Kebahagiaan Anak-Anak Desa di Malam Lebaran

malam lebaran

malam lebaran

Jauh hari yang lalu saya baca postingan brengsek, seperti ini, “Alhamdulillah ya, 29 hari lagi lebaran.” Kini akhirnya saya menemukan tanda-tanda kalau lebaran hampir tiba dari tingkah anak-anak desa. Anak-anak di desa saya kalau menjelang lebaran, bahagianya nggak ketulungan. Ada aja tingkah lakunya yang bikin orangtua cekikikan.

Mengingat-ingat masa kecil saya dan mengamati fenomena yang ada, saya mencatat beberapa hal yang menjadi alasan kebahagiaan mereka. Mungkin catatan saya ini belum merangkum semuanya, tapi yang jelas inilah garis besar sumber kebahagiaan anak-anak di desa saya. Cek dis ot!

  1. Dibelikan baju baru

Baju baru seolah menjadi tradisi paling purba dalam penyambutan hari lebaran. Saya kira, begitulah yang terjadi di desa saya. Tidak sedikit orangtua yang membelikan baju baru untuk anaknya setahun sekali, menjelang lebaran ini.

Karena itu, anak-anak di desa saya begitu bahagia ketika lebaran tiba. Baju baru pasti akan didapatnya. Meskipun terkadang hasil utangan atau nyicil di tempat mindringan. Syukur-syukur sih dapat dari juragan atas nama tunjangan hari raya. Lumayanlah yhaaa~

Selain itu, kamu akan mulai mendengar anak-anak saling bertanya, “Baju barumu berapa? Beli di mana? Sama siapa? Di sana berbuat apa?” Atau kalau enggak, mungkin kamu bakal mendengar orangtua menyanyikan lagu ini untuk menghibur anaknya yang belum punya pacar baju baru.

Pacar baju baru alhamdulillah

Tuk dibawa dipakai di hari raya

Tak punya pun tak apa-apa

Masih ada pacar baju yang lama

  1. Dum-duman celengan

Anak-anak di desa saya, selama bulan Ramadan menabung bersama. Setiap sore, ketika datang ke musala untuk buka bersama, mereka tidak lupa menyisihkan uang jajannya. Setelah satu bulan menabung, mereka pun siap untuk menunggu pembagian hasil tabungan (dum-duman celengan).

Pada malam lebaran, bulan di atas kuburan anak-anak akan begitu bersemangat datang ke musala. Ada lo yang datang cuma untuk mengambil uang tersebut. Jadinya, pas selesai salat, mereka buru-buru menemui panitia, menuntut haknya. Setelah diberikan, wajahnya bertambah riang. Ada yang langsung membuka amplop dan menghitungnya. Tapi ada juga yang langsung menemui bapaknya, memberikan amlop itu kepadanya. Betapa mulia~

  1. Pesta petasan

Setelah ngempet sebulan tidak boleh main petasan, anak-anak meluapkan hasratnya di malam lebaran. Tadi kan sudah ndudah celengan. Jadi punya uang untuk jajan petasan. Anak-anak akan bergerombol merembug bebarengan mau beli dan dinyalakan di mana. Jangan sampai nanti dibubarkan secara paksa oleh orangtua yang tidak toleran dengan kebahagiaan mereka.

Nah, kalau sudah sepakat, mereka akan memberi aba-aba atau kode-kode cinta seadanya dan kemudian lari terbirit sambil teriak bahagia. Kalau mereka adalah kamu-kamu yang sudah remaja, saya menerka-nerka, kemungkinan kebahagiaannya bersumber dari jawaban “iya” dari tembakanmu kepada bribikan.

Anak-anak kemudian akan berkumpul lagi di satu tempat untuk menyalakan petasannya. Satu persatu akan mekar seperti bunga di angkasa. Anak-anak akan berbarengan meneriakinya tiada berkesudahan. Teriakan-teriakan yang menandakan bahwa besok sudah lebaran. Kalau pas tidak ada yang beli, mereka cukup bahagia mengamati petasan yang dinyalakan orang lain. Yang penting, teriaknya paling nyaring.

  1. Takbiran barengan

Malam lebaran tanpa bulan di atas kuburan, mungkin wajar belaka. Nyatanya yang seperti itu cuma Sitor Situmorang saja. Kalau malam lebaran tanpa takbiran, bisa jadi seperti kamu tanpa bayangan mantan. Mungkin ada, tapi sangat-sangat juarang sekali. Lah, keingetnya aja hampir setiap hari. Ups!

Anak-anak di desa saya pun punya tradisi sendiri dalam takbiran ini. Mereka bersama-sama keliling desa—sambil beli petasan tadi. Karena jarang sekali ada yang menyiapkan peralatan, seperti bedug atau kentungan, mereka memanfaatkan dapur ibunya. Ada yang membawa panci, wajan, sendok, garpu, sotil, dan bumbu.

Kebahagiaan anak-anak bukan hanya karena lebaran hampir tiba, tapi melihat teman sebayanya diam-diam memukul-mukul panci ibunya. Tidak terbayangkan bagaimana nasib panci sepulang dari takbiran. Pun tidak terbayangkan, nasib anak yang membuat pancinya penyok berantakan.

  1. Berburu uang lebaran

Poin terakhir pasti ditunggu-tunggu oleh anak-anak di mana pun, termasuk adik saya. Adik saya, seminggu sebelumnya malah sudah memprediksikan pendapatannya. Berapa rupiah yang akan diterimanya dari bude A, pakde B, bu guru C, pak dokter D, dan sebagainya. Adik saya bahkan berani memastikan kalau si E tidak akan memberi apa-apa, tapi si F akan memberinya, meskipun dua ribu rupiah saja. Kalau kamu, kapan berani memastikan perasaannya?

Pada saat-saat seperti ini, anak-anak akan membayangkan uangnya untuk membeli apa? Belinya di mana? Sama siapa? Di sana berbuat apa? Kalau semuanya jelas, mereka akan menceritakannya kepadamu. Cara berceritanya pun seringkali menggebu-gebu. Misalnya, mereka akan menghabiskan uangnya untuk yang-yangan di taman, jajan sambil pacaran, atau menertawakanmu yang sudah besar, tapi tidak punya uang dan gebetan.

Exit mobile version