Sebentar lagi tahun ajaran baru segera tiba, dan sudah menjadi rahasia umum, datangnya tahun ajaran baru pasti jadi ajang perlombaan berbagai ormek untuk mendapatkan maba sebanyak mungkin untuk direkrut dan dijadikan kadernya. Ndilalah saya kok masuknya PMII. Dan perkenalan saya dengan PMII, terbilang cukup unik atau lebih tepatnya nggatheli.
Bukannya saya masuk gara-gara basis kultural ormek ini adalah Nahdliyin cum Aswaja sebagaimana juga latar belakang saya. Tapi saya malah lebih tergoda dengan rayuan gombal kakak senior PMII yang jadi PJ (penanggung jawab) kelompok PBAK saya waktu itu je.
Rayuan 4 semester lalu itu, kurang lebih seperti ini: “Ayo, dek, gabung kita. Nanti kalian bisa jadi aktivis sangar kayak kakak-kakak senior itu loh (sembari menunjuk orang yang sedang orasi di atas panggung). Bisa juga jadi ketua atau anggota HMJ, Badan Eksekutif, atau Senat mahasiswa kayak kakak itu loh, Dek. Beneran nggak mau ikut Mapaba? Nggak bakal nyesel deh berposes di PMII, Dek. Banyak senior yang siap membimbingmu”.
Bedebah! Sepolos-polos maba, siapa yang nggak klepek-klepek sama iming-iming dibimbing jadi aktivis heroik macam kakak-kakak di atas panggung yang sedang berorasi ganyang KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan diakhiri dengan sumpah serapah mahasiswa coba? Maklum, Mylov, semangat 45 saya untuk mengubah dunia sedang meletup-letupnya je. Seanget tahi ayam yang baru 2 menit jatuh ke tanah lalu kepidak kaki.
Dalam situs PMII Rasya, saya membaca bahwa jumlah anak seangkatan fakultas saya yang ikut Mapaba (masa penerimaan anggota baru) saja ada 361 dari 450-an anak. Ini baru sefakultas. Fakultas lain dan di rayon lain pun jumlahnya tak jauh beda. Pokoknya 50% lebih mahasiswa seuniversitas yang ikut PMII. Tapi entah mereka dulu bergabungnya karena iming-iming posisi atau murni ingin berproses. Wallahu a’lam bis shawab.
Oke, oke, mungkin sebagian Sahabat/i melihat kuantitas yang sebegitu banyaknya sebagai sebuah pencapaian gemilang nan patut dibanggakan. Namun patut diakui pula, jalan ninja yang mayoritas mereka pilih lebih menonjol layaknya ketum PB ke-9 (1994-1997), Mylov: Cak Imin. Yaitu berpolitik. Alih-alih meniti jalan terjal bak Mahbub Djunaidi, sosok ketum PB pertama (1960-1967). Yang pernah dijebloskan ke penjara tanpa kejelasan apa salahnya.
Yaiyalah, Bambang, siapa yang mau dipenjara? Dengan alasan yang nggak jelas pula. Mending pilih yang enak napa.
Apa pun jalan yang menjadi pilihan para kader, tentu berkaitan erat dengan model kaderisasi yang diterapkan dan dijalankan oleh para seniornya. Engkau adalah anak zamanmu, dan engkau adalah kader seniormu. Kira-kira begitu.
Ketika pemilwa tiba, di kampus saya, entah sejak kapan anak PMII selalu sibuk menyeleksi kader yang sedemikian banyaknya. Itu semua semara untuk dipilih mana yang paling loyal memperjuangkan kepentingannya untuk menggantikan posisi dancuk (komandan pucuk) senior mereka—yang akan segera berakhir masa jabatannya—di lembaga intra. Lembaga yang dimaksud seperti HMJ, Senat, Badan Eksekutif dan UKM atau sekedar mendistribusikan mereka ke situ. Meski secara tersurat nggak ada aturan begitu, namun secara tersirat di jidat mereka tertulis lafal “mari kita songsong kemenangan, Sahabat-sahabatiku.”
Kepada salah seorang senior, saya pernah bertanya perihal posisi dancuk kemahasiswaan (yang notabene organ intra kampus), Pertanyaannya adalah kenapa anak PMII yang harus menempati dan mengisinya? Bukankah lebih baik kita bermain sehat saja, berdasarkan kualitas. Bukan kuantitas. Kalau anak PMII memang berkualitas, ya oke saja. Tapi jika ada kader ormek tetangga, katakanlah HMI, IMM, KAMII dsb. yang lebih berkualitas, mengapa nggak boleh?
“Ya kalau posisi itu dipegang tetangga sebelah, bagaimana nantinya nasib kader kita? Masak kader kita mayoritas kok malah dipimpin golongan minoritas. Tujuan kita menguasai mengurus lembaga intra, ya agar bisa jadi wadah kader dalam berproses”. Nah, loh. Kalian para calon maba beneran nggak mau gabung dan berproses di PMII? Kalian nggak perlu repot-repot mikirin akses. Sebab para senior sudah memikirkannya.
Nggak berhenti di pemilwa, perhatian para senior kepada adek-adeknya masih berlanjut sampai RTAR (Rapat Tahunan Anggota Rayon) tiba.
Pasalnya, di dalam forum tertinggi anggota rayon yang digelar saban tahun ini, para senior jelas akan mempertanyakan sudah dapat posisi di mana sejauh mana kualitas para kader selama berproses? Apa mereka paham Das Capital atau malah Wealth Nation-nya Adam Smith?
Loh loh, kok ini malah ngebahas ideologi? Mungkin blio-blio lupa kali ya, sedari awal yang dipromosikan SPG Oppo dan Vivo itu kan posisi promo gadget. Bukan ideologi. Apalagi kualitas. Tapi tak apa lah, namanya aja cinta. Seperti kata pepatah Konoha, karena cinta, tahi ayam pun rasa ramen Ichiraku.
Baik, sekarang saya akan mengajak kalian Bat/i-ku untuk men-tadabbur-i hikmah apa yang dapat diambil dari model kaderisasi ala PMII ini. Apa kalian tahu air yang tergenang dan lama tidak mengalir? Air itu jelas akan berbahaya bagi kesehatan, bukan hanya ketika diminum, tapi juga bila digunakan cuci tangan atau malah mandi. Yah, seperti itulah jumud.
Selama ini saya, atau bahkan kita (hah, kita?). Sadar atau tidak, sejatinya—dengan model kaderisasi PMII yang seperti itu—kita sedang berjalan di tempat, Bat/i-ku. Dan itu sangat berbahaya bagi pikiran sekaligus daya imajinasi kita tentang masa depan sebagai mahasiswa yang, “katanya”, mengemban mandat agen perubahan sosial.
Masak iya tiap tahun kita hanya mengulang pola yang sama. Ketika tahun ajaran baru tiba, target kita dapat anggota yang banyak. Ketika pemilwa tiba, kita sibuk memikirkan bagaimana agar dinasti politik ini tetap bernafas panjang. Dan ketika RTAR, kita malah mengeluhkan kenapa kader sebanyak itu kualitasnya…yah begitulah. Konyol, bukan?
Belum lagi ditambah peran sebagian senior yang persis kata Gus Mul: kayak kanebo kering. Tentu nggak semua senior begitu. Saya juga punya kok senior yang kayak binaragawan yoga, lentur dalam menyikapi setiap langkah kadernya. Dan tipe senior beginilah yang selama ini saya jadikan panutan. Tapi saya di sini kan sedang curhat. Dan curhat itu, biasanya, ya menyangkut kekesalan.
Yang jelas, berhasil atau tidaknya suatu kaderisasi di dalam PMII itu hanya bisa diukur dengan sejauh mana para Sahabat/i ini mampu menerapkan NDP (nilai dasar pergerakan) dalam setiap langkah dan perjuangannya. Sejauh mana para Sahabat/i ini membela kaum yang tertindas, memperjuangkan hak-haknya, menentang kezaliman penguasa dan sebagainya. Sebagaimana dulu Sang Pendekar Pena juga demikian.
Banyak juga kok anak PMII di luar sana yang masih istiqamah menempuh jalan terjal perjuangan. Tentu kita harus mengikuti jejaknya.
Untuk itu, saya rasa, pertama-tama yang harus kita benahi adalah kualitas para kader dulu. Yah, kualitas dulu, kesampingkan kuantitas. Terdengar klise tapi percayalah, inilah solusinya.
Kepada salah seorang senior, saya pernah mengajukan ide ini. Nggak perlu lah tahun depan kita promosi PMII berlebihan sampai di depan gerbang-gerbang kampus atau pas PBAK. Biar mereka saja yang mencari kita (PMII) berdasar nurani dan terpikat dengan kualitas kita. Sementara kita fokus pada kualitas kader saat ini, kata saya.
Berharap dapat jawaban kritis ala ala anak pergerakan. Blio dengan enteng menjawab “ya nggak bisa, kalau begitu nanti bagaimana kalau para maba ikut ormek yang tidak Ahlussunnah!”
Kali ini saya benar-benar ingin melafalkan Salam Pergerakan sambil tepok jidat, masak Aswaja begitu?
BACA JUGA Nggak Usah Tersinggung kalau Pesantren Diasumsikan sebagai Bengkel Moral atau tulisan Rusda Khoiruz Zaman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.