Saya bersama dengan seluruh mahasiswa semester tujuh se-Indonesia sedang dipusingkan oleh hal yang sama. Apalagi kalau bukan KKN online. Rasa-rasanya kami sedang berada di posisi yang serba salah. Kegiatan tersebut tak lebih dari formalitas belaka. KKN di masa kayak gini bukanlah hal yang penting. Mau diadakan dengan cara online kok aneh, tapi kalau nekat diadakan secara offline juga berarti kami tidak peka terhadap situasi dan kondisi di masyarakat. Ya, meski pemerintah ngakunya negara kita masih baik-baik saja, sih.
Edan, po, baik-baik aja.
Seperti yang kita ketahui, KKN atau kuliah kerja nyata itu dimaksudkan sebagai sarana pengabdian dari mahasiswa ke masyarakat. Umumnya, tempat pengabdian yang dipilih adalah desa-desa yang jauh dari perkotaan. Sebelum pandemi melanda, mahasiswa dituntut untuk terjun langsung di masyarakat, ikut tinggal dan bersama-sama menyelesaikan permasalahan atau kebutuhan yang ada di masyarakat desa tersebut.
Lalu, jika kini KKN diadakan secara daring, kira-kira pengalaman apa yang bisa kita dapat? Nggak usah jauh-jauh ke pengalaman dulu, deh. Kalau tidak ada pengalaman, ya setidaknya hikmah apa yang bisa kita dapat? Hmmm, susah juga dibayangkan.
Tapi, ada dua hal tentang kegiatan ini yang perlu kita perhatikan tentang KKN online ini.
Pertama, sarana merepotkan warga desa. Saya sempat mewawancarai salah satu teman dari kampus lain yang sudah lebih dulu melangsungkan KKN ketimbang kampus saya. Saat saya bertanya tentang program kerja yang ia miliki untuk melaksanakan KKN online ini, ia berkata masih bingung mau bikin program kerja apa. Lha coba dipikir, warga desa jelas lebih memilih bertani di sawah lah daripada ngikutin online meeting yang mboseni itu.
Mendengar jawaban dari teman saya, saya jadi berpikir: benar juga, ya. Memaksakan berinteraksi melalui platform online ke warga desa yang minim pengetahuan akan teknologi komunikasi tentu akan merepotkan bagi mereka. Mereka juga punya prioritas yang lebih penting dari sekadar mengikuti online meeting. Kami sebagai mahasiswa yang kuliah melalui online meeting saja masih merasakan ketidakefektifan dan kesulitan dalam memahami mata kuliah. Apalagi KKN daring yang melibatkan warga desa. KKN bukannya jadi sarana pengabdian, malah hanya jadi sarana merepotkan.
Kedua, KKN daring ini diadakan semata hanya agar mahasiswa lulus mata kuliah. Selemah-lemahnya hikmah yang bisa kita dapat melalui KKN online yang paling masuk akal adalah setidaknya kita bisa lulus mata kuliah KKN. Entah pelaksanaannya bagaimana, entah efektif atau tidaknya, entah bermanfaat atau tidaknya, yang penting jalani saja supaya bisa lulus.
Toh, kampus saja enggan membuka mata terhadap kondisi saat ini. Kuliah, kan, memang hanya biar punya gelar. Kalau istilah orang Jawa, “Nggo wangun-wangun.” Yang berarti buat pantas-pantas aja.
Padahal untuk sekarang, urgensi KKN itu hampir tidak ada. Seharusnya kampus bisa memberikan alternatif lain. Bisa dalam bentuk tugas, bikin penelitian, atau apa pun yang bisa dikerjakan dari rumah. Saya pikir waktu beberapa minggu yang biasanya dipergunakan untuk KKN bisa untuk mengerjakan penelitian atau tugas pengganti.
Menurut kesaksian saya yang baru saja diterjunkan untuk KKN, KKN ini hanya berfungsi untuk memenuhi ego kampus. Korbannya ya siapa lagi kalau bukan warga desa dan mahasiswa? Yang seharusnya kami mahasiswa mendapat skill bermasyarakat dari kehidupan warga desa, justru hanya bisa memberi materi-materi basa-basi untuk para warga. Pun sedikit kemungkinan bagi warga dapat memberi timbal balik untuk kami yang seharusnya mendapat bekal mengenai kehidupan di masyarakat. Lha wong mahasiswanya saja tidak terjun langsung ke masyarakat.
Kampus seakan terlalu memaksakan kehendaknya sendiri. Apalagi penerjunan KKN kami dilaksanakan pada saat PPKM darurat. Bagi kami yang memilih KKN online, setidaknya masih harus mondar-mandir mencari lokasi yang mau menerima. Apalagi bagi yang memilih KKN offline. Meskipun KKN offline hanya bisa dilaksanakan di domisili masing-masing, tetap saja Covid-19 mengintai. Apa, sih, artinya lulus kuliah dan memiliki gelar jika harus membahayakan diri sendiri dan sekitar?
Pada akhirnya, mungkin banyak dari kita yang akan bertanya-tanya, lalu apa dong solusi untuk KKN di masa pandemi ini? Ya nggak tahu lah, kok tanya saya. Mikirin solusi kan memang bukan tugas saya. Kalau pemangku kebijakan mau minta saya untuk ikut memberi solusi, ya sini gajinya bagi dua sama saya!
BACA JUGA KKN Daring yang Katanya Sebatas Fiksi dan Tidak Berguna untuk Mahasiswa dan tulisan Yafi’ Alfita lainnya.