Kebodohan Acara Televisi Indonesia Memang Sudah Semestinya Dirayakan

Kebodohan Acara Televisi Indonesia Memang Sudah Semestinya Dirayakan terminal mojok.co

Kebodohan Acara Televisi Indonesia Memang Sudah Semestinya Dirayakan terminal mojok.co

Sebagai generasi yang insya Allah update soal berita terkini, saya dan yang baca tulisan ini tentu pernah begitu ingin merayakan kebodohan acara televisi Indonesia. Citra televisi sebagai media paling konvensional, namun paling banyak tipu-tipu setidaknya sudah jadi pemafhuman. Apalagi setelah internet makin murah.

Saya nggak perlu lah menyebut nama reality show cringe yang sampai sekarang masih aja punya rating. Modusnya dari dulu sama, menjadikan kemiskinan sebagai komoditas, belas kasihan sebagai daya tarik, dan drama tidak masuk akal sebagai pegasnya. Orang miskin begitu estetik tampil di dalam frame, seolah mereka dapat keberuntungan luar biasa didatangi kru televisi. Rumahnya direnovasi, dikasih uang, dan diajak menginap di sebuah hotel mewah. Padahal yang mereka berikan kepada kru televisi lebih dari itu: harga diri. Lalu, jangan coba tanya berapa jumlah revenue iklan yang didapatkan televisi dibanding hadiah yang si miskin dapatkan. Yang akan kalian dapat cuma ironi.

Pun acara penuh drama berkedok menyampaikan kejujuran. Metode membakar tisu seolah hipnotis yang ampuh untuk membuat seseorang tidak berkata bohong. Gini lho, kalau Uya Kuya beneran wangun, mbok yang dibegitukan anggota Kabinet Indonesia Maju aja. Pandemi begini udah banyak aja kasus korupsinya. Kalau metode ini berhasil bukan tidak mungkin kita bisa tahu siapa pembunuh Munir.

Kebodohan acara televisi Indonesia ternyata tidak berhenti pada reality show, tayangan yang seharusnya imajinatif dan tidak terpenjara oleh tekanan realitas seperti sinetron dan film televisi malah sama gobloknya. Tidak semua, tapi yang jelas sebagian besar. 

Saya pernah gedhek banget sama sinetron Anak Jalanan yang jauh dari realitas bocah nongkrong zaman sekarang. Hampir semua tokohnya kaya raya. Tokoh utamanya udah ganteng, soleh, pinter berantem, tampang badboy tapi hati malaikat, wes ra mashok blas. Sinetron kayak gini bisa menciptakan khayalan-khayalan pada masyarakat tentang standar hidup. Akhirnya value seorang laki-laki cuma dilihat dari tampang, tunggangan, dan hantaman. Mbok standar cowok itu kayak redaktur Mojok yang sregep aja cukup.

Kebodohan acara televisi Indonesia makin menjadi manakala “wasitnya” juga sedikit keblinger. Kita harus ingat bagaimana sinetron berlatar belakang azab dibebaskan oleh KPI, lembaga yang katanya udah kerja keras pol. Saya nggak akan lupa sih sama Ibu Nuning Rodiyah yang mempertanyakan, “Letak tidak masuk akalnya (sinetron azab) di mana?” di acara QnA Metro TV. Jutaan pasang mata nonton lho bos. Kalau ternyata punggawa KPI saja punya logika yang benar-benar nyentrik begini, gimana bisa tayangan bobrok ditenggelamkan dan kreativitas kreator lokal punya kesempatan?

Alhamdulillah, gregetan saya lumayan terobati ketika warga Twitter sudah ada yang membuat akun satire dan mengunggah kumpulan kebodohan acara televisi. Respek buat akun @tvindonesiawkwk. Mulai dari adegan mati terlilit shower, sampai kabel infus yang cuma dicantolin bisa sama-sama kita tertawakan. Meski sejujurnya menertawakan kebodohan itu tidak cukup membuat seseorang jadi pintar, setidaknya perlahan kita tahu bedanya acara televisi yang goblok banget dan yang bikinnya niat.

Jika orang-orang di balik acara televisi berdalih bahwa tayangan yang sarat kebodohan ini dibuat dengan “terpaksa” karena kekurangan biaya, lama-lama saya juga nggak bisa terima. Iya, sistem revenue dan iklannya kacau, sistem ratingnya juga nggak begitu valid. Masalahnya kalau sudah tahu begini, kenapa main terabas aja sih? Harus ada yang benar-benar turun gunung buat mengatasi semua kegundahgulanaan ini. Damage dari acara televisi yang bodoh itu nggak pernah main-main.

Saya pernah benar-benar pengin kerja di stasiun televisi. Penasaran sama ilmu broadcasting sampai kuliah di jurusan yang kayaknya nyambung sama pertelevisian. Sayangnya makin saya tahu televisi, makin saya nggak pengin kerja di situ. Kecuali kalau programnya waras.

Makanya saya percaya banget kebodohan acara televisi di Indonesia permasalahannya sistemik. Nggak selesai dengan menyalahkan satu pihak, misalnya penulis skenario sinetron yang bikin adegan Hello Kitty direbus atau nyalahin Stefan William yang berperan jadi Boy di sinetron Anak Jalanan. KPI yang bentuknya lembaga saja punya aturan yang katanya udah kompleks, tapi masih ruwet dan belum mencakup semua keresahan publik.

Gini aja deh, selama yang diundang ke televisi itu orang kontroversial yang viral di medsos, selama itu juga kebodohan dilanggengkan jadi sebuah pertunjukan. Selamat menikmati!

BACA JUGA Saya Akui, Saya Masuk Jurusan IPS demi Terlihat Edgy dan artikel Ajeng Rizka lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version