Sejak kemarin MRS ditahan oleh Polda Metro Jaya. Tuduhan yang dilontarkan kepadanya adalah pelanggaran protokol kesehatan karena membuat kerumunan saat ia menikahkan anaknya.
Sulit untuk melepaskan penahanan ini dari kacamata politik. Pelanggaran protokol kesehatan terjadi di mana-mana. Namun, hanya MRS yang mendapat perlakukan seperti ini.
Mengapa seolah-olah hukum berat ke MRS dan tidak kepada pelanggaran sejenis? Mengapa, misalnya, saat kampanye pilkada kemarin banyak kandidat kepala daerah yang melanggar dan hanya didenda ringan? Padahal kita tahu bahwa ketika didenda pun MRS sudah membayar kontan Rp50 juta.
Kasus ini berlarut-larut. Pembunuhan enam pengawalnya di jalan tol Cikampek juga menambah ruwet persoalan. Belum jelas benar apa yang sesungguhnya terjadi. Keterangan polisi di media massa berubah-ubah.
Kabar terakhir mengatakan bahwa dua orang ditembak meninggal di jalan tol. Sedangkan empat pengawal FPI lainnya ditembak di mobil karena mencoba merebut senjata. Jadi, mereka tidak bersenjata api seperti tuduhan semula?
Ketidakjelasan seperti ini bukan tanpa akibat. Juga perlakuan yang diterima MRS, yang berbeda dari perlakuan yang diterima orang kebanyakan dengan pelanggaran yang sama, juga akan memiliki konsekuensi berat.
Coba perhatikan gambar di video ini. Perlakuan terhadap MRS sudah menangkap imajinasi ketidakadilan orang-orang Indonesia di Melbourne, Australia. Saya yakin ia tidak akan berhenti di Melbourne. Dia akan menjalar ke kota-kota lain di dunia.
Salam dari saudara² Muslim ?? di Melbourne, Australia.. Pecinta IB-HRS ✊ pic.twitter.com/HmFdDS4SPn
— ????????? (@QaillaAsyiqah) December 13, 2020
Jangan ditanya bagaimana reaksi di dalam negeri. Saya membaca berita bahwa ratusan pendukung MRS mendatangi Polres Cimahi dan meminta untuk ditahan sama seperti Imam Besar mereka.
Mengapa ini terjadi? Sederhana sekali. Mereka merasakan ketidakadilan. Nurani saya pun merasakan hal yang sama sekalipun saya sama sekali tidak sepakat pada apa yang diajarkan oleh MRS dan gerakannya.
Namun hampir pasti juga, simpati yang mengalir ke MRS ini akan menjadi umpan bagi para agitator yang juga menganggap dirinya lebih suci, lebih benar, dan tentu saja lebih toleran daripada MRS dan para pendukungnya.
Para agitator ini tentu akan memainkan ketakutan-ketakutan terhadap MRS. Mereka akan menakut-nakuti kaum minoritas. Semakin kaum minoritas ini merasa takut dan tersisih maka semakin laku pula mereka.
Mereka akan semakin memanas-manasi para pendukung Ahok, dengan mengenang segala macam ketidakadilan yang pernah diterima oleh Ahok. Benar bahwa Ahok diperlakukan tidak adil. Tapi siapa yang ikut dalam konspirasi menjatuhkan dia? Bukankah beberapa dari mereka sekarang juga duduk nikmat di kursi kekuasaan?
Selain itu, Ahok kalah dalam pemilihan. Fair and square, menurut saya. Dia diturunkan lewat pemilihan. Bukan dikudeta, sekalipun ada demonstrasi berjilid-jilid terhadapnya. Dia kalah dalam pemilihan.
Mereka yang menggerutu terus-menerus atas kekalahannya pasti tidak terlalu percaya pula pada proses demokratis. Tidak disadari bahwa Ahok kalah karena dia kalah dalam memobilisasi dukungan dan bahwa dia tidak mampu meyakinkan orang bahwa dia lebih baik. Demokrasi adalah jika saya menang atau diuntungkan.
Ahok tidak mampu meyakinkan orang bahwa memilih berdasarkan identitas agama itu berarti mengorbankan kesejahteraan material, ketertiban, dan pemerintahan yang efisien seperti yang dia perjuangkan.
Bukankah itu buruk? Untuk saya, orang berhak atas pemerintahan yang mereka pilih sendiri. Kalau mereka memilih untuk memeluk erat-erat identitasnya namun tetap miskin, tidak ada jalan lain. Mereka yang ingin masyarakatnya lebih makmur dan lebih akomodatif, harus berjuang pula untuk itu dan meyakinkan sebagian besar orang untuk memiliki ide yang sama.
Masyarakat tidak bisa ditata dengan memainkan perasaan ketakutan terhadap satu kelompok. Juga tidak bisa dengan menang sendiri.
Para agitator yang merasa dirinya toleran itu tentu tidak ingin orang memahami keadilan untuk semua orang, termasuk proses hukum yang benar dan adil terhadap MRS dan para pengikutnya.
Bagaimanakah Anda menganggap diri toleran dan penganut kebhinekaan jika Anda tidak adil? Jika Anda tidak toleran terhadap pandangan orang lain dan menganggap satu-satunya jalan untuk menegakkan toleransi adalah dengan mengikuti pola pikir Anda dan membungkam suara-suara pro-MRS dan gerakannya?
Para agitator ini berpendapat bahwa MRS itu anti-toleransi. Iya. Namun, haruskah dia dibungkam dengan cara-cara intoleran? Bukankah demokrasi memiliki cara-cara yang lebih bermartabat untuk mengatasi intoleransi?
MRS adalah seorang politisi. Seperti politisi lain, dia pun mencari simpati dengan cara paling mudah, yakni mengeksploitasi agama. Semua politisi melakukan itu. Bahkan politisi yang mengklaim berjuang untuk pluralisme.
Namun, politisi seperti MRS adalah politisi pinggiran (marjinal). Saya tidak yakin jika MRS mencoba untuk menjadi politisi profesional dan maju ke pemilihan, dia akan menang. Dia pun tahu persis itu. Itulah sebabnya dia memelihara stature-nya sebagai politisi “nasional”. Dia mungkin bisa mengumpulkan satu-dua juta orang untuk turun ke jalan, tapi itu tidak dengan serta-merta itu bisa diterjemahkan ke dalam suara dalam bilik pemilihan.
MRS memainkan politik agitasi. Persis seperti yang dilakukan para agitator toleransi. Sesungguhnya kedua pihak ini adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Oleh karena itu, saya kira, jalan terbaik adalah dengan memberikan MRS keadilan. Beberkanlah fakta-fakta yang sebenarnya tentang apa yang terjadi di jalan tol Cikampek km 50 itu. Jika MRS benar-benar melanggar hukum karena melanggar prokes, terapkanlah hal yang sama pada pelanggar prokes lainnya.
Dan yang terpenting, berhentilah menghina orang-orang kecil pendukung MRS sebagai orang-orang bodoh. Mereka menoleh kepada MRS karena dia satu-satunya orang yang mau mengatakan “Lonte!” kepada para elit negeri ini. Selama Anda tidak mampu memberikan kepemimpinan kepada orang-orang sederhana ini, selama Anda merasa berhak atas negeri ini karena merasa sudah membayar, selama Anda merasa bahwa Anda lebih toleran dari mereka, selama itu pula MRS akan berjaya.
Akhirnya, sekali lagi, berilah keadilan seterbuka-terbukanya kepada MRS. Hanya itu yang sulit dia berikan balik kepada bangsa ini. Hanya dengan cara demikian, MRS tidak akan menjadi ikon politik dari orang-orang yang tidak memiliki pembela dan simpati.
BACA JUGA Mengapa Gereja Katolik Indonesia Mendiamkan Kekerasan pada Umatnya di Papua? dan tulisan Made Supriatma lainnya. Ikuti Made di Facebook.