Baru-baru ini, kabar KPI menegur dan memberi sanksi kepada 14 program siaran televisi telah menjadi salah satu yang trending di Twitter, diperkuat dengan kemunculan tagar #BubarkanKPI. Nah, salah satu yang menjadi sorotan masyarakat, termasuk saya, adalah mengapa kartun menghibur seperti SpongeBob SquarePants—salah satu big movie-nya SpongeBob lebih tepatnya—lagi-lagi ditegur juga. Padahal kan, si kuning SpongeBob disajikan untuk anak kecil menemani sarapan sebelum ke sekolah dan makan siang setelah pulang sekolah. Tapi, kok ya malah dianggap bersalah.
Well, ini bukan pertama kalinya, sih, si kuning ini ditegur KPI. Kali ini, katanya—lagi-lagi—salah satu adegan di big movie SpongeBob SquarePants itu ada adegan ‘kekerasan’ yang dilakukan oleh sesama kelinci yang merupakan mamalia darat akan menimbulkan pengaruh buruk kepada anak kecil—sebagai bagian dari ‘mamalia darat’ juga mungkin(?)
Saya sih agak menarik nafas yah membacanya. Saya nggak mau jadi sok-sok kritis atau mendiskreditkan KPI, cuman gimana kalau kita lihat dari sudut pandang anak kecilnya langsung? Atau, wawancarai deh anak kecil yang ada di dekat kalian, entah itu adik, sepupu, keponakan, murid, atau siapalah, dan tanyakan apakah mereka mempermasalahkan—atau sebenarnya mengerti tentang adegan sadis dan mengerikan itu? Atau mereka malah bodo amat yang penting mereka terhibur?
Saya sudah menonton serial Spongebob Squarepants sejak kecil sebelum masuk bangku TK. Dan salah satu kartun yang paling saya suka, yah si kotak kuning berongga ini. Sebagai anak kecil yang belum tahu-menahu dengan coloring rule, saya suka sangat jatuh cinta dengan latar serial ini yang warna-warni. Di TV itu kelihatan enak gitulah dilihat, dengan suara air setiap pergantian scene, serta tokoh dengan dubbing yang lucu dan menghibur.
Hingga masuk ke usia belasan tahun dan sekarang berkepala dua-pun, saya masih menyukai kartun ini dan masih mencarinya di YouTube untuk menjadi salah satu teman bersantai saya kalau butuh hiburan. See? Saya nggak apa-apa tuh setelah nonton puluhan bahkan ratusan episode SpongeBob yang katanya merusak itu.
Saya rasa, hal ini juga berlaku untuk anak-anak kecil lainnya. Percayalah, mereka menonton SpongeBob hanya untuk hiburan. Mereka tak tahu-menahu tentang adegan yang katanya banyak kekerasan dan sadis itu—kalau bukan karena diberi-tahu oleh orang dewasa. Ah, lagian orang dewasa terlalu dalam menganalisis.
Adegan Sandy yang pakai bikini, adanya lambang segitiga illuminati, Plankton suka mencuri, Pearl anak siapa, dan lain-lain yang terlalu dilebih-lebihkan orang dewasa itulah yang sebenarnya memunculkan masalah. Padahal, anak kecil nonton yah nonton aja. Mereka senang dengan hiburan SpongeBob yang bersahabat baik dengan Patrick, SpongeBob yang setia dengan Tuan Krab dan rajin bekerja, atau SpongeBob yang pantang menyerah sampai bisa dapat surat izin mengemudi di bawah laut. Atau mungkin anak kecil tak perlu tahu makna dari SpongeBob, yang penting mereka ada teman—teman menunggu jemputan bis sekolah dan teman pengantar bobok siang.
SpongeBob SquarePants itu target pasarnya anak kecil, lho, yah. Anak kecil yang masih polos dan lugu, yang makan masih disuapin dan ke dapur harus ditemenin. Bukan untuk orang dewasa yang kritis dan suka menganalisis sampai menemukan yang sadis.
Kalau sampai anak kecil tahu SpongeBob tidak baik untuk ditonton karena ada adegan tidak lazim, yah itu karena ulah orang dewasa. Saya rasa, anak kecil di masa pertumbuhannya akan bertanya jika dia penasaran. Dan jika dia bingung mengapa ada adegan yang ‘ganjil’ di pandangannya, dia akan mulai menghujani kita dengan tanda tanya. Di sinilah tugas kita memberi tahu dengan cara yang tepat, bukan melarang mereka melihat tontonan yang seharusnya mereka tonton—apalagi sampai mengalihkannya ke sinetron. Duh, nggak banget, tolong.
Ulah mengkritisi oleh orang dewasa ini memang sudah mewabah sejak lama. Tak hanya SpongeBob SquarePants, ada juga Tom & Jerry, Dragon Ball, dan Naruto yang telah dilarang KPI karena mengandung unsur kekerasan. Atau Doraemon yang katanya mengajarkan anak untuk mengandalkan orang lain dan bermalas-malasan.
Baiklah, mari kita saksikan satu persatu serial untuk anak kecil lenyap dari layar kaca dan diganti dengan acara lain yang mungkin bagi mereka jauh lebih mendidik. Yah, makanya tak heran hiburan anak kecil sekarang sudah beralih—ya tahulah ya. Miris sih, tapi mau gimana. Anak kecil nggak bisa memilih tontonan untuk usianya dengan bebas. Orang dewasalah yang pada akhirnya menentukan. Sayapun kehilangan. Selamat tinggal, kartun di televisi. Tenang, ada YouTube yang menerimamu. (*)
BACA JUGA Mawang dan Jawaban Atas Penyampaian Rasa Sayang Kepada Orang Tua yang Seringkali Sulit Diungkapkan atau tulisan Rode Sidauruk lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.