Kecamatan Kepil, Jalur Penghubung Wonosobo-Magelang yang Mengancam Nyawa Pengendara

Kecamatan Kepil, Jalur Penghubung Wonosobo-Magelang yang Mengancam Nyawa Pengendara

Kecamatan Kepil, Jalur Penghubung Wonosobo-Magelang yang Mengancam Nyawa Pengendara (Unsplash.com)

Lewat Kecamatan Kepil yang menjadi jalur penghubung Wonosobo dan Magelang di malam hari sama seperti setor nyawa. Tenan, Lur!

Minggu kemarin, saya berkunjung ke Festival Mojok (Fesmo) yang digelar di Taman Komunikasi Kanisius Yogyakarta. Kebetulan saya berangkat hari Sabtu siang sekitar pukul 14.00 WIB. Alih-alih melewati jalur selatan yang panasnya nggak karuan, saya memilih pergi ke Jogja via Wonosobo-Magelang. Saya juga sudah janjian dengan saudara yang hendak silaturahmi dengan kawan-kawan pesantrennya di Jogja.

Sebenarnya saya selalu senang tiap pergi ke Jogja via jalur Wonosobo-Magelang. Kenapa? Karena di sepanjang jalan saya bisa menikmati perjalanan tanpa takut tersengat panasnya sinar matahari yang bisa bikin kulit belang. Ketika melewati tugu perbatasan Banjarnegara dan Wonosobo saya mulai merasakan kesejukan yang menyelimuti badan. Hawa sejuk ini membuat siapa pun yang berkendara merasa nyaman.

Sayangnya, kesejukan itu tak bertahan lama begitu kendaraan memasuki Kecamatan Kepil. Kecamatan yang menjadi penghubung antara Wonosobo dan Magelang ini memiliki kontur jalan yang bikin pengendara pegal sekaligus menyesal melewatinya karena bisa mengancam nyawa.

Kondisi jalan di Kecamatan Kepil naik turun

Sebenarnya kondisi jalan yang naik turun ini sudah dimulai sejak pengendara memasuki SPBU Pertamina Sepuran yang berada di Jalan Raya Kretek-Kepil. Setelah melewati SPBU tersebut, pengendara harus menyiapkan diri untuk melewati jalan yang meliuk tak menentu. Kalau nggak percaya, cek aja di Google Maps. Jalan di Kecamatan Kepil ini layaknya ular berukuran panjang yang sedang melilit tak menentu ke berbagai penjuru.

Bukan hanya itu, kontur jalan di Kecamatan Kepil ini sering kali menipu pengendara yang melintas. Saat sedang asyik memacu kendaraan dengan kecepatan maksimal di jalan yang mulus, saya sering dikagetkan dengan kontur jalan yang berbeda. Jadi di satu titik jalannya mulus, bagus, eh tiba-tiba di titik lainnya hancur. Pokoknya serasa kena prank saat melewati jalur ini.

Kalau kalian kebetulan melintasi jalur ini, saya sarankan untuk memacu kendaraan dengan kecepatan normal. Cara ini dilakukan agar tangan kalian nggak pegal saat memainkan tuas gas dan rem motor, dan tentu saja supaya nggak celaka.

Baca halaman selanjutnya: Beriringan dengan mobil pick up pengangkut sayur yang kebut-kebutan…

Mobil pick up pengangkut sayur yang kebut-kebutan

Saat berangkat menuju Jogja lewat Kecamatan Kepil, saya beriringan dengan beberapa mobil pick up pengangkut sayur. Maklum, Kabupaten Wonosobo menjadi salah satu wilayah yang memberikan suplai sayur-sayuran pada daerah lain di sekitarnya. Namun ada yang beda dari mobil pick up pengangkut sayur di Kecamatan Kepil ini. Meskipun sedang mengangkut sayur dengan kapasitas yang banyak, mereka tetap mengendarai mobil dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

Beberapa kali saya mencoba untuk menyalip mobil bak tersebut, namun upaya saya gagal terus. Tiap hendak menyalip, sang sopir selalu tancap gas seolah enggan disalip. Karena kesabaran saya setipis keripik, saya pun memberanikan diri untuk mepet persis di belakang mobil dan tancap gas menyalipnya.

Bukannya apa-apa, berada di belakang mobil pengangkut sayur dengan bahan bakar solar adalah sebuah kesialan. Asap knalpot yang tebal bikin saya batuk-batuk dan kelilipan. Padahal hal ini bisa membuat saya terjatuh karena konsentrasi berkendara terganggu.

Melewati jalur Kepil di malam hari sama dengan setor nyawa

Setelah acara Fesmo selesai, saya memutuskan untuk langsung pulang ke Purbalingga mengingat hari Senin saya harus ke kampus untuk persiapan sidang skripsi. Awalnya, saya sempat ragu karena harus pulang malam hari. Bukan karena takut dengan klitih yang ramai di Jogja itu, melainkan karena saya harus melewati Kecamatan Kepil yang mencekam.

Akan tetapi tanpa pikir panjang, saya memberanikan diri melewati jalur itu lagi. Saat memasuki area Candi Borobudur, jalanan sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa motor melintas dan angkringan di pinggir jalan yang masih buka. Wajar saja karena saat melintas di sana waktu sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Mental saya makin menipis.

Benar saja, di sepanjang jalan Kecamatan Kepil, saya hanya berpapasan dengan beberapa mobil. Nggak ada satu pun pengendara motor kayak saya yang melewati jalur ini. Sepanjang jalan saya hanya bisa mendengarkan suara jangkrik yang saling bersahutan di gelapnya malam.

Jalan meliuk, penerangan yang minim, dan kondisi jalan yang sepi adalah perpaduan yang pas. Pas bikin waswas pengendara maksudnya. Untung saja motor yang saya kendarai nggak mengalami kendala. Kalau sampai mogok di tengah jalan kan nggak ada yang bisa saya lakukan kecuali pasrah dan menangis. Saudara saya sampai berkelakar kalau lewat Kecamatan Kepil di malam hari sama kayak setor nyawa.

Itulah pengalaman saya melewati Kecamatan Kepil penghubung Wonosobo-Magelang. Nek lewat dalan iki, rasane pengin misuh. Tenan, Lur!

Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Temanggung dan Wonosobo, Tempat Wisata Paling Ideal buat Pemalas dan Kaum Mageran.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version