Sebagai mahasiswa, pasti ada satu tokoh yang mereka idolakan. Para mahasiswa aktivis misalnya, mereka cenderung mengidolakan Soe Hok Gie. Mahasiswa sastra mengidolakan Pak Sapardi, mahasiswa Ekonomi menggandrungi Adam Smith. Dan untuk mahasiswa Sosiologi, dengan siapa lagi kalau bukan dengan Karl Marx.
Tokoh asal Jerman ini menjadi satu tokoh yang paling dibanggakan oleh mahasiswa Sosiologi. Pokoknya, kurang afdal bagi mahasiswa Sosiologi kalau mereka nggak tahu Karl Marx. Bahkan, nggak perlu kaget jika maba jurusan ini pun ketika awal-awal kuliah akan memasang foto Marx sebagai foto profilnya. Kalau mahasiswa jurusan Sosiologi menengah, pasti ke mana-mana bawa buku yang berbau Marxis. Seolah-olah, Karl Marx menjadi magnet bagi mahasiswa Sosiologi di seluruh dunia.
Lantas, memangnya apa yang spesial dari orang Jerman ini? Kok, mahasiswa Sosiologi bahkan tokoh-tokoh ilmu sosial sangat terpengaruh olehnya?
Karl Marx si paling kompleks
Karl Marx adalah all in 1. Maksud all in 1 adalah fokus dan dedikasi teoretisnya terhadap beberapa ilmu pengetahuan. Sebut saja ekonomi, filsafat, politik, agama, dan sosiologi. Semua ilmu itu seakan-akan melekat pada nama Karl Marx.
Misalnya dalam ilmu ekonomi. Marx merupakan seseorang yang menentang sistem kapitalisme. Sistem yang menghasilkan surplus nilai dan eksploitasi. Sederhananya, ketika para pemilik modal mempekerjakan buruh dengan waktu dan bayaran yang nggak imbang, maka sirkulasi ekonomi yang terjadi adalah nggak seimbang pula. Dalam arti lain, pemilik modal menerima banyak uang, tetapi upah buruh tiap pekannya diiris tipis secara perlahan.
Dalam ranah sosiologi pun berangkat dari situ. Buruh yang sadar akan eksploitasi pemilik modal harus melakukan revolusi kelas. Yakni, menghancurkan para pemilik modal, dan menjadikan buruh dan umat manusia hidup dengan setara. Nggak ada yang namanya buruh hidup dengan sengsara dan pemilik modal hidup kaya raya, semuanya merata.
Begitu pula dengan filsafat, setidaknya saya nggak usah jelaskan panjang lebar, biar kita nggak sama-sama pusing. Karl Marx sendiri menawarkan konsep dialektika. Ya, istilah yang sering disebut-sebut mahasiswa biar kelihatan keren itu. Sederhananya, dialektika itu ketika Tesis dikontra oleh Antitesis lalu menghasilkan Sintesis. Kalau bahasa Tan Malaka, “Terbentur, terbentur, lalu terbentuk.” Sudah, itu saja.
Bagi mahasiswa Sosiologi, kemampuan daya pikir Karl Marx menjadi satu hal yang menarik. Apalagi konsep perlawanan kelas yang sering digembar-gemborkan oleh mahasiswa aktivis yang kebanyakan dari jurusan Sosiologi. Maka, inilah alasan kenapa Mbah Marx menjadi sosok yang diidolakan.
Meskipun digandrungi, tapi sering juga disalahpahami
Akan tetapi, jangan salah, meskipun banyak mahasiswa Sosiologi mengidolakan, tapi menyebut kata Karl Marx di beberapa tempat, sebut saja di sekolah, masih dianggap tabu. Pasalnya, banyak orang memahami kalau Karl Marx ini mbahnya Komunisme. Nggak salah, sih, tapi perlu diluruskan sedikit.
Sebagai ekonom, Marx mencoba mencari titik keadilan hubungan antara Borjuis (pemilik modal) dan Proletar (kelas bawah) yang eksploitatif agar terhindar dari kapitalisme yang serakah itu. Solusi Karl Marx apa? Adalah menjadikan masyarakat yang setara (utopis). Masyarakat yang nggak ada lagi kelas sosial-ekonomi. Semua barang adalah milik negara dan dapat digunakan secara publik. Nggak ada kepemilikan personal, semua bisa diakses secara komunal. Maka secara teoretis, situasi ini yang disebut komunisme.
Namun, karena alasan historis bangsa ini, istilah seperti komunis bahkan kata Karl Marx menjadi dibatasi dan bahkan dilarang disebut di tempat-tempat tertentu. Jadi, bagi maba Sosiologi pasti akan kaget, kalau di kampus ternyata bahasan komunisme dan Karl Marx biasa saja dan boleh didiskusikan. Malahan, diskusi soal marxis, marxian, neo-marxian menjadi topik paling menarik di perkuliahan Sosiologi.
Saya nggak bohong, sebagai mahasiswa Sosiologi, bahkan nggak cukup enam semester dibahas. Sebab, Marx pada dasarnya banyak memengaruhi sosiolog-sosiolog lain. Misalnya, dalam psikologi ada Sigmund Freud. Dalam pendidikan ada Paulo Freire, dalam politik ada Antonio Gramsci, dalam budaya ada Mazhab Frankfurt, dsb.
Maka, dari sini sudah sewajarnya jika (ada) mahasiswa jurusan Sosiologi (yang) sangat menggandrungi Karl Marx. Terlepas dari salah paham yang saat ini terus beredar.
Penulis: Adhitiya Prasta Pratama
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Di Cina, Karl Marx dan Adam Smith Saling Memanfaatkan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.