Kalau boleh berpegang teguh dengan sajak yang dibuat Joko Pinurbo, Jogja ini tanpa cela sama sekali. Tiap sudut adalah kenangan, tiap jengkal adalah kasih sayang, dan tiap senti kota ini penuh dengan arti. Jogja, bagi sebagian orang adalah kemustahilan menghasilkan air mata penderitaan.
Kamu kira paragraf pertama hanya mbelgedhembus belaka? Kamu kira hanya sebagai pancingan agar Anda baca tulisan ini terus? Nyatanya apa yang saya ketik ini benar apa adanya, kok. Jogja, bagi sebagian orang adalah keistimewaan tanpa batas.
Nggak percaya? Coba tanya anak-cucu Sultan, jangan tanya saya. Lha nek Jogja di mata saya ya sama saja dengan kota-kota lainnya. Si kaya ya bakal ngomong muluk-muluk, si miskin bakalan misuh ngasi munthuk-munthuk. Ya seperti Yin dan Yang kalau kata filsuf asal Bantul.
Katanya pula, Jogja ini kota wisata. Apa saja ada—termasuk kemiskinan dan ketimpangan, eh. Maksud saya, wisata alam apa saja itu ada. Wisata budaya, jelas ada. Wisata kesenian, wo ya pasti ada. Di Jogja, nyaris mustahil jika kamu nggak menemukan apa yang kamu cari. Kecuali kalau kamu nyari bayaran upah buruh yang layak lho, ya.
Dari sekian banyak wisata yang barangkali padat merayap ini, ada satu hal yang bikin pala Baim bingung setengah modyar. Yakni sebuah tradisi, anak-anak sekolah di Jogja yang study tour kok ya malah minggat ke Pulau Dewata?
Maksud saya, kurang apa sih Jogja? Kok ya sampai-sampai kalau study tour malah ke “kota wisata” yang lain? Emang Jogja kurang masalah wisata? Selain kurangnya transparansi dana istimewa buat apa saja dan lobby-lobby kelola tempat wisata siapa saja yang megang, Jogja ini nggak ada kurang lho.
Saya sebagai pemilik jiwa nrimo ing pandum yang kaffah pun tergelitik untuk menyusuri tradisi sesat macam ini. Sebenarnya, apa alasannya mereka kalau study tour malah ke Pantai Sanur alih-alih Pantai Parangtritis yang padat akan budaya, sosial, dan politik antar-dimensi itu.
Saya juga mencoba untuk jlentrekne mengapa mereka lebih memilih untuk menyambangi Garuda Wisnu Kencana alih-alih ke Tugu Pal Putih yang pendhak akhir tahun selalu direvitalisasi dan habis miliaran. Alih-alih meneliti sejarah Garuda Wisnu Kencana, kenapa nggak anak-anak sekolah ini meneliti mengapa revitalisasi Tugu habisin uang tiap akhir tahun, kayak genep-genepi tutup tahun anggaran aja.
Ternyata semua ada alasannya. Ini bukan hanya studi banding budaya, melainkan kesejahteraan manusia. Bali dan Jogja itu sama-sama kota wisata. Makanya guru-guru yang membawa muridnya ke Bali hendak membandingkan seberapa sejahtera kedua penduduk di dua kota wisata ini.
Para siswa yang study tour ke Bali ini diajak untuk melihat ada UMP yang nominalnya di atas 2,4 juta. UMP Bali 2021 dipatok sebesar Rp2.494.000, sama dengan UMP Bali tahun 2020. Kota wisata yang nggak hanya mencoba mensejahterakan wisatawan, tapi juga masyarakatnya. Jogja sama kok, sejahtera semuanya….
Nah, para siswa yang study tour ke Bali ini jadi memiliki lanskap pemandangan sosial yang nggak seperti kaca mata kuda. Dengan ke Bali, mereka bisa melihat betapa njomplangnya UMK Kabupaten Badung dengan Kabupaten Bantul. Walau sama-sama depannya “ba” toh kalau Kabupaten Badung ini “ba”-nya “bagus”, sedang Kabupaten Bantul “ba”-nya ini adalah “buanjinduuul”.
UMK paling rendah di Pulau Bali itu Kabupaten Bangli. Itu pun ada di angka 2,4 juta. Kalau saja Kabupaten Bangli ada di Jogja, ia akan menjadi pemilik UMK yang paling tinggi di antara kabupaten-kabupaten yang ada di Jogja. Bahkan untuk Kota Jogja yang nanti bakalan naik 4,08%, nahasnya masih tinggi Kabupaten Bangli.
Kita boleh saja bilang, kesejahteraan masyarakat nggak bisa hanya dilihat dari upah. Namun sayang sekali, sejarah panjang revolusi industri sudah menertawakan argumen ndlogok macam itu. Besaran upah, tentu menentukan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di suatu daerah. Study tour ke Bali, jadi bahan reflektif yang menyegarkan, kan?
Jelas, UMR Jogja jangan ditanya lagi. Selain menjadi bahan olok-olok, nyatanya masyarakat Jogja sendiri banyak yang nggak protes. Mereka hidup di dunia ini konsepnya mengabdi, bukan mencari kejayaan. Lantaran konsepnya itu urip mung mampir ngombe. Padahal ya kalau cari ombe, kita butuh energi, dan energi dihasilkan dari makanan. Dari mana makanan didapat? Ya cari uang.
Maka study tour ke Bali ini menjadi ladang basah bagi para siswa untuk menjadi kritis. Persoalan di Bali dan Jogja itu berbeda? Biaya makan di Bali lebih mahal? Lha apa bedanya dengan Jogja Utara yang kini macak jadi Ibu kota—atau bahkan lebih Ibu kota dari Ibu kotanya sendiri.
Gedung-gedung mal tinggi menjulang, klab-klab malam yang menjamur, dan hotel yang bertabur bintang. Apa bedanya dengan Bali, jal? Eh, ya jelas bedanya ada di UMR, ya. Pula, Bali nggak jago meromantisasi karena di sana itu sudah romatis. Bukan dipaksakan dengan cara pakai akun-akun buzzer romantisasi yang dibayar pakai dana pemerintah.
Ah, terbawa lagi langkahku ke sana, mantra apa yang paling istimewa? KTP endi?!
Sumber Gambar: Unsplash