Setelah saya baca artikel M.Farid Hermawan yang berjudul “Hindari Ngomong Kalimat Goblok ‘yok bisa yok’. Toxic Positivity, Bos!“. Mengingatkan kembali saya pada masa-masa kuliah dulu. Yang terlampau sering mengandalkan metode sistem kebut semalam (SKS) dalam menyelesaikan tugas kuliah. Terima kasih Mas Farid, berkat artikelnya saya bisa sedikit bernostalgia dengan ingatan masa-masa kuliah dulu.
Di satu sisi artikel Mas Farid membuat saya bernostalgia. Di lain sisi membuat saya kesal. Bagaimana tidak kesal, kok bisa-bisa nya Mas Farid dalam artikelnya ngomong kalimat “yok bisa yok” sebuah toxic positivity. Saya sebagai pengguna aktif kalimat “yok bisa yok” tidak setuju dengan pendapat Mas Farid tersebut.
Kalimat “yok bisa yok” menjadi sebuah toxic positivity itu karena Mas Farid gagal dalam manajemen waktu antara kuliah dan organisasinya, dan terpaksa menggunakan metode SKS dalam menyusun laporan UAS alat ukur psikologi, yang waktu pengumpulannya tinggal dua hari lagi. Di saat bersamaan, ada seorang kawan Mas Farid yang telah jauh-jauh hari mengerjakan laporan UAS mengatakan “yok bisa yok” kepada Mas Farid yang saat itu masih mengerjakan laporan UAS-nya. Bukannya membantu, kawan Mas Farid malah langsung pamit pulang karena sudah menyelesaikan laporannya.
Seharusnya pada posisi ini Mas Farid muhasabah diri. Bukan malah menganggap kalimat “yok bisa yok” sebuah toxic positivity. Wong, sudah tau ada deadline tugas laporan. Bukanya dicicil malah ngeles sibuk dengan organisasi jadi alasan. Lah, organisasi lagi jadi kambing hitamnya. Dulu waktu kuliah ada seorang kawan yang memberi saya wejangan: ” jangan sampai kuliah mengganggu organisasimu, dan jangan pula organisasi mengganggu kuliahmu”. Walaupun sebuah wejangan sederhana dengan hanya kata yang dibolak balik. Saya memegang wejangan ini. Alhasil, saat ada kawan memberi semangat dengan kalimat “yok bisa yok” pas lagi SKS, saya tidak menganggap itu kalimat toxic positivity.
Dalam artikel nya, Mas Farid mencoba menguji efektivitas kalimat “yok bisa yok” dengan memberi contoh yang membuat saya sampai tepuk jidat. Mas Farid membayangkan membuat acara dengan modal satu juta dengan konsep acara dapat mengundang band sekelas Dream Theater, dan ketua pelaksananya memberi motivasi “yok bisa yok”. Berharap hanya dengan kalimat “yok bisa yok” acara itu dapat terlaksana sesuai konsep. Sejujurnya, saya membaca ini tertawa terbahak-bahak. Heran aja, kok bisa Mas Farid menitikberatkan kalimat “yok bisa yok” sebagai faktor tunggal kesuksesan sebuah acara. Dipikirnya kalimat “yok bisa yok” sama kayak “kun fayakun“ pas Allah S.W.T pingin buat sesuatu kali ya.
Yang membuat saya tak habis pikir. Mas Farid juga dengan tegas mengatakan dia sedikit curiga kepada pencipta kalimat “yok bisa yok” adalah seorang penipu ulung yang bermodalkan bacot saja. Wah, setahu saya kalimat “yok bisa yok” di populer kan oleh penyanyi idola saya, Kunto Aji. Melalui akun twitter nya dengan membuat tweet dengan kalimat ” yok bisa yok”. Namun, secara pasti saya tidak mengetahui siapa yang menciptakan kalimat “yok bisa yok”. Tapi, secara langsung Mas Farid sudah men–judge pencipta kalimat ” yok bisa yok” sebagai penipu, tanpa memiliki bukti-bukti yang valid. Simpelnya, Mas Farid sudah suudzon.
Sebenarnya, Mas Farid dalam menilai kalimat “yok bisa yok” sangat subjektif. Hal inilah yang menimbulkan ekspektasi terlalu tinggi Mas Farid terhadap kalimat “yok bisa yok”. Oleh karena ekspektasi yang tidak sesuai dengan realita ini yang membuat Mas Farid begitu mangkel dengan kalimat “yok bisa yok”. Saat Mas Farid memerlukan uluran tangan yang dapat membantu nya dalam menyelesaikan laporannya. Tapi, yang Mas Farid dapat hanya kalimat “yok bisa yok” tanpa aksi nyata dari kawannya.
Sakit hati dengan realitas. Mas Farid meluapkan amarahnya kepada kalimat “yok bisa yok” dengan mengatakan kalimat “yok bisa yok” sebagai toxic positivity. Tidak puas dengan toxic positivity Mas Farid juga mengatakan kalimat “yok bisa yok” sebagai kalimat yang penuh kepalsuan dan hanya motivasi semu. Ini memperkuat keyakinan saya bahwa Mas Farid merupakan korban dari ekspektasi nya sendiri. Entah, apa yang membuat Mas Farid berpikir kalimat “yok bisa yok” harus diikuti dengan aksi nyata dari orang yang mengucapkannya.
Saya beri tau ya Mas Farid. Bahwa, tidak ada kewajiban dari orang yang mengucapkan kalimat “yok bisa yok” untuk melakukan aksi nyata dalam menyelesaikan masalah yang sedang menimpa orang yang dia beri semangat. Sebaiknya Mas Farid segera merubah pola pikir sebelum terjadi fallacy.
Kesimpulannya, bahwa kalimat “yok bisa yok” bukan toxic positivity seperti yang dikatakan Mas Farid. Dan tidak ada kewajiban orang yang mengucapkan kalimat “yok bisa yok” untuk melakukan aksi nyata. Saran saya, sebaiknya Mas Farid segera muhasabah diri dan memperbaiki manajemen waktu. Yok muhasabah diri yok Mas Farid.
BACA JUGA Hindari Ngomong Kalimat Goblok ‘Yok bisa yok’. Toxic Positivity, Bos!