Saat saya membaca berita dari Tempo tentang jam sekolah PAUD di Jabar per Juli 2025 nanti, saya langsung naik pitam. Ya gimana nggak naik pitam, PAUD kok masuk 06.30, ini bikin kebijakan pake mikir nggak sih.
Sebelum kalian menuduh atau menghakimi saya nggak tahu efek positifnya atau gimana, saya perlu kasih tahu, bahwa anak saya ini udah masuk PAUD. Saya tahu betul betapa konyolnya peraturan masuk sekolah 06.30 pagi untuk anak sedini itu.
Saya tahu betul betapa ribetnya anak kecil, terutama di masa usia masuk PAUD. Anak kecil umur 3-4 tahun itu ribet-ribetnya. Mereka itu sedang di masa paling rebel, kau paksa mereka bangun sepagi itu dan siap-siap sepagi itu, rumahmu akan jadi medan perang.
Kenapa saya tahu? Wong anak saya juga begitu kok.
Dengan jam PAUD anak saya yang tidak masuk sepagi itu saja, peperangan terjadi tiap pagi. Bayangkan jika itu diterapkan, saya kasian banget sama orang tuanya.
Kesehatan mental ibu
Saya yakin, bakal ada fans gubernur yang itu bilang: lah, berarti keluargamu nggak disiplin. Yang lain bisa, kenapa keluargamu tidak?
Saya sih nggak peduli. Sebab saya tahu, bahwa yang kesusahan dengan aturan tersebut itu jauh lebih banyak ketimbang yang merasa biasa saja. Tiap rumah itu punya dinamikanya sendiri, dan nggak mungkin bisa sama. Memaksanya sama cuman menunjukkan satu hal: pembuat kebijakan beneran nggak tahu apa-apa tentang warganya.
Bayangkan begini: orang tua yang anaknya masuk PAUD jam 6.30 pagi harus bangun setidaknya dari subuh. Mereka harus bangunin anaknya, katakanlah, jam 5 pagi. Orang tuanya harus sudah mandi dulu dan menyiapkan semuanya sebelum itu.
Semua bisa lancar kalau anaknya memang bisa segera bangun, mandi, pakai baju, dan sarapan. Idealnya begitu, padahal kita tahu banget, hidup itu nggak pernah ideal. Dan hal-hal ideal, kerap tidak konsisten.
Kalian tahu sendiri, anak usia PAUD itu ajaib-ajaibnya. Tiba-tiba drama pengin dikucir inilah, pake sepatu warna inilah, nggak mau makan, nggak mau mandi, itu biasa. Dan ditambah mereka harus bangun lebih pagi, makin-makin cranky anaknya.
Ini dengan catatan, orang tuanya nggak kerja semua. Kalau kerja semua, ditambah misal bapaknya merantau ke luar kota, kasihan ibunya. Harus berjibaku lebih pagi, dan dilakukan sendiri.
Waktu bikin kebijakan mikir kesehatan mental ibunya nggak? Nggak? Ya nggak kaget sih.
Anak PAUD kok suruh masuk pagi buta
Saya yakin banget, orang yang menyambut ini semua dengan positif itu ya sebenernya bakal nggrundel juga akhirnya. Bakal keteteran, bakal pusing. Tapi ya tetep denial karena pikirannya sudah kacau dari awal. Lagian bikin kebijakan kok pukul rata. Anak SMA-PAUD kok treatment-nya sama.
Saya ngerasain juga kok sekolah sepagi itu sewaktu kelas 3 SMA, saat menuju UAN. Nggak nemu juga saya efektifnya di mana, sekolah jam 6 pagi-3 sore menyambut ujian. Alih-alih fresh, isinya stres.
Itu yang SMA, yang udah punya nalar aja stres, apalagi bocil-bocil.
Maksudnya, bisakah kita tidak buta dan kritis demi perkembangan anak? Apakah kita mau nekat mengorbankan kewarasan kita hanya untuk menuruti kebijakan populis?
Anak usia PAUD itu tugasnya main. Berbahagia. Diberi pengetahuan bahwa dunia sekolah itu menyenangkan. Bukan dipaksa bangun lebih pagi hanya demi menuruti kebijakan yang jelas tidak menapak tanah. Alih-alih seneng sama sekolah, anak-anak PAUD ini justru jadi melihat sekolah adalah hal yang menyebalkan.
Yang bisa saya syukuri dari kebijakan anak PAUD masuk pagi itu cuman satu: kebijakan tersebut (sejauh ini) hanya berlaku di Jawa Barat. Sebagai warga Jawa Tengah, saya bersyukur Gubernur dan Bupati tempat saya tinggal tidak ikut-ikutan. Dan semoga mereka tidak ikut-ikutan. Semoga.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya




















