Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Featured

Kata Orang Singapura, Orang Indonesia Mendadak Religius Saat Naik Pesawat

Gusti Aditya oleh Gusti Aditya
8 November 2020
A A
Kata Orang Singapura, Orang Indonesia Mendadak Religius Saat Naik Pesawat terminal mojok.co

Kata Orang Singapura, Orang Indonesia Mendadak Religius Saat Naik Pesawat terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Naik pesawat, bagi saya adalah bagian terbaik dalam kehidupan. Sensasinya nggak hilang begitu saja. Ia melekat dalam pikiran, walau ujung-ujungnya ngeri juga. Setelah transit 12 jam di area metropolis bernama Changi, akhirnya pesawat saya mentas juga. Tujuannya adalah Luang Prabang. Di sana, saya berniat menghabiskan kehidupan bersama kawan-kawan beragama Buddha. Waktu itu, saya butuh ketenangan.

Saya duduk di bagian tengah, agak ke belakang. Kursi yang saya duduki ini harganya kurang lebih sama dengan kamar hotel bintang empat di Jogja. Sebuah kota yang katanya selebtweet selalu romantis itu. Bahkan, harganya bisa saja lebih murah. Ya, namanya juga promo.

Setelah saya duduk nyaman, pramugari datang menjelaskan. Jebul, posisi duduk saya ini menyangkut nyawa banyak orang. Saya bertugas membuka pintu darurat kala hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Saya tak henti-hentinya bilang amit-amit mana kala Mbak Pramugari menjelaskan.

“Bagaimana? Apakah ada pertanyaan?” begitu kalimat pamungkasnya. Menggunakan bahasa Inggris tentunya. Saya justru berharap Mbak Pramugari ini menjadi dosen saya saja. Sudah ramah, sopan pula.

Bagian paling sulit dari naik pesawat adalah saat lepas landas. Kala lampu dimatikan, suara pilot berbisik layaknya dalam gim-gim action, dada saya hanya bisa berdegup lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa, ketika pendaratan, saya malah merasa tenang. Jika di udara, saya hanya bisa berserah. Memangnya apa yang bisa saya lakukan, menengok saya bukan agen 007?

Ketika gulu saya nderedeg, kaki saya ngewel, para kru pesawat diam dan tenang, sekonyong-konyong, bapak-bapak di samping saya bilang, “Bisa bahasa Inggris?” saya taksir, blio orang Singapura. Saya hanya mengangguk, ia tersenyum. Saya yakin, dahi saya berkerut-kerut karena takut.

Mulut saya komat-kamit melafadzkan ayat suci. Ayat demi ayat yang bisa saya ingat. Aneh, dari rumah saya masih berpegang teguh bahwa semua manusia ketika dilahirkan itu marwahnya sebagai ateis dan akan beragama ketika dibisiki oleh orang sekitar. Ndilalah pas pesawat mau lepas landas kok bagai orang yang selalu bertuhan.

Di sini saya merasa nggak enak sama Tuhan. Lha gimana, yang biasanya ketika Subuh berkumandang saya tidur, masa kali ini saya memohon perlindungannya? Namun, setelah saya ingat Tuhan maha pengampun, saya sedikit merasa tenang.

Baca Juga:

Hiburan Orang Boyolali Itu Sederhana, Cukup Menyaksikan Pesawat di Sekitaran Bandara Adi Soemarmo Tanpa Pernah Menaikinya

3 Maskapai LCC Paling Bagus di Indonesia Versi Penumpang

“Apakah kebanyakan orang Indonesia itu mendadak religius ketika naik pesawat?” katanya, ketika pesawat lepas landas dan perlahan naik dari Bumi Singapura. Saya yang nahan ngeri hanya bisa haha hihi saja. Lepas landas itu hidup dan mati.

Saya nggak mau mikir apa yang Kokoh ini tanyakan. Setidaknya, kalau ada apa-apa dan ndilalahnya hari ini adalah hari terakhir bagi saya, saya nggak mati penasaran. Saya nggak mau membebani pikiran dengan pertanyaan njlimet dari Kokoh Singapura yang satu ini.

Setelah pesawat berimbang di angkasa, muluk bagai layangan, saya pun kepikiran. “Saya nggak pernah merasa religius,” jawab saya dengan anehnya. Kokoh itu hanya tersenyum. Mungkin blio mbatin: nggak religius matamu! Dari tadi mulutmu komat-komit.

Ia tersenyum lagi. Ia membawa buku berjudul Steppenwolf. Seperti menanti lampu pesawat dinyalakan kembali. Dari ketinggian, Singapura terlihat sangat kecil. Kapal-kapal kargo seakan mengitari pulau yang dulu bernama Tumasik ini.

“Saya ke Luang Prabang untuk mencari jati diri untuk menyongsong masa tua,” katanya. Saya lamat-lamat perhatikan lagi wajah pria yang umurnya jauh di atas saya itu.

“Seberat itu hidup di Singapura?” tanya saya.

Ia tampak terkejut. Memperhatikan saya di balik kacamata tebalnya itu. “Kok bisa tahu bahwa saya asal Singapura?” saya kepengin jawab begini: lha Kokoh saja bisa deduksi saya orang Indonesia, masak saya nggak bisa deduksi bahwa Kokoh itu orang Singapura? Namun, saya urungkan karena saya nggak bisa ngomongnya pakai bahasa Inggris. Payah memang.

“Tapi, dalam perjalanan seperti ini, saya selalu siap setidaknya untuk jatuh,” katanya tersenyum. Kalau memukul orang asing itu nggak melanggar hukum, mungkin saya sudah chokeslam si Kokoh ini.

Saya hanya diam. Ternyata, di pesawat ini, selain maksud dan tujuan setelah sampai ke Laos berbeda-beda, doa mereka pun setidaknya berbeda. Pertentangan doa, kesamaan nasib mungkin sangat pas jika kita berada di dalam pesawat, menanggung apa pun hasilnya secara bersama.

Pesawat jebul seperti negara. Maksud dan tujuannya berbeda, si baik dan si buruk menjalankan misinya, pada akhirnya jika senang akan bersama-sama, hancur pun secara kompak tanpa bisa diganggu-gugat.

“Kalau saya tiba-tiba membuka pintu darurat, bagaimana?” tanyanya.

Cuk, ini sudah ada yang salah. Saya hanya tercekat dan diam. Ingin saya beri kopi beracun, tapi saya sadar ini bukan pesawat tujuan Jakarta-Amsterdam dengan Munir di dalamnya. Sebuah perkara yang tidak pernah usai sampai sekarang. Saya nggak mau menambah dosa pemerintah dalam berjanji menegakan keadilan.

“Hehehe, bercanda,” jawabnya. Ia membuka-buka buku di tangannya, tapi tak kunjung dibaca-baca.

Saya pun nggak mau kalah. Saya macak jadi Andy F. Noya, “Orang Singapura kalau liburan ke mana, Sir?” Ya, saya pakai Sir. Entah salah atau nggak. Saya nggak paham selain pakai mate, friend, atau bro. Canggung karena ia tidak terlalu tua, tapi nggak bisa dikatakan muda.

“Saya di Luang Prabang mau main air di Sungai Mekong,” ia senyum dengan cara yang baik dan benar. Alias nggak bikin saya takut lagi.

Begitu sederhananya tujuan orang Singapura saat plesiran. Saya curiga, di mata orang Singapura, ketika beberapa orang Indonesia plesiran untuk belanja barang branded, ia akan mbatin begini, “Begitu sederhananya tujuan orang Indonesia saat plesiran.”

Semua memang sesuai porsi dan kebutuhan. Depan rumah saya, itu Sungai Gajahwong. Nggak kalah riuhnya dari Sungai Mekong walau Gajahwong nggak melewati berbagai negara. Mungkin hanya melewati berbagai kecamatan saja, Kota Gede dan Banguntapan sebagai contohnya.

Tiba-tiba saya membayangkan si Kokoh ingin nyari ikan cethol di Sungai Mekong, dan saya pun senyum-senyum sendiri sembari melihat awan yang mobat-mabit diterjang pesawat. Nggak kalah sama mobat-mabitnya obrolan kami yang nggak tahu juntrungnya ke mana.

“Saya suka ngobrol dengan Anda,” katanya. Padahal saya dominan diam. Kalau saja saya lolos mata kuliah Bahasa Inggris Filsafat, saya balas ke-mobat-mabit-an kata-kata Anda itu, Kisanak!

Lantas, ia bertanya kembali, “Apa yang kamu dapatkan dari obrolan ini?”

Mbak Pramugari membawa semacam lemari berjalan, menawari kami. Si Kokoh memesan nasi daging, saya pun diberinya satu. Wajah saya masih ndomblong melihat kebaikan hati Kokoh aneh yang satu ini. Ia melihat saya, seperti menanti jawaban dari mulut saya.

“Saya dapat satu hal yang menarik,” kata saya dengan terbata-bata. “Orang Indonesia itu mendadak religius ketika sedang tertekan. Saya sebagai contohnya. Bukan, begitu?”

Ia hanya mengangguk. Saya melanjutkan obrolan mobat-mabit ini, “Tapi saya juga punya indikasi tersendiri untuk orang Singapura, yakni kalau megang buku, nggak pernah ia baca sampai selesai.”

Ia tertawa. Terkutuklah Changi dengan harga yang tersemat di daftar. Kecuali bagi manusianya. Ternyata masih ada yang baik walau sedikit aneh dan cenderung menakutkan. Tetap saja, naik pesawat lebih menakutkan. Ndilalahnya, sudah naik pesawat bikin takut, jejernya orang asing yang makin bikin takut.

BACA JUGA Apa Orang Miskin Tidak Berhak Naik Pesawat? dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 4 November 2020 oleh

Tags: doapesawat
Gusti Aditya

Gusti Aditya

Pernah makan belut.

ArtikelTerkait

Harga Tiket Pesawat Tujuan Dalam Negeri Nggak Ngotak! Harganya Lebih Mahal daripada ke Luar Negeri

Harga Tiket Pesawat Tujuan Dalam Negeri Nggak Ngotak! Harganya Lebih Mahal daripada ke Luar Negeri

24 Oktober 2023
doa

Sebagai Seorang Muslim, Saya Percaya Kekuatan Doa Bahkan “Hanya” Untuk Menghilangkan Noda Baju Sekalipun

29 Juni 2019
Bandara Aminggaru Ilaga Papua, Bandara Penting dengan Fasilitas Paling Buruk di Indonesia

Bandara Aminggaru Ilaga Papua, Bandara Penting dengan Fasilitas Paling Buruk di Indonesia

10 Desember 2023
Teknik Penerbangan, Jurusan yang Kerap Dianggap Penghasil Pilot

Teknik Penerbangan, Jurusan yang Kerap Dianggap Penghasil Pilot

10 Oktober 2022

Citilink Adalah Maskapai Lokal Terbaik Saat Ini

24 April 2021
Tiket Pesawat Murah Nggak Melulu Soal Keberuntungan, Ada Tips dan Triknya! Mojok.co

Tiket Pesawat Murah Nggak Melulu Soal Keberuntungan, Ada Tips dan Triknya!

12 Agustus 2024
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

Keluh Kesah Mobil Warna Hitam. Si Cakep yang Ternyata Ribet

19 Desember 2025
Banyuwangi: Ditinggal Ngangeni, Ditunggui Bikin Sakit Hati

Banyuwangi: Ditinggal Ngangeni, Ditunggui Bikin Sakit Hati

20 Desember 2025
Mengenal ITERA, Kampus Teknologi Negeri Satu-satunya di Sumatra yang Sering Disebut Adik ITB

Mengenal ITERA, Kampus Teknologi Negeri Satu-satunya di Sumatra yang Sering Disebut Adik ITB

20 Desember 2025
Boleh Membanggakan SCBD Jogja, tapi Jangan Lupakan Gamping dan Mlati Sleman yang Akan Menjadi The Next SCBD Jogja Barat

Boleh Membanggakan SCBD Jogja, tapi Jangan Lupakan Gamping dan Mlati Sleman yang Akan Menjadi The Next SCBD Jogja Barat

19 Desember 2025
Mojokerto, Opsi Kota Slow Living yang Namanya Belum Sekencang Malang, tapi Ternyata Banyak Titik Nyamannya

Mojokerto, Opsi Kota Slow Living yang Namanya Belum Sekencang Malang, tapi Ternyata Banyak Titik Nyamannya

17 Desember 2025
UNU Purwokerto, Kampus Swasta yang Sudah Berdiri Lumayan Lama, tapi Masih Nggak Terkenal

UNU Purwokerto, Kampus Swasta yang Sudah Berdiri Lumayan Lama, tapi Masih Nggak Terkenal

15 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang
  • Ketika Rumah Tak Lagi Ramah dan Orang Tua Hilang “Ditelan Layar HP”, Lahir Generasi Cemas
  • UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar
  • Liburan Nataru di Solo Safari: Ada “Safari Christmas Joy” yang Bakal Manjakan Pengunjung dengan Beragam Sensasi
  • Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik
  • Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.