Don’t Follow your passion, It’s a trap. Kalimat tersebut merupakan sebuah judul buku karangan Cal Newport. Buku yang terletak di sudut rak toko tersebut benar-benar menarik, setidaknya bagi saya. Bicara soal bekerja sesuai passion adalah hal yang rumit. Lama sekali saya memandang buku tersebut dan mulai membayangkan isi di dalamnya. Iya, saya hanya bisa membayangkannya saja, selain karena buku tersebut diamankan oleh segel plastik, pada saat itu tanggal tua sehingga dompet saya kurang bisa diajak bekerja sama.
Saking seriusnya saya membayangkan, muncul pertanyaan liar seputar passion dan keharusan untuk mengikuti jejak passion agar bahagia.
Masa muda adalah masa pencarian. Dan dalam perjalanan tersebut, kita akan mencari role model yang sesuai dengan kita. Sayangnya kebanyakan role model tidak benar-benar cocok atau baik. Mereka kadang lebih suka melakukan hegemoni terhadap perjalanan hidupnya untuk menarik perhatian publik.
Kita tentu saja sangat sering mendengar kalau bekerja sesuai passion adalah suatu cara agar membuatmu bahagia. Kalimat tersebut sering sekali digaungkan oleh content creator dan para motivator. Dibayar untuk mengerjakan passion tentu saja memang terdengar menyenangkan. Dan hasilnya, banyak sekali yang menerapkannya. Kalimat tersebut benar-benar dipegang erat oleh banyak orang.
Beberapa kali saya mendengar ada orang yang keluar dari pekerjaannya untuk mengejar passion. Meski saya tidak tahu apakah dia keluar memang mengejar passion atau hanya sebatas bosan. Lah, gimana, kebanyakan cerita tentang orang yang keluar dari pekerjaan tersebut adalah yang baru bekerja dalam waktu singkat.
Bahkan teman saya sendiri pernah curhat kalau ia ingin resign dari pekerjaannya karena baginya tidak sesuai dengan passion yang dimiliki. Ia benar-benar mengatakan kalau ingin mengembangkan passion. Saya tidak ada masalah dengan keinginannya, apalagi ia adalah teman saya, pasti sangat saya dukung. Tapi, setahu saya, ia baru bekerja selama dua bulan.
Dalam waktu dua bulan tersebut, saya kira teman saya belum mendapat banyak pengalaman atau ilmu baru. Bisa saja masalahnya sebatas proses adaptasi yang kurang maksimal. Tentu saja ketika teman saya cerita, saya langsung merespons dengan misuh.
Setelah puas misuh, sebagai teman yang baik, saya menambahi dengan kutipan dari seseorang yang saya lupa namanya, “Jika ingin mengejar sesuatu yang kamu nikmati, itu mungkin lebih merupakan tanda kemalasan daripada passion sejati”. Untung saja saya sering menghafal kutipan bagus dari berbagai tokoh sehingga bisa digunakan di berbagai hal. Wahahaha.
Bekerja sesuai passion adalah hal yang sah dilakukan, saya sangat menghargai pemikiran tersebut. Yang bermasalah adalah kesalahan dalam penerapannya. Meminjam kalimat dari Cal Newport, “Passion itu akan muncul setelah kamu bekerja keras dalam melakukan suatu hal hingga akhirnya kamu menjadi ahli di bidang tersebut, bukan sebaliknya.”
Jadi, kita tidak bisa mencintai sebuah pekerjaan sebelum kita menjalani pekerjaan tersebut dengan serius dan trengginas. Ketika kita menjadi ahli dalam sebuah bidang, kecintaan terhadap pekerjaan tersebut secara otomatis akan hadir.
Mirip dengan pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino” atau cinta karena terbiasa. Kecintaan dalam bekerja juga demikian. Sebab, semua pekerjaan itu melelahkan. Iya, semua pekerjaan memang menguras tenaga dan membuat Anda kelelahan. Meski pekerjaan tersebut sesuai dengan minat atau hobi Anda, bahkan sesuai dengan passion.
Hobi yang dibayar memang menyenangkan, tapi kalau menjadikan hobi sebagai pekerjaan itu lain lagi. Hobi dan pekerjaan adalah dua hal yang berbeda. Ketika hobi dijadikan pekerjaan, ya jadinya bukan hobi lagi, tapi pekerjaan. Yang membedakan antara hobi dan pekerjaan adalah tuntutan. Dalam pekerjaan Anda akan dituntut untuk begini-begitu, sedangkan hobi tidak demikian.
Dalam hobi Anda bisa saja mulai kapan saja dan berhenti saat itu juga, tapi pekerjaan tidak. Ketika ingin memulai atau berhenti, selalu ada prosedur yang harus dilalui. Begitu juga dalam proses melakukannya, bekerja itu sesuai dengan prosedur. Anda tidak bisa bekerja seenak perut. Ketika hobi dijadikan pekerjaan, bersiaplah mencari hobi baru lagi untuk kesenangan duniawi.
Namun, pekerjaan itu seperti ajang pencarian bakat, Anda akan menemukan bakat atau potensi yang baru Anda temukan ketika bekerja. Alasannya sederhana, Anda akan berkembang jika dituntut. Ketika tidak ada tuntutan, Anda akan malas untuk melakukan hal baru. Itu adalah sisi positif dalam pekerjaan.
***
Mengejar passion adalah pekerjaan yang membutuhkan waktu panjang. Lebih panjang dari PDKT Anda ke gebetan yang sering Anda jemput di gang. Passion juga bisa berubah. Ya, saya pernah membaca artikel kalau ternyata passion bisa berubah sesuai dengan kondisi. Jadi mengejar passion adalah kesia-siaan.
Hal lain yang diyakini oleh pemuja passion adalah bekerja sesuai passion membuatmu lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan. Ini sama sekali tidak ada hubungannya. Mudah bergaul itu merupakan skill sosial. Ketika merasa sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan, ya berarti kemampuan sosial Anda yang kurang, jangan salahkan faktor lainnya, dong!
Hal yang paling menggelitik bagi saya adalah mereka (pemuja passion) malah cenderung fokus pada kesenangan dalam bekerja, bukan pada kesuksesannya. Yang ingin dicapai adalah bagaimana agar bekerja dengan bahagia dan tidak merasa bekerja. Bukan peningkatan keterampilan dalam bekerja.
Masalahnya, Anda ini pengin sukses atau hanya ingin tidak ngapa-ngapain dan dianggap bekerja? Saya menduga orang seperti itu adalah member MLM, melakukan tindakan biasa, tapi bermimpi menjadi orang sukses. Eits, canda MLM.
Jadi, mencari pekerjaan dengan fokus pada passion menjadi hal yang agak aneh. Seakan hal tersebut menjadi tameng saja ketika bosan atau ketika tidak mampu beradaptasi di lingkungan kerja.
Passion bukan patokan dalam pekerjaan. Apa pun pekerjaanmu sekarang, kerjakanlah dengan berkualitas, asah terus sampai menghasilkan karya terbaik tanpa bertanya-tanya apakah pekerjaan ini sebuah passion atau bukan. Sebab, apa pun yang kita lakukan selalu memiliki potensi untuk menjadi passion di masa yang akan datang.
BACA JUGA Pentingkah Mengejar Passion? dan tulisan M. Afiqul Adib lainnya.