Waktu pertama kali denger ada idol Kpop dari Indonesia, saya cuma kebayang sama Lisa Blackpink. Kita masih inget dong kalau Lisa pernah kena bully netizen Korea? Saya nggak begitu inget apa saja kalimat bully-nya, tapi ada satu yang nggak bakal pernah saya lupain: Lisa cantik kayak peri Rusia kalau pakai make up. Tapi begitu nggak pake make up, mukanya kayak cewek-cewek Thailand doang.”
Sadiezzzzz. “Mukanyak kayak cewek Thailand doang,” gitu loh. Seolah-olah cewek Thailand itu jelek. Padahal mohon maaf, emangnya muka cewek Korea lebih baik dibanding cewek Thailand? Saya kok ragu, ya.
Bukannya saya hater Korea. Kalau boleh jujur, saya malah menyukai banyak hal mengenai industri hiburan Korea. Sebab mereka rajin, kreatif, dan inovatif. Lihat saja drama Korea-nya. Ceritanya macem-macem, alurnya kadang sulit ditebak, dan episodenya ringkas. Mereka berani mengangkat tema yang tak melulu soal romansa. Logikanya juga jalan, bukan ala sinetron perazaban di Indonesia.
Hal yang tidak saya suka mengenai industri hiburan Korea adalah obsesi mereka terhadap kecantikan fisik. Kita di Indonesia mendefinisikan “cantik” dengan lebih longgar. Tara Basro cantik, Dian Sastro cantik, Maudy Ayunda cantik, Laura Basuki cantik, de es te. Alhamdulillah, kita bisa mengapresiasi berbagai bentuk kecantikan karena masyarakat kita sangat beragam etnisnya. Dari kulit hitam ala nona Ambon manise sampai mata sipit, bisa dianggap cantik di negeri ini.
Hal ini berbeda dengan Korea. Masyarakat Korea sangat homogen. Makanya, mereka lebih kaku dengan apa yang disebut cantik. Ketiadaan diversitas itulah yang menurut saya membuat imaji mereka soal cewek cantik kurang. Alhasil, mereka mengukur kecantikan pakai penggaris dan eksekusinya pakai pisau operasi.
Hardcore sekali.
Nah, sekarang, ada orang Indonesia yang jadi Kpop Idol. Pertama kali lihat Kak Dita, saya pikir, “Wow, wajahnya manis khas Indonesia sekali.” Kebetulan saya punya teman orang Bali dan wajahnya lumayan mirip sama Kak Dita Karang ini.
Saya ikut senang melihat ada orang Indonesia yang semangat juangnya tinggi untuk masuk industri Kpop. Tapi mau tak mau saya juga deg-degan. Saya deg-degan karena saya khawatir ada bully yang bakal ditujukan ke Dita.
Ke sesama artis Korea saja, netizen Korea sangat ganas. Apalagi ke orang Asia Tenggara seperti orang Indonesia? Kasus Lisa itu cuma contoh keganasan netizen Korea ketika menyasar orang Asia Tenggara. Kita sendiri tentunya masih ingat dengan artis Korea yang kena bully sampai bunuh diri seperti Go Hara.
Anda dan saya harus sepakat bahwa memang ada yang bermasalah dengan industri hiburan Korea dalam hal ini. Kalau di Indonesia, masalahnya terletak pada sinetron yang nggak masuk akal dan artis yang suka bikin settingan, di Korea ya masalahnya fans yang ganas.
Selain khawatir dengan Dita yang jadi Kpop Idol, saya juga khawatir ada perang toksik antara netizen Indonesia dengan netizen Korea. Saya nggak tau deh soal netizen Thailand di kasus Lisa dulu. Tapi saya menduga, netizen Indonesia nggak bakal tinggal diam kalau orang Korea ngata-ngatain orang Indonesia.
Kalau Anda sering nonton video YouTube atau postingan Facebook soal perbandingan negara, Anda pasti tahu kalau netizen Indonesia bisa sangat amat galak. Kasus Indonesia vs Malaysia pun melegenda kok di jagat maya. Jumlah netizen Indonesia yang bak air bah juga sering memperkeruh ketika ada “war” antara Indonesia dengan negara lain.
Kalau “war”-nya temporer masih bisa diterima. Tapi kalau berkelanjutan?
Yang saya khawatirkan adalah munculnya Indo vs Malay ver 2.0, hanya saja kali ini antara netizen Indonesia vs Korea. Kalau hal itu sudah terjadi, jangan kaget kalau banyak umpatan rasis bertebaran di mana-mana. Orang Indonesia mungkin bakal dikatai miskin dan jelek sama orang Korea, sedangkan orang Korea akan dikatai “muka plastik” sama orang Indonesia.
Ah, toksik!
Namun, semoga saja kekhawatiran saya itu tidak terjadi. Semoga semua orang bisa mengapresiasi Dita apa adanya. Malah kalau bisa, kemunculan Dita harusnya mempererat hubungan Indonesia dan Korea, bukan malah bikin semua jadi ambyar.
BACA JUGA Dari Drama Korea ke Dunia Nyata: Betapa Sensitifnya Kita Terhadap Pelakor dan tulisan Nar Dewi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.