Kalimat Socrates tentang Xanthippe yang berbunyi, “Menikahlah. Jika mendapat istri yang baik, Anda akan menjadi bahagia. Jika mendapat istri yang buruk—seperti Xanthippe, kau akan menjadi filsuf,” saya pikir bisa diplesetkan begini: jika ingin bahagia, jadilah guru PNS. Jika kau ingin jadi filsuf, jadilah guru honorer.
Itu benar adanya. Jika Anda, seorang yang akan dan ingin menjadi guru, baiknya jadi guru PNS jika ingin bahagia. Gaji pokok yang terjamin, jaminan pensiun, peluang mendapat beasiswa studi, mendapat tunjangan, dan segala persoalan hidup yang dapat dijawab sudah barang tentu menjadikan guru PNS bahagia dunia akhirat.
Tapi persoalan lain ketika menjadi seorang guru honorer yang pada kenyataannya berbanding terbalik dengan hal-hal yang diberikan pada guru PNS. Gaji pokok yang minim dan sudah barang tentu tidak terjamin, tidak adanya jaminan pensiun, tidak ada peluang beasiswa atau apa pun, tidak mendapat tunjangan, dan segala persoalan hidup yang tidak dapat dijawab bikin guru honorer tak ada hentinya memikirkan kehidupan.
Lha gimana nggak mikirin kehidupan. Dengan imbalan yang jelas tak setimpal, mereka tetap mengerjakan pekerjaan sepenuh hati. Mereka jelas akan menemui persimpangan dalam hidup, dan mempertanyakan keputusan mereka kenapa mereka tetap melakukan ini, meski, ya, nggak sepadan imbalannya.
Saya yakin, Socrates tidak akan kontra terhadap pemikiran saya, malah Socrates akan amat senang jika mendengar pemikiran saya ini. Karena dalam usaha memulai kreativitas, langkah yang ditempuh seseorang tentu awalnya adalah meniru, dengan begitu setelah ditiru dilakukan modifikasi. Bagi saya, menafsirkan wejangan Socrates terhadap hal lain yang lebih nyata adalah suatu hal yang dapat menjawab persoalan hidup ini, terlebih pilihan hidup seorang guru: ingin menjadi bahagia, atau ingin menjadi seorang filsuf.
Jujur saja, saya sebenarnya seorang guru honorer di sekolah swasta, tapi saya menganggap bahwa menjadi guru honorer bukan suatu nasib, melainkan tadi sebagai suatu pilihan jalan hidup. Sungguh saya ingin menjadi seorang filsuf dengan jalan menjadi seorang guru honorer.
Untuk menjadi seorang filsuf dengan jalan menjadi seorang guru honorer adalah suatu hal yang sangat-sangat mungkin, bukan suatu hal yang mustahil. Tapi sungguh ini adalah suatu pilihan yang cukup sulit sebenarnya, terlebih sifat alami manusia yang tamak, yang memandang dunia hanya dari sisi materi saja. Sudah barang tentu seorang guru kebanyakan ingin menjadi guru PNS—yang bahagia—dengan segala jaminan kehidupan. Ngapain juga jadi filsuf, emang kenyang?
Bagaimanapun keberadaan guru honorer sebagai seorang filsuf adalah baik. Sebab mereka mempraktikkan gerak pemikiran yang lebih ontologis, memberi warna tersendiri bagi hiruk-pikuk kehidupan seorang guru.
Dengan begitu, saya berkesimpulan bahwa “Filsuf Honorer” itu sebaiknya menjadi pilihan hidup seorang guru di negara yang kita amini bersama menjadi negara yang maju. Sebab Filsuf Honorer selalu melakukan proses pemikiran yang ontologis, menyampingkan hal-hal berbau materil, meminimalisir hakekat manusia yang tamak, pongah, zalim, angkuh kufur dan sebagainya.
Sudah barang tentu seorang guru honorer yang kita saksikan dewasa ini banyak berpikir tentang kehidupan, yang mungkin suatu hari nanti akan menjadi seorang filsuf hebat yang melampaui gagasan filsuf-filsuf besar. Karena bagaimanapun guru honorer adalah tonggak perubahan peradaban bangsa.
Tapi kalau bisa sih, ya kasih kami gaji yang layak. Masak ya segini-segini terus.
Penulis: Aditya Rachman
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Guru Honorer: Gaji Tak Seberapa, Pekerjaan Berlipat Ganda