Entah mengapa saya selalu dag dig dug setiap ibunda tercinta Sri Mulyani bikin kebijakan. Kesannya Indonesia itu sedang krisis finansial setiap ada kebijakan baru dari Menteri keuangan terbaik se-Asia Pasifik. Segala cara dilakukan Ibu Sri demi meningkatkan pendapatan negara sampai berisiko untuk diserang berbagai pihak. Pertanyaannya, apakah benar kondisi ekonomi kita baik-baik saja seperti kata para elite pemerintahan?
Bapak Jokowi berkali-kali mengatakan ekonomi kita stabil. Menteri-menteri dan pejabat elite pemerintahan juga sering mengulangi perkataan presiden bahwa kondisi keuangan kita stabil. Setiap mereka berkata demikian kok saya makin gelisah, ye? Mungkin karena pernah baca bukunya George Lakoff, Don’t Think of An Elephant.
Lakoff menjelaskan bahwa ketika seseorang mencoba meniadakan suatu ide sering kali justru memberikan efek yang sebaliknya. Sebagai contoh Presiden Amerika, Richard Nixon mengatakan, “Saya bukanlah seorang penjahat,” tapi justru membuat orang-orang semakin melihatnya sebagai penjahat.
Setiap kata memiliki apa yang disebut semantik frame, yang secara kognitif (tanpa disadari) bekerja dalam kerangka konseptual. Frame merupakan struktur mental dari ide yang secara fisikal mengalir dalam sirkuit neuron pada otak manusia. Karena itu ketika kata “penjahat” didengar maka kata itu mengaktifkan sirkuit neuron pada otak manusia yang membantu kerangka konseptual dalam memunculkan frame dari kata penjahat.
Dalam kasus Nixon, ia dianggap seorang penjahat perang dan diserang oleh lawan-lawan politik dan dia merespons dengan mengatakan, “Saya bukan penjahat,” berulang-ulang. Semakin sering penolakan itu dilakukan maka setiap kali pula frame dari kata penjahat itu muncul dan mengalir pada sirkuit neuron yang membuat sinapsis antar neuron menjadi semakin kuat. Hal ini semakin membuat orang-orang semakin yakin bahwa dia adalah penjahat.
Dalam kasus saya ketika presiden atau juga elite pemerintahan mengatakan ekonomi kita baik-baik saja maka yang muncul dalam otak saya adalah ekonomi kita sedang krisis. Bagaimanapun cara disembunyikan, bayangan dari krisis ekonomi selalu hadir. Bagaimana tidak? Melihat kebijakan yang sangat tidak populis kerap ditempuh menteri keuangan. Dulu Ibu Sri ketika menggantikan Fuad Bawazier yang pertama ia lakukan adalah pengampunan pajak.
Mungkin kebijakan ini bukan yang pertama yang dilakukan Ibu Sri saat menjadi menteri pengganti di era Jokowi. Akan tetapi, kebijakan ini merupakan kebijakan pertama yang membuat Ibu Sri dikenal publik. Kebijakan hebat yang mengampuni para penggelap pajak dengan syarat harus melaporkan kekayaan. Kebijakan yang juga menyasar teman-teman belio yang juga para elite politik yang sebelumnya menyembunyikan kekayaannya. Dengan kebijakan ini potensi pendapatan negara akan tinggi dari pajak yang sebelum lolos pajak.
Ternyata semua yang dilakukan Ibu Sri untuk menyelamatkan keuangan negara ternyata tidak cukup. Ia juga pernah menaikkan cukai rokok, tarif BPJS, LPG, BBM, dan tarif dasar listrik yang kesemuannya itu ditempuh untuk meningkatkan pendapatan negara. Tapi semua itu masih saja tidak cukup sampai akhir ia harus menempuh lagi kebijakan yang lebih-lebih tidak populis seperti cukai untuk teh kemasan dan minuman ringan berpemanis, serta cukai asap knalpot.
Pemungutan cukai terhadap keduanya dianggap akan sangat membantu defisit keuangan negara. Potensi pendapatan negara dari teh kemasan dan minuman ringan berpemanis ini hingga Rp6,25 triliun. Sedangkan untuk cukai emisi kendaran bermotor akan ada penerimaan hingga Rp15,7 triliun. Alasan pemungutan cukai pada keduanya juga sangat rasional demi umat manusia dan lingkungan. Duh betapa mulianya.
Teh kemasan serta minuman berpemanis dianggap sebagai peningkat risiko terkena diabetes. Dengan kata lain Sri Mulyani sedang mengajak warga untuk hidup sehat dan mencegah diabetes. Kita tahu sendiri diabetes adalah penyakit yang punya andil membuat defisit BPJS. Mungkin itu juga jadi alasan Sri Mulyani mengenakan cukai. Kalau begitu, BPJS bisa diturunkan, downk. Horeee~
Tidak terlalu berbeda asap kendaraan bermotor yang selain punya andil terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Lantas bagaimana dengan pencemaran akibat pembakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi? Bagaimana juga dengan PLTU yang menghasilkan limbah berupa asap yang jauh lebih besar dari sekedar asap kendaraan bermotor? Apakah keduanya akan dikenakan cukai karena menghasilkan polisi, eh polusi yang lebih parah bahkan menyebabkan ISPA?
Pembakaran hutan yang dicurigai sebagai perbuatan dari korporasi di Kalimantan dan Sumatera membuat 900 ribu jiwa menderita ISPA. Hal yang sama dengan PLTU yang dikelola PLN juga tidak kalah banyak memproduksi polusi yang yang tentu saja berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. PLTU ini juga bahkan memberikan efek langsung dengan meningkatkan risiko warga sekitarnya untuk menderita ISPA. Harusnya dikenai juga downk biar adil.
Meski kebijakan Sri Mulyani untuk memberikan cukai pada minuman manis dan asap kendaraan bermotor sangat tidak populis, perlu diapresiasi. Sudah pasti akan banyak yang kontra tidak hanya dari golongan pengusaha tapi dari rakyat karena akan berimbas juga ke daya beli masyarakat. Karena itu belio pasti akan diserang oleh berbagai pihak, terutama oleh politisi cari panggung yang ingin terlihat pro rakyat.
Dulu saja belio pernah diserang oleh calon presiden yang sudah terlalu berpengalaman nyalon presidennya. Bahkan Ibu Sri sampai digelarinya menteri pencetak hutang oleh calon presiden yang kini jadi Menteri Pertahanan. Tapi itu dulu, sebelum ia menjadi Menteri Pertahanan. Itu dulu saat ia bertarung berdarah-darah dengan presiden terpilih. Eh tidak ding, maksudnya dia yang bertarung, pendukungnya yang berdarah-darah. Sudah berdarah-darah kecewa pula.
Balik lagi ke pertanyaan awal, apakah benar ekonomi kita baik-baik saja kalau Menteri Keuangan sudah melakukan berbagai cara tetap saja keuangan kita defisit? Saya rasa tidak. Hanya saja, saya bingung juga kenapa sudah sekeras itu Ibu Sri bekerja untuk menambah pemasukan negara, kok masih defisit terus?
Rasanya mengelola keuangan negara tidak sulit-sulit amat. Mengelola keuangan negara itu kan sebenarnya tidak terlalu berbeda dari mengelola keuangan rumah tangga. Rumusnya selalu sama uang masuk harus lebih banyak dari uang keluar. Keluarga yang selalu defisit keuangan itu biasanya karena ada anggotanya tidak sadar diri, selalu salah membeli liabilitas alih-alih aset. Atau memiliki anggota keluarga tidak tahu diri yang ingin membeli A, B, C, D tanpa sadar bahwa duit ortunya kagak cukup.
Jadi mungkin saya ubah saja pertanyaannya, siapa sebenarnya anggota keluarga tidak tahu diri di Republik ini?
BACA JUGA Sambat Sejenak : Duh Iuran BPJS Kesehatan Naik Dua Kali Lipat atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.