Belum lama ini, jagat Twitter kembali gaduh dengan adanya cuitan seorang ibu dengan username @belindch yang mengeluhkan kebijakan sekolah menggelar acara memasak bagi para siswanya. Mungkin hal ini nggak kedengaran aneh kalau kelas memasak atau cooking class tersebut ditujukan bagi siswa kelas 5 atau 6 SD yang sudah dirasa cukup memahami instruksi serta risiko berhadapan dengan kompor dan minyak panas.
Akan tetapi, yang menjadi perdebatan sekaligus pertanyaan banyak orang tua adalah ketika pihak sekolah mengadakan kelas memasak untuk anak-anak di bangku kelas 1 dan 2 SD, atau bahkan TK, lengkap dengan kegiatan memotong dengan pisau betulan atau menggoreng seperti yang dialami ibu tersebut. Sepenting itukah mengajari anak-anak memasak di usia yang terhitung dini?
EMOSI BATS GUE
Sekolahnya membiarkan anak-anak “menggoreng” dengan tinggi minyak dan kompor setinggi ini.
Itu kalo kejadian minyaknya numplek apa gak habis muka anak gue???Udah gue tegur di grup, dibaca aja, ga ada minta maaf sama sekali.
STRESSS GUEEE
😡😡😡 pic.twitter.com/CaI8Asv8tP— Uta Makan Selamat (@belindch) February 22, 2023
Oke, hampir semua orang setuju kalau memasak merupakan salah satu life skill atau keahlian dasar dalam bertahan hidup. Manusia mana yang nggak butuh makan? Akan tetapi, pelajaran mengenai basic life skill seharusnya diberikan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan serta usia anak. Terlebih apabila kelas memasak untuk usia dini tersebut dicetuskan oleh sekolah yang merupakan institusi pendidikan.
Daftar Isi
Saat memasak, orang dewasa juga banyak yang takut kecipratan minyak panas
Orang tua sudah mempercayakan sepenuhnya anak mereka sekian jam pada pihak sekolah untuk dibina menjadi pribadi yang baik. Kepercayaan itu tentu saja juga termasuk dalam segi keamanan anak, khususnya ketika murid masih berada di lingkungan sekolah.
Orang dewasa waras mana yang tega menghadapkan anak kecil dengan api dan minyak panas yang sangat berpotensi membahayakan diri mereka dengan dalih kelas memasak? Apalagi dengan ketinggian kompor yang nggak seimbang dengan tinggi badan anak. Kalau lagi sial, terus ada kecelakaan, apakah pihak sekolah mau bertanggungjawab sepenuhnya? Di sini kegusaran @belindch sangat dapat dimaklumi.
Perkara memasak, orang dewasa saja masih banyak yang takut kecipratan minyak panas. Saking takutnya, bahkan ada yang memakai helm sebagai pelindung kepala ketika menggoreng supaya nggak terkena letupan minyak panas. Pernah lihat, kan?
Selain sakit, luka yang ditimbulkan akibat terkena minyak panas juga akan membekas dan susah hilang. Kadang butuh bantuan dokter guna menanganinya. Tentu saja biayanya nggak murah. Lha, kok bisa ada anak kecil masih usia 7-8 tahun sudah disuruh menggoreng pakai alat dapur seadanya yang biasa digunakan orang dewasa plus tanpa mengenakan pelindung apa pun. Apa nggak ngadi-ngadi?
Mengajari anak memasak bisa dimulai dengan tugas sederhana, tak langsung berhadapan dengan kompor dan minyak panas
Alasan didampingi orang dewasa selaku guru pun tak lantas membuat kelas memasak seperti itu diwajarkan. Anak kecil usia TK dan SD kelas 1-3 masih sangat aktif dan suka bercanda tanpa memperhitungkan bahaya yang mungkin terjadi. Apalagi kalau jumlah pendamping dan siswa nggak proporsional.
Yakin guru bisa mengawasi anak satu per satu dan menjamin nggak akan terjadi kecelakaan sekecil apa pun? Susah-susah orang tua mengajari anak buat nggak mainan api di rumah, eh, di sekolah malah dipaparkan langsung dengan bahaya api serta minyak panas, siapa yang nggak jengkel?
Metode pelajaran memasak yang diberikan sekolah terkait jelas-jelas kalah jauh dibandingkan kelas memasak yang diadakan oleh pihak di luar sekolah seperti event organizer untuk acara aktivitas anak. Para penyelenggara kelas memasak tersebut lebih berakal sehat dengan mengadakan pelajaran memasak yang relatif aman bagi anak kecil tanpa menyertakan benda tajam, api, dan minyak panas.
Misalnya, anak diajari bagaimana cara membuat roti lapis atau sandwich yang hanya membutuhkan pisau plastik untuk mengoles selai atau mayones. Contoh kelas memasak lain yang lebih sesuai untuk anak kecil adalah membuat salad sayur atau sop buah. Menyiapkan makanan nggak selalu harus yang digoreng, kan? Rasanya pelajaran memasak yang sederhana seperti ini sudah cukup bagi anak kecil tanpa harus menggadaikan keselamatan mereka.
Mengajari basic life skill bisa dimulai dengan hal sederhana
Mengajarkan soal life skill buat anak kecil itu nggak melulu soal menggoreng makanan, lho. Idealisme mengenalkan anak pada keahlian mengolah makanan mereka sendiri memang baik. Namun perlu diingat, sebelum jauh menuju ke titik tersebut, ada jenis life skill lain yang wajib dikuasai anak terlebih dahulu.
Kenapa nggak mengajarkan anak berlatih beberes seperti melipat selimut atau membuat simpul pada tali sepatu mereka sebelum berlagak mengadakan cooking class? Jangankan api dan minyak panas, membiarkan anak kecil menuang air mendidih sendiri saja sudah bikin orang tua ketar-ketir. Makanya sejumlah produk dispenser sekarang diberi alat pengaman pada saluran air panasnya supaya anak-anak nggak bisa mengucurkan air panas dengan mudah. Masa iya hal sepele kayak gini saja nggak dipahami?
Anehnya, merujuk pada utasan tersebut di Twitter, ternyata pihak sekolah masih merasa oke-oke saja dengan kegiatan memasak yang cenderung berbahaya tersebut dengan beralasan sudah ada pendampingan dan agar anak ada pengalaman menggoreng. Memang apa pentingnya pengalaman menggoreng bagi anak seusia paling besar kelas 2 SD? Gimana seandainya pengalaman yang didapat justru terbakar api atau ketumpahan minyak panas? Mungkin pihak sekolah yang mengusulkan acara cooking class tersebut belum pernah mendengar pepatah “lebih baik mencegah daripada mengobati”.
Mengusulkan orang tua untuk pindah sekolah yang sesuai dengan selera pengajaran orang tua juga bukan tindakan solutif. Masalah di atas nggak sebatas kurikulum. Ini soal keamanan, lho. Perusahaan yang mempekerjakan karyawan saja wajib menerapkan standar keselamatan kerja. Harusnya sekolah pun bersikap demikian. Bukan berlindung di balik kebijakan masing-masing sekolah tanpa mengindahkan keselamatan anak didiknya.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 3 Kesalahan yang Saya Lakukan Saat Belajar Masak, Jangan Ditiru!