Saya juga heran ya, kenapa ada banyak obrolan-obrolan aneh di seputar tempat tongkrongan semacam kedai kopi. Di kota-kota besar seperti Yogyakarta, kedai kopi sudah menjadi tempat favorit untuk bertukar pendapat ketimbang di dalam kampus yang agaknya terlalu kaku dalam membahas isu-isu yang kadang berlebih-lebihan dan tidak penting.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kedai kopi sudah menjadi seperti arena baru atau bahkan mazhab baru dalam pemikiran. Paling tidak, meski tidak bisa dipetakan secara serius seperti aliran-aliran dalam ilmu sosial atau agama, arena baru pemikiran di kedai kopi sudah membentuk karakter tersendiri sebagai rumah bersama para aktivis mahasiswa atau pemikir pemula yang tugas akhirnya tak kunjung selesai.
Bahkan, yang tidak suka kopi pun ikut-ikutan ke kedai, demi apa? Ya demi nongkrong, demi perbincangan aneh seputar isu sana sini yang bahkan lebih kritis dan mengakar dari pada obrolan para pakar di TV itu, dan yang paling menggoda tentu saja isu seputar agama dan relevansinya bagi kebermaknaan hidup hari ini.
Kenapa perbincangan agama begitu menggoda? Tentu saja tidak ada obrolan yang lebih menantang daripada memikirkan kembali dan mempertanyakan kesadaran objektif dari kebenaran agama. Tidak melulu serius sih, tapi kadang-kadang ide-ide aneh sering muncul dalam obrolan santai dan penyelaman pemikiran itu terjadi karena ada pengalaman-pengalaman individual yang secara berani menantang otoritarianisme agama.
Banyak para aktifis dan mahasiswa pada umumnya mencurahkan isi hati dan pikiran di kedai-kedai bukan sekedar melampiaskan kajian-kajian mereka di dalam kelas atau sekedar diskusi-diskusi kecil yang tampaknya terlalu serius dan elitis di tengah pengalaman hidup yang penuh lelucon hangat dan popularisme yang mengembirakan.
Bukankah ini lebih menarik daripada memperbincangkan soal-soal kebenaran yang harus diterima secara taken for granted, jangan terlalu seriuslah, ini bukan soal hak paten pemakai kebenaran. Sudah terbukti kok, sikap militansi yang terlalu kaku banyak menimbulkan masalah dan berakibat pada hilangnya toleransi lintas iman. Bagaimana mana mungkin suara agama yang begitu agung bisa dibeli oleh oknum-oknum politis yang sangat pragmatis.
Pemurtadan, jika ini dipahami sebagai berpindah dari satu keyakinan ke keyakinan yang lain dalam sudut internal agama, termasuk berpindah dan yakin menjadi ateis, maka fenomena ini banyak terjadi di kedai-kedai. Sebagai pengalaman individual secara langsung, saya sering bertemu dengan teman-teman dan tentu banyak juga yang tidak kenal, menyaksikan betapa bebasnya wacana pemikiran diobrolkan di kedai kopi.
Biasanya, ini terjadi pada para aktivis organisasi atau mahasiswa teologi yang konsen dalam mengkaji isu-isu agama, tidak semua sih, hanya pada orang-orang tertentu saja yang punya nalar progresif dan pembaru, sering juga nakal. Tapi, pemurtadan ini jangan dipahami secara formal sebagai berpindah keyakinan, tentu saja mereka tidak berani karena punya ayah ibu yang sangat konservatif, dan masih salat jika pulang kampung.
Perilaku dan memahami agama itu punya batasan, persis seperti keterbatasan rasio kita dalam memahami hal-hal abstrak. Tentu saja, kedai kopi bukanlah oknum yang menggiring nalar liar seorang pemikir muda ini, tapi kedai kopi mewadahi dan memberi jalan bagi liberalisme dan cara berpikir bebas.
Anda harus percaya bahwa watak pemilik kedai itu sangat komersil, mereka tidak tertarik dengan isu agama. Tapi jika kedai mereka dipakai untuk berdialektika oleh banyak konsumen yang duduk bersama dan semakin banyak perbincangan ini itu, maka pemiliknya semakin senang. Tentu saja ini prestasi tersendiri bagi mereka bukan hanya sekedar mengumpulkan selembar kertas berharga, tapi juga punya otoritas penuh atas kebebasan konsumen dalam berpikir di wilayah kekuasaannya.
Sudah tidak terhitung penulis menyaksikan pernyataan seorang teman dan temannya teman, tentang kondisi-kondisi spiritual mereka, gugatan mereka terhadap betapa sudah tidak relevan beragama hari ini, ateisme dan agnostik teis begitu membanjiri pergolakan pemikiran mereka, dan ini tidak akan terjadi di ruang-ruang formal, hanya kedai kopi sebagai tempat yang paling strategis. Bukan karena mereka takut, tapi hanya kedai kopilah yang paling layak untuk menerima dan menyaksikan ide-ide nakal ini.
Ini fenomena baru, dan tidak akan terjadi di mana-mana, kecuali tentu saja ruang permenungan mereka yang begitu intim dan penuh gejolak. Ini bukan sesuatu yang negatif, entah kita mau melihat dari sudut pandang bagaimana, proses berpikir dan belajar itu merupakan jalan terbaik bagi pendewasaan. Seperti kata Habermas, teruslah mencari dan mencari, betapapun tidak ketemu, paling tidak kita bisa lebih dekat dengan kebenaran.
Ruang kebebasan harus dibuka selebar-lebarnya karena hanya dengan itu otonomi individual dapat dicapai. Kebenaran, jika ia penting, bukan hanya miliki orang-orang yang secara kolektif membentuk kebenaran secara institusional, kebenaran adalah milik bersama, milik murid-murid kebenaran yang sedang mencarinya, dan tentu saja orang yang bahkan tidak percaya dengan kebenaran berhak memilikinya. (*)