan karena sangking sempitnya Kelok 44.

Uniknya, setiap kelokan 44 terdapat plang bertuliskan lafaz Asmaul Husna sebagai bekal zikir bagi orang-orang yang melewatinya. Ini menambah kesan bahwa alih-alih tertawa dan berbuat maksiat dengan bergibah, sebaiknya memperbanyak zikir agar perjalanan lancar dan selamat. Terlebih ketika melalui jalur ini dalam kondisi hujan. Ancaman longsor bisa saja membuat para pengemudi harus putar balik karena jalurnya tertutupi oleh gundukan tanah atau pepohonan yang tumbang.

Maka tak usah heran kalau sering terjadi kecelakaan di Kelok 44 ini. Pengemudi yang mengantuk atau pengemudi kurang presisi dalam berbelok acap kali membuat mobil jadi terbalik. Ketidakhati-hatian saat berbelok tanpa memperhatikan mobil yang ada di depan juga mengakibatkan sering terjadinya tabrakan dua arah. Selain dihadapkan dengan kondisi ruas yang kecil, di sisi kanan kiri Kelok 44 adalah jurang yang siap melahap setiap pengemudi yang sedang oleng.

Mengancam nyawa tapi juga menawarkan keindahan alam yang bikin pengendara kagum

Meski mengancam nyawa orang yang melintasinya, Kelok 44 menawarkan keindahan di sepanjang perjalanannya. Terlebih ketika dilewati menjelang sore hari. Sinar matahari yang memantul dari Danau Maninjau sangat memanjakan mata siapa pun yang melihatnya.

Tak jarang kita akan disambut kawanan kera jinak yang menjadi penunggu tetap Kelok 44 tiap kali melintas di sini. Menurut cerita, kera-kera tersebut pantang dibunuh atau diburu. Ada kepercayaan bahwa kerabat dari kera yang dibunuh akan mengejar pembunuhnya. Entah ini benar atau tidak, tapi cukup diyakini sebagai pengingat untuk tidak membunuh binatang.

Di setiap kelokannya juga terdapat sawah-sawah yang berbentuk terasering, pancuran-pancuran air dari sungai yang bertingkat-tingkat, serta hijaunya deretan Bukit Barisan, menambah kesan bahwa Tuhan itu memang Mahakuasa. Kelok 44 juga memiliki beberapa spot foto favorit, salah satunya di Puncak Lawang.

Pada tahun 2017, Kelok 44 juga menjadi jalur bagi balap sepeda Tour de Singkarak yang merupakan ajang kejuaraan balap sepeda resmi dari Persatuan Balap Sepeda Internasional (Union Cycliste Internationale). Tak hanya itu, Kelok 44 juga menjadi jalur tempuh ke lokasi kejuaraan paralayang di Puncak Lawang yang beberapa kali menjadi tempat kejuaraan paralayang tingkat internasional, seperti Asian Cup Paragliding 2013 dan kejuaraan Paralayang Internasional Agam 2018.

Melewati Kelok 44 membuat saya menyadari satu hal bahwa setiap usaha untuk menikmati keindahan pasti melalui banyak tantangan, salah satunya melawan rasa takut dalam diri. Saya jadi ingin memodifikasi kutipan Haruki Murakami dalam 1Q84, “Aku bisa menghadapi kesakitan ketakutan apa pun selama hal itu memiliki arti keindahan”.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Wisata Sumatera Barat Jarang Dilirik padahal Nggak Kalah Cantik dari Bali dan Jogja.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version