Geger geden di dunia per-covid-an kembali terjadi. Polisi menyerbu Bandara Internasional Kualanamu setelah mendapat laporan bahwa tes covid-19 di sana menggunakan alat bekas, alias menggunakan rapid test daur ulang. Hingga kini, polisi masih memeriksa petugas yang berwenang untuk dimintai keterangan.
Untuk sekarang, sebaiknya kita pegang dulu asas praduga tak bersalah. Hingga polisi menetapkan status mereka, kita lebih baik tak menghakimi dulu. Yaaa meski udah jadi trending di Twitter, bukan berarti kita harus ikut-ikutan.
Tapi, andaikan ternyata mereka ditetapkan bersalah yang berarti kejadian itu beneran, saya sih nggak kaget.
Lho, praktik culas kayak gitu sebenarnya sudah sering kita lihat. Kecurangan yang terjadi di depan mata kita itu banyak, cuman ya saking seringnya liat, kita jadi mikir itu normal-normal aja. Hanya saja, kejadian rapid test daur ulang di Bandara Kualanamu itu masuk kasus yang spesial, kalau tidak boleh dibilang ndlogok.
Mosok yo tega ngasih pengunjung alat rapid test daur ulang. Jahat ya jahat tapi nggak gitu juga kali.
Saya jelaskan dulu maksud saya perkara praktik culas itu. Kalian sering nggak liat sedotan basah di warung-warung makan gitu? Tahu nggak kalau beberapa warung sering nyuci sedotan untuk dipakai? Saya nemu praktik ini berkali-kali di warung berbeda. Apakah hal ini pernah jadi geger geden? Rasan-rasan, iya. Geger? Nggak juga tuh.
Selain itu, pernah nggak kalian diminta bayar parkir di minimarket yang jelas-jelas ngasih tulisan parkir gratis? Sering, saya tebak. Kalian pernah masalahin itu? Iya, tapi tetep bayar kan ujungnya? Ya iya, kan udah nggak ada pilihan lagi. Daftar ini bisa makin panjang, yang ujungnya membawa kita ke kesimpulan bahwa praktik busuk itu begitu lumrah di Indonesia.
Kebiasaan itu harusnya bikin kasus rapid test daur ulang di Bandara Kualanamu itu nggak begitu ngagetin. Hal macam itu memang tinggal menunggu waktu buat ketauan aja. Kalau praktik itu ternyata nggak hanya terjadi di Kualanamu, saya juga nggak kaget.
Selama bisa diduitin, orang akan mengambil peluang itu meski menabrak etika dan moralitas. Kita udah tau kalau banyak orang nembak SIM, nggak sekali dua kali kita denger bikin KTP harus pakai pelicin, dan kita sudah bosan orang ditangkap gara-gara menyuap pihak berwenang untuk memuluskan langkahnya. Saking seringnya, kita udah nggak punya kepercayaan lagi terhadap hukum, lha wong kita tiap hari denger orang melanggar hukum segampang itu kok.
Tapi, kalian jangan lompat ke kesimpulan kalau hal buruk jangan diberitain lho, tak suling silitmu nek ngono. Maksudnya bukan itu.
Maksud saya adalah, hal ini menunjukkan bahwa nyatanya nggak ada yang berubah dari negara ini, meski pemerintah udah klaim bahwa mereka memperketat ini itu. Soalnya, praktik rapid test daur ulang ini adalah kasus yang benar-benar goblok.
Ya gimana nggak goblok, bisa-bisanya nggak ada yang tau kalau beberapa petugas itu ternyata main-main dengan alat rapid test. Artinya, pengawasan terhadap hal itu benar-benar kendor. Yo mosok seko pihak bandara, sekuriti, hingga pihak medis yang lain nggak tahu praktik itu.
Bisa jadi sih mainnya pelaku ini emang rapi. Tapi, nggak mungkin dong mereka bisa nemu celah kecuali memang celah itu nggak pernah ditutup. Kan hal kayak gitu harusnya dievaluasi terus-terusan dan sistemnya diawasi terus-terusan, mulai dari distribusi hingga dokumentasi. Berarti, kasus rapid test daur ulang ini bisa terjadi karena sistemnya yang memang bapuk atau sistemnya diakali.
Nah, kalau diakali, berarti yang main nggak cuman satu pihak dong ya? Hayo, hayo, hayooo.
Hal-hal brengsek yang merugikan kita macam korupsi bansos, rapid test daur ulang, dan kasus-kasus lain itu sebenarnya hanyalah keculasan dalam skala besar. Kita sudah melihat kasus tersebut setiap hari. Kita melihat hal tersebut jadi sebuah “norma”, dan untuk orang-orang yang punya akses dan kuasa, kasus besar tersebut juga norma.
Kalau kalian nanya solusi, ya jane gampang: jangan kompromi terhadap pelanggaran hukum, dan punya moral yang teguh. Tapi, hal itu sulit, karena hal ini sudah mendarah daging. Yang bisa kita lakukan sih ya sekadar nggak usah ikut-ikutan jadi brengsek saja. Syukur-syukur menginspirasi, kalau gagal ya biar jadi modal masuk surga.
Kok kesannya pesimis? Ya iyalah, mau optimis sama negara kek gini? Yaelah kek mahasiswa baru kelar baca Sophie’s World aja.
Kita baiknya sih siap-siap aja kalau ada kasus serupa dengan rapid test daur ulang ini terjadi di masa depan. Mungkin saja bakal ada kasus tentang jual beli antrean vaksin, atau alat tes yang ternyata proyekan individu, dan individu tersebut menyuap orang-orang penting agar produknya diterima dan dipakai dalam skala nasional.
Eh, bentar, bentar, kok mirip vaksin nusan…
BACA JUGA Korupsi Bansos dan Dana Haji, Mana yang Lebih Bajingan? dan artikel Rizky Prasetya lainnya.