Organisasi Karang Taruna Nyatanya Tak Lebih dari Pelengkap Acara Hajatan dan Ladang Cari Suara Politik

Mempertanyakan Relevansi Karang Taruna di Masa Kini

Mempertanyakan Relevansi Karang Taruna di Masa Kini

Jika Anda pernah mendengar cerita band The Jeblogs dari Klaten yang berawal dari karang taruna desa Jeblog, seolah mengisyaratkan organisasi ini dapat menjadi wadah untuk membuat sebuah gebrakan oleh anak muda. Tapi nyatanya tidak selalu begitu, The Jeblogs adalah anomali kejadian positif dari kemandekan organisasi karang taruna di era modern.

Mengacu pada Permensos Nomor 25 Tahun 2019 disebutkan bahwa Organisasi Karang Taruna merupakan organisasi yang dibentuk masyarakat sebagai wadah generasi muda untuk mengembangkan diri dengan orientasi tercapainya kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Namun sepertinya banyak karang taruna yang jauh dari tujuan utama dari terbentuknya organisasi ini.

Betul bahwa ada karang taruna yang memberikan dampak besar bagi desa dan lingkungan. Baik berupa pembangunan sumber daya manusia, pembangunan ekonomi, atau pembangunan infrastruktur desa, namun sepertinya tidak banyak. Dari pengalaman saya, organisasi ini lebih banyak sibuk untuk membantu acara nikahan dan kegiatan Agustusan.

Masalah karang taruna

Bagi saya organisasi seperti karang taruna memiliki potensi besar untuk menjadi organisasi yang dapat menjawab masalah sosial di lingkungan tempat tinggal. Sangat disayangkan potensi besar ini semakin diabaikan. Sebab, semakin ke sini, organisasi ini tidak mampu menjawab kebutuhan dan mewadahi anak muda.

Bagaimana tidak, dari awal perekrutan anggota saja kebanyakan karang taruna menerapkan stelsel pasif. Artinya, jika seorang warga sebuah desa sudah memasuki usia yang sudah ditentukan, dia otomatis dianggap sebagai anggota. Hal itu menjadi masalah ketika organisasi tidak mampu menawarkan value apa pun kepada calon anggotanya. Bagaimana bisa kita menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu sedangkan ia tidak mendapat apa-apa?

Saya rasa tidak mungkin jika hanya mengandalkan kesadaran untuk berorganisasi dan berjuang demi kebaikan warga desa. Akhirnya anggota karang taruna bisa sangat banyak tapi mereka hanya sekadar ikut saja karena takut. Jika tidak ikut diancam dikucilkan, atau yang paling lucu adalah diancam tidak dibantu nikahannya.

Jadi, ini organisasi sosial atau usaha catering?

Pemuda yang bergabung sering kali tidak diberi ruang untuk berpendapat atau menentukan arah organisasi. Mereka hanya dianggap sebagai tenaga kerja tambahan untuk acara-acara desa, seperti membantu hajatan, mengurus keamanan, atau sekadar menjadi pelengkap seremonial. Padahal, jika diberikan kesempatan, karang taruna bisa menjadi wadah yang benar-benar bermanfaat bagi pengembangan keterampilan dan kepemimpinan para anggotanya.

Lebih memilih pasif karena dipaksa pasif

Keberagaman anggota dalam organisasi juga menimbulkan tantangan baru. Banyak anak muda yang telah mengenyam pendidikan tinggi dan memiliki pandangan yang lebih modern. Mereka cenderung menyelesaikan permasalahan organisasi dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari kampus atau organisasi kemahasiswaan. Namun, sering kali mereka kesulitan menyampaikan gagasan secara efektif. Sementara itu, organisasi tradisional seperti karang taruna cenderung mempertahankan cara kerja yang sudah ada dan kurang menerima perubahan budaya yang dianggap mapan.

Dengan minimnya otonomi dan kebebasan dalam mengambil keputusan, banyak pemuda akhirnya kehilangan minat dan memilih pasif. Mereka merasa bahwa keberadaan mereka di organisasi ini bukanlah untuk membangun, tetapi hanya sekadar menjalankan tugas yang diberikan tanpa memiliki suara yang berarti.

Harus diakui bahwa karang taruna menjadi organisasi yang sudah lama ada dan masih bisa eksis sampai sekarang karena memiliki manfaat baik bagi anggotanya atau warga desa. Saat ini organisasi tersebut masih dapat memberikan manfaat untuk membantu kegiatan di desa tapi tidak memiliki manfaat bagi anggotanya. Toh saya rasa ikut atau tidaknya Anda di organisasi tersebut tidak ada dampak signifikan bagi Anda. Selama Anda punya uang buat sewa catering nikahan, Anda nggak merasakan fungsi karang taruna.

Jika ini terus terjadi, mungkin organisasi karang taruna akan benar benar hilang dalam waktu dekat.

Karang taruna adalah koentji

Politik di karang taruna itu rumit, lebih rumit daripada politik pemerintahan desa maupun kabupaten. Posisi ketua bukanlah posisi yang diharapkan pemuda desa karena tanggung jawab dan tuntutan yang besar dari warga, namun tidak mendapatkan apa-apa. Anda tidak dapat mengupdate pengalaman organisasi karang taruna Anda di LinkedIn bergengsi atau mencantumkannya di CV anda.

Saya adalah contoh orang yang merasakan getirnya menjadi ketua karang taruna. Arah organisasi seolah harus menjalankan apa yang diperintah orang tua desa, bukan sesuai dengan tujuan organisasi. Setiap saya diberi masukan, yang memberi masukan harus disertai embel-embel “ya ini cuma masukan aja”. Nyatanya, kata “cuma” itu berarti harus dijalankan. Jika tidak, si pemberi masukan bisa tersinggung dan marah.

Menjadi ketua karang taruna berarti harus siap diperalat, apalagi saat memasuki tahun pemilu. Organisasi ini adalah lahan subur bagi para calon politikus yang ingin dipilih. Timses atau kader dari para calon politikus ini mendatangi ketua untuk meminta suara dan memberikan iming-iming akan dibelikan seragam lah, bolo pecah lah, atau piknik gratis.

Sebuah tawaran yang sangat receh, tapi bikin anggota tergiur. Tawaran tersebut sudah cukup untuk membuat sebagian anggota memberikan dukungan dan memaksa anggota lain untuk ikut mendukung agar mendapatkan apa yang ditawarkan. Hal seperti inilah yang sering kali membuat perpecahan internal.

Saya sebagai ketua karang taruna sering merasakan dilema. Jika menolak tawaran receh itu sering dianggap tidak peduli dengan kesejahteraan anggota. Bahkan saya pernah ditekan dari warga untuk memiliki afiliasi politik tertentu. Tapi jika menerima, berarti saya melanggengkan praktik pragmatisme politik yang menjadikan karang taruna sebagai kepentingan sesaat.

Jadi munafik lebih aman

Sering kali saya memilih jalan tengah dengan menjadi orang munafik. Seolah menerima tawaran tersebut agar semua pihak bahagia, tapi di belakang saya memberitahu banyak orang agar memilih sesuai keinginannya dan tidak peduli dengan tawaran itu. Apabila suara yang diperoleh tidak diharapkan saya tinggal bilang “mungkin itu warga lain”.

Sayangnya, harus diakui bahwa keputusan saya malah melanggengkan politik balas budi tingkat paling bawah. Saya tidak punya banyak pilihan dan harus menerima fakta bahwa banyak karang taruna hanyalah tempat pemuda diperlakukan seperti burung beo.

Penulis: Rifqi Firdausi Arafadh
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mempertanyakan Relevansi Karang Taruna di Masa Kini

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version