Tak ada yang lebih menyedihkan dari monster yang dikurung dalam rumah. Begitulah yang ada di benak saya saat melihat motor Kawasaki D-Tracker dengan kapasitas 250 cc, yang terparkir manja di ruang tamu, tanpa goresan, tanpa luka, tanpa tanah yang menempel di bodi maupun ban, bersih mengkilap bak motor baru. Ditambah dengan ban yang sudah diganti dengan tipe intermediate, jelas sudah motor trail ini digunakan bukan lagi seperti peruntukan aslinya, sungguh memalukan dan memilukan.
Sejak 2015, motor trail atau offroad mulai kembali dilirik dan menemukan tempat di pasar Indonesia. Kawasaki sebagai pelopor motor trail Indonesia menjadi pendobrak pasar dengan meluncurkan KLX dan D-Tracker. Melihat perkembangan yang terus positif, pabrikan lain turut bersaing dengan mengeluarkan produk di segmen yang sama. Honda kemudian meluncurkan CRF. Sedangkan Yamaha yang tidak pernah gagal membuktikan bahwa mereka adalah yang terdepan, meluncurkan WR 125, 150, 155 hingga 250 R. Entah memang terlambat atau sengaja belakangan, Yamaha sepertinya bernafsu menyapu rata pasar motor trail, meski pada akhirnya harus mereka akui, KLX dan CRF telanjur memiliki penggemarnya sendiri.
Saya sendiri sudah menetapkan hati pada CRF. Dibanding motor trail lain, model batok dan bodi CRF terlihat lebih elegan dengan kapasitas mesin yang tidak underdog meski tidak juga superior. Terutama karena harganya yang pas untuk dikorbankan sebagai motor terabas jungkir balik di pegunungan.
Faktor utama yang membuat motor trail kembali dilirik adalah karena segmen pasarnya yang bukan sekedar aspek fungsionalitas, hobby, dan passion, tapi juga sudah merambah ke faktor kebutuhan visual buat gaya-gaya. Serupa dengan emak-emak yang pakai mobil Pajero Sport buat ke mal dan acara kondangan. Tak sedikit orang yang beli motor cross hanya untuk dipakai ke kantor, mengantar ibu arisan, sekolah, kampus, menarik perhatian wanita, pamer di tongkrongan, dan untuk kebutuhan ramashook lainnya.
Motor trail yang seharusnya untuk terabas hutan, naik-turun gunung, menerobos aliran sungai, membelah padang savana, melewati jalan kerikil berbatu, terjal, berliku, dan penuh kenangan. Bukan buat gaya-gayaan dan dipamerkan secara visual saja. Akhirnya motor gahar ini hanya wara-wiri di jalan beraspal perkotaan, saya bahkan pernah menemui pengendara motor trail yang menerobos trotoar karena tidak mau terjebak macet. Anjay, malah melanggar lalu lintas.
Ibarat ikan di aquarium, burung di sangkar, anjing diikat lehernya, sugar glider yang hanya bisa melompat ke pemiliknya, dan tokek yang ditangkap karena sekedar menyukai motifnya. Seperti itulah mereka dengan bangga membeli dan membawa pulang motor trail untuk hal-hal yang tidak seharusnya tanpa rasa bersalah dan berdosa sedikit pun.
Para “psikopat” ini membuat motocross jadi “mistaken identity”. Layaknya burung elang yang menetas di keluarga ayam, dia kehilangan identitas aslinya.
Kalau ada yang berasalan, “Sultan mah bebaaas!!!”
Halah, nggak ada sultan yang memamerkan kegoblokan, Bos! Kalaupun ada, ya berarti dia bukan sultan, cuma ngaku-ngaku aja. Begini ya, sedikit iktibar buat kalian kelompok sesat dan norak yang masih berlindung di balik label “sultan”.
Kalau memang real sultan, Anda tinggal beli motor matic NMax atau Vespa Sprint. Lalu pakailah keduanya untuk keliling kota. Tanpa kamu tempel harganya, semua orang pasti langsung tahu kalau kamu adalah orang yang kelebihan uang. Teman-temanmu mungkin bakal silau dan tambah respek.
Lalu kalau ada yang nyeletuk lagi, “Motor trail lebih laki Bos!”
Ya kalau butuhnya yang lebih laki, tinggal beli saja motor sport yang bodinya bongsor, berpadu dengan helm Arai, sarung tangan Taichi, dan sepatu Jordan, itu baru “laki” bin mevvah. Otomatis dicap sultan walau jalan kaki sekalipun.
Kalau maksa pakai motor trail buat Sunmori di pusat kota, gantilah pakai ban soft, helm motocross dipasangin kamera, plus ditempel stiker “harta, takhta, Anya”.
Memang kesannya kayak selfie pakai hape cap apel krowak. Hasilnya 5% aesthetique, 95% pamer, norak bin ramashoook!
Saran saya sih kalau memang suka motor trail, rajin-rajinlah membelah hutan dan naik turun gunung. Setidaknya totalitas dalam mencintai produk yang sudah dirancang sedemikian rupa. Masa sih motivasinya beli cuma karena ikut-ikutan dan didorong perasaan pengin ria ke anak-anak setongkrongan.
Photo by Adam Fredén via Pexels.com
BACA JUGA Memutuskan Mengisap Rokok karena Camilan dan Fastfood Lebih Buruk dan tulisan Muhammad Dzal Anshar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.