Haikyuu! memang beda!
Ketika Majalah Bobo sukses membangun ruang imajinasi banyak anak melalui medium tulisan dan cerita, maka Studio Ghibli sukses membangun daya nalar imajinasi luar biasa melalui medium sinema. Studio Ghibli menyimpan sisi plural dari keliaran imajinasi dan nilai-nilai luhur ajaran setempat melalui tiap filmnya.
Tanpa perlu menyebutkan apa makna yang terkandung di dalam animasi-animasinya, masing-masing kepala pasti memiliki jawaban yang berbeda. Bagaimana saya dibuat sesenggukan kala menonton Grave of the Fireflies (1988) yang mengambil latar akhir perang dunia kedua. Lantas setelahnya, saya seperti diajak bermain di halaman belakang kala menonton animasi My Neighbor Totoro.
Kita diajak tertawa bersama Mei yang bermain dengan sosok “genderuwo” bernama Totoro. Jika kita menggunakan nalar, tak akan ditemui maksud dari Hayao Miyazaki membuat sosok astral seperti Totoro tak ubahnya menjadi sosok menggemaskan seperti beruang. Melalui ruang-ruang pertentangan seperti jahat dan baik, kabur menjadi tidak jelas. Bukannya menjadi cerita buruk dan hambar, My Neighbor Totoro (1988) adalah antitesis tepat untuk melawan Disney yang selalu meng-vis a vis-kan antara sang puteri dengan penyihir.
Tentu ada tokoh yang dianggap jahat, melalui tokoh penyihir Yubaba dalam animasi Spirited Away (2001). Namun, perlu menjadi catatan, Yubaba digambarkan hitam-putih lantaran tidak sepenuhnya dikuasai sifat tamak, tapi bercampur dengan rasa melindungi yang berlebihan terhadap keluarganya. Benar, Studio Ghibli seperti hendak menyatakan perang kepada animasi lain yang selalu menggambarkan tokohnya jika tidak putih ya pastinya hitam.
Setidaknya konsep ini tertanam sempurna dan diadaptasi dengan brilian oleh Furudate dalam manganya yang berjudul Haikyuu! Seperti apa yang saya pernah tuliskan bahwa antagonis dalam manga ini selalu digambarkan abu-abu. Konsisten dengan sifatnya, bagaimana pun pembawaan si karakter ini, namun hadir dengan semangat logis karena dalam voli, siapa pun berhak untuk menang.
Siapa yang tidak menganggap sosok Morisuke Yaku ini menyebalkan? Libero Nekoma yang bicaranya selalu blak-blakan. Namun perasaan kesal langsung dibanting kala mengetahui Yaku adalah pribadi yang sopan kepada rekan, juga dia aplikasikan untuk lawan. Tak ayal, siapa pun yang melawannya, pasti menaruh hormat. Satu sisi muncul rasa hormat, sisi lain harus mengalahkan, inilah yang terkadang sangat berat dalam kehidupan.
Setiap orang memiliki ambisi, begitu yang dialami oleh Yaku. Namun, ambisinya yang berlebihan tidak mengisyaratkan bahwa dia sedang memandang remeh orang lain. Terlihat bagaimana ketika dirinya memandang Nishinoya, libero Karasuno, katanya, “Aku mengutuk tinggi badan. Dia (Nishinoya) hanya melihat bola ke depan dengan penuh perhatian… itu menakutkan.”
Membicarakan antagonis di manga Haikyuu!, tak lengkap jika tidak memasukan nama Taketora Yamamoto. Dari mulai sifat kasar, bicara blak-blakan, dan tutur kata yang kotor, menggiring kita untuk meyakini bahwa Tora adalah antagonis yang tepat untuk dibenci. Ketika banyak manga mengindentikan rambut punk dan raut wajah menyebalkan adalah indikasi antagonis utama, Furudate seakan ingin kita menimang kembali korelasi wajah dan sifat manusia.
Hal-hal lucu sebenarnya ditunjukan oleh Tora ketimbang sisi menyebalkan dan ugal-ugalan khas preman sekolah. Hubungannya dengan sang setter, Kenma, juga sangat menggugah, apalagi perseteruan antara “fisik” dan “otak”. Yang disuka adalah sifat tanggung jawab sebagai ace nekoma, tapi tidak over-pede dan justru memiliki sifat mawas dirinya yang patut untuk dicontoh.
Kita diajak menggerutu kala Hinata sang tokoh utama dijadikan ball boy oleh pelatih Shiratorizawa Academy, Tanji Washijo, dalam sesi Kamp pemain muda berbakat Prefektur Miyagi. Hinata tidak diundang dalam kamp tersebut, padahal ia bermain apik dalam ajang Spring High Preliminary.
Ia dijuluki sebagai “demon coach” oleh anak didiknya karena selain porsi latihan yang gila, dirinya juga sangat galak dan keras kepala. Dia lebih suka tipikal pemain yang tinggi dan memiliki kekuatan alami. Persetan dengan usaha keras, latar belakang dan kepribadian. Baginya, selama sudah tiba di lapangan permainan, hal-hal tersebut melebur menjadi satu hal: kekuatan. Dan sialnya, Hinata memiliki tubuh pendek dan tingginya tidak bisa bersaing dengan pemain lain yang diundang dalam kamp tersebut.
Ia menganggap bahwa Hinata tidak ada apa-apanya tanpa adanya Kageyama. Namun, hal itu diprotes karena seorang spiker itu harus mencoba nyetel dengan tosser. Itulah yang menjadikan alasan kuat untuk membencinya. Namun, bukan Haikyuu! namanya jika berakhir dengan rasa peduli dan memperhatikan. Ternyata, Washijo memiliki maksud terselubung menjadikan Hinata sebagai seorang ball boy. Hinata bisa memiliki pandangan yang lebih luas dan menganalisis arah datangnya bola dari lawan.
Hinata mengingatkan masa kecil Washijo sebagai pemain pendek dalam bola voli. Ia menganggap bahwa Hinata pasti akan layu sebelum berkembang. Dari balik cueknya Washijo, terselip sebuah rasa sayang yang mendalam untuk Hinata. Dirinyalah yang mencarikan relasi Hinata untuk bisa latihan voli pantai di Barzil sebelum MSBY Black Jackals tertarik merekrutnya.
Dilansir dari Vice banyak pengkritik Ghibli mengatakan film-film mereka “terlalu eskapis” atau kelewat mengandalkan nostalgia. Toh memang begitulah kehidupan, sifat jahat tidak selalu terang-terangan datang dan bilang, “Aku kutuk kamu menjadi kodok” namun bisa dibangun secara halus dan meluruh seperti kata-kata, “Wah, kamu keren sekali jika…”
Haikyuu! pun serupa, Furudate sang mangaka membangun pola yang sama guna melawan pasar yang ada. Ketika banyak tokoh manga yang selalu hadir penuh dendam amarah dan bersimbah darah, Furudate menggambarkan sisi humanis sebagaimana mustinya manusia menyikapi sebuah kekalahan.
Sebuah kewajaran jika manusia kalah, menghilang dari bumi sejenak, kemudian membangun sistem pertahanan diri yang selama ini dimilikinya. Lantas hadir dengan hal baru, sesuatu yang bisa digunakan untuk setidaknya melawan dengan cara yang elegan. Oikawa pergi ke Argentina, Nishinoya ke Italia, dan Hinata mengasingkan diri di Brazil dengan bermain voli pantai. Mereka melakukan itu dengan satu tujuan, yakni kembali dan melakukan perlawanan. Perlawanan tidak hanya diselesaikan dengan memberi racun dan menghunuskan pedang. Terkadang, menjadi matang adalah bentuk perlawanan yang paling merepotkan.
BACA JUGA Ketika Tonari no Totoro Ambil Setting di Indonesia atau tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.