Kapan Indonesia Jadi Negara Ramah Anjing?

Kapan Indonesia Jadi Negara Ramah Anjing?

Kapan Indonesia Jadi Negara Ramah Anjing? (Unsplash.com)

Suatu hari, karena sedang ingin tenggelam dalam gelombang nostalgia, saya iseng mencari video cuplikan dari sebuah film lawas berjudul Air Bud: Golden Receiver yang rilis tahun 1998. Ketika sedang asyik menonton, tiba-tiba terlintas di benak saya, kira-kira kapan ya Indonesia menjadi negara yang ramah anjing? Ramah dengan hewannya lho ya, bukan ramah dengan sapaan dan selipan kata “anjing” yang makin lama makin sering didengar di mana-mana.

Saya memang membandingkan kehidupan anabul di negara ini dengan Amerika karena banyak film keluarga dengan tokoh anjing yang diproduksi oleh Hollywood. Kemudian saya teringat bahwa di Amerika Serikat ada hukum yang khusus mengatur hak asuh anjing ketika pasangan pemiliknya bercerai. Ada pula hukum yang tegas menindak orang-orang yang menelantarkan, melakukan kekerasan, dan menyiksa anjing. Bahkan pihak pemerintah juga memiliki shelter khusus sebagai usaha mengendalikan populasi anjing, makanya istilah shelter adoption begitu umum di sana. Lha, di Indonesia?

Faktor ajaran agama dan budaya memiliki andil dalam perspektif masyarakat

Sebagai orang yang sejak bayi hidup serumah dengan hewan berkaki empat ini, memang agak susah menghilangan pandangan bias tentang anjing. Kalau harus menerka-nerka, seandainya saya nggak pernah tinggal dengan hewan peliharaan apa pun sejak kecil dan nggak terbiasa dengan hewan, mungkin saya akan berpikir bahwa anjing adalah hewan buas dan berbahaya. Anjing yang lucu cuma ada di internet.

Tak bisa dimungkiri perspektif orang Indonesia terhadap anjing mau tak mau sudah menerima pengaruh dari ajaran budaya dan agama. Di Indonesia, kalau nggak ditakuti atau dibenci, anjing justru diburu dan dimakan.

Dalam ajaran agama tertentu, liur anjing dianggap najis. Sejujurnya hal ini nggak masalah buat saya. Saya memahami kenapa orang jauh-jauh dari anjing, ya supaya nggak menjadi najis. Tapi herannya, ada juga segelintir orang yang mati-matian membenci anjing sampai rela membunuh hewan tersebut. Padahal kalau nggak mau najis, menghindar saja sudah cukup, kan? Bukankah nggak ada aturan yang mewajibkan agar anjing dibenci dan dibunuh? Kalaupun terkena liurnya, bukankah ada cara untuk membersihkan dan menyucikan diri kembali? Kenapa harus sampai menghilangkan nyawa hewan berkaki empat ini?

Selain agama, ada pula kebiasaan suku yang turut andil dalam membentuk perspektif masyarakat terhadap anjing. Tak sedikit suku asli Indonesia yang memiliki tradisi mengonsumsi daging anjing. Lha, masalahnya, sejak kapan anjing dikategorikan sebagai hewan ternak? Apakah ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa daging anjing lebih bergizi dibandingkan daging hewan ternak lainnya?

Instansi pemerintah kurang tanggap memberantas rabies

Pandangan masyarakat tentang anjing juga makin keruh dengan maraknya kasus rabies yang menjangkit manusia belakangan ini.  Memang betul anjing adalah salah satu hewan yang bisa menyebarkan virus rabies. Seharusnya hal ini menjadi sebuah masalah yang ditanggapi dengan serius oleh pemerintah.

Banyak kasus gigitan anjing sebelumnya berujung pada kematian karena instansi kesehatan setempat nggak memiliki obat suntikan rabies. Sehingga pengobatan kepada korban yang terkena gigitan anjing terlambat diberikan. Parahnya lagi, nggak sedikit nakes yang menganggap enteng gigitan anjing dan justru membiarkan virus di luka tersebut merajalela di pembuluh darah.

Dilihat dari sini, pemerintah nggak bisa memberikan layanan solusi yang baik. Lantas, apakah sejak awal ada layanan preventatif? Seharusnya pemerintah mulai menjalankan program vaksin anti-rabies dan sterilisasi untuk pengendalian populasi, utamanya di daerah-daerah dengan populasi anjing yang signifikan. Kalau anjing bebas rabies, citra mereka sebagai hewan yang mengerikan bisa lama-lama menghilang.

Terpaksa menelan pil pahit

Untuk saat ini, saya terpaksa hanya bisa menerima kenyataan miris bahwa anjing memang masih mendapatkan konotasi negatif di tengah masyarakat Indonesia. Sebagai seorang pemilik anabul, saya sangat waspada kalau harus mengajak anjing-anjing saya jalan kaki. Bukannya saya takut mereka akan merugikan orang lain, tapi saya takut orang lainlah yang justru bisa menyakiti mereka.

Hidup sebagai seorang pawrent itu memang nggak semudah yang dibayangkan. Kami harus rutin memberikan suntikan vaksin kepada anabul serta harus siap sedia melindungi mereka ketika berada di luar rumah. Bayangkan, Indonesia nggak memiliki dog park atau dog-friendly public places kecuali di tempat-tempat eksklusif milik perumahan swasta atau di mal-mal high end saja.

Padahal saya ingin orang-orang tahu, terlepas dari pandangan mereka bahwa anjing itu hewan najis, penular rabies, dan bahan santapan, anjing juga memiliki sisi menggemaskan. Anjing pun dikenal setia dan hal ini sudah dibuktikan dari banyaknya film maupun cerita sejarah tentang aksi setia atau keberanian mereka dalam menyelamatkan tuannya. Sebagai makhluk yang diberkati oleh akal dan budi, seharusnya manusia mengusahakan perubahan agar dunia ini bisa menjadi tempat yang lebih baik bagi hewan-hewan di bumi ini.

Jadi, kira-kira kapan ya Indonesia menjadi negara yang ramah anjing? Sepuluh tahun lagi? Lima dekade lagi? Sewindu lagi? Satu abad lagi? Sepertinya saya dan kamu nggak ada yang bisa memberikan jawaban yang pasti…

Penulis: Eunike Dewanggasani W. S.
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Untuk Kamu yang Takut Bertamu karena Kami Pelihara Anjing.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version