Di era globalisasi ini, menjalin relasi dengan orang asing atau ekspatriat sebetulnya bukan hal yang aneh. Apalagi saat ini hubungan kerja sama di antara kawasan regional, sebut saja negara-negara ASEAN yang sepakat untuk menjalankan relasi bisnis dengan konsep MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), sangat menopang sekali pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Dan salah satu negara tersebut adalah Indonesia. Bicara masalah ekspatriat, pekerjaan saya tidak bisa menghindari untuk bekerja sama dengan mereka. Apalagi mereka membutuhkan profesional yang paham regulasi akuntansi dan perpajakan di Indonesia.
Terus terang saja, perspektif saya sedikit terbuka akibat adanya globalisasi partnership. Belajar hal baru dan memahami karakter baru, sudah seperti kebiasaan saya bila mendapatkan klien ekspatriat. Berhubung saya bukan karyawan mereka, tentu perlakuan yang saya dapatkan sedikit berbeda. Paling tidak, mereka menganggap saya sebagai seorang yang ahli, terutama di bidang akuntansi dan perpajakan. Namun, di balik hubungan internasional tersebut, ada beberapa yang hal tentu harus kita pahami sebagai lawan komunikasi.
#1 Budaya kerja
Poin ini cukup krusial dan harus menjadi concern bagi kita sebagai pribumi. Pasalnya, suka atau tidak suka, selama saya berhubungan dengan ekspat, mereka memiliki budaya kerja yang sangat berbeda dengan kita. Sialnya, budaya kerja mereka lebih ngeri daripada budaya kerja kita. Bukan saya membangga-banggakan mereka, tapi paling tidak, bila ada nilai positif, kenapa kita tidak coba ambil dan implementasikan?
Misalnya, saya sering sekali mendapatkan klien orang Korea. Ya, Korea asli bukan yang abangan. Ternyata, orang Korea itu memiliki jam kerja dengan displin yang sangat tinggi dan terjadwal. Mereka tidak akan mau diganggu bila sudah memiliki jadwal yang sudah diagendakan jauh-jauh hari. Berangkat kantor jam 8, istirahat jam 12, pulang jam 6 sore sudah seperti kebiasaan yang tidak boleh dilewatkan. Bahkan mereka tidak berkebaratan jika harus lembur, selama lemburnya tersebut harus dikompensasi dengan bonus atau uang lembur yang sepadan.
Saya pernah ada pengalaman unik dengan klien asal negara Gingseng tersebut. Di Korea, seorang pimpinan perusahaan memiliki keistimewaan jam istirahat lebih lama 1 jam dibandingkan karyawan biasa. Misalnya, bila jam makan siang selesai jam 1, si pimpinan perusahaan boleh selesai istirahat jam 2. Biasanya, pada jam makan siang tersebut, mereka manfaatkan untuk tidur siang. Ya, Anda tidak salah baca, TIDUR SIANG.
Jadi, menurut prinsip mereka, bekerja di atas jam 12 adalah jam-jam rawan untuk berkonsentrasi. Pasalnya, kemampuan kerja otak akan menurun. Nah, istirahat tidur minimal 30 menit adalah cara untuk nge-charge kemampuan otak. Paling tidak, ia bisa bekerja optimal sampai jam 7 malam.
Hal itu nyata-nyata saya rasakan. Sebelumnya, saya memang sudah ada janji untuk meeting jam 1. Sialnya, dia tidak memberitahu kalau istirahatnya selesai jam 2. Begitu saya sampai dan ketemu dengan sekretarisnya, diinfokan bahwa si orang Korea ini sedang tidur dan dia pasti akan bangun jam 13.45. Jadi, saya diminta menunggu seseorang yang sedang tidur dan nggak boleh dibangunkan, meskipun kami sudah janjian sebelumnya.
Kenapa tidak dibangunkan saja, sih ? Ya karena mereka punya jadwal yang teratur. Menurut mereka, keteraturan akan memudahkan kerja dan tidak terlalu membuang banyak tenaga. Bila dibangunkan, tentu saja mereka akan marah, bahkan tidak segan untuk me-reschedule jadwal.
#2 Bahasa
Ini yang selalu ditakutkan orang Indonesia pada dasarnya: takut untuk berbicara bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Jujur saja, saya adalah orang yang tidak pandai-pandai amat grammar atau peraih Toefl yang tinggi. Namun, untuk keberanian bicara bahasa Inggris, terpaksa saya terapkan ketika betul-betul aktif di dunia profesional.
Pada dasarnya, orang ekspatriat tidak pernah mempermasalahkan bahasa Inggris lawan bicaranya. Selama prinsipnya adalah mudah dimengerti dengan pengucapan yang jelas, mereka akan mengerti, kok. Di Indonesia, sudah menjadi fakta bahwa mayoritas ekspat didominasi oleh orang Asia Timur, sebut saja seperti Korea, China, Hongkong, Taipei, dan negara Asia Timur lainnya.
Lantas, bagaimana media bahasanya? Tentu saja bahasa Inggris dengan aksen ke China-chinaan. Maknanya apa? Bayangkan, mereka bisa saja memaksa untuk berbahasa China kepada orang lokal dengan media translator, tapi tidak mereka pergunakan. Pasalnya, mereka sadar, untuk bisa berkancah di level internasional terutama dalam bidang manajerial, mereka harus memiliki standar kelayakan yang tinggi, selain kapabilitas dalam bernegosiasi dan komunikasi.
Seperti yang pembaca tahu, bahasa internasional yang diakui adalah bahasa Inggris. Dengan menguasai bahasa tersebut, tidak perlu menjadi guru bahasa Inggris terlebih dahulu. Kuncinya adalah belajar dan mencoba. Tahu, nggak? Mereka pada dasarnya juga tidak jago-jago amat, kok.
Saya sudah merasakan itu dan mereka nggak mempermasalahkan banget, kok. Mereka justru sangat antusias dengan pembicaraan saya meskipun dengan Inggris yang RIP English banget, lah. Intinya adalah jangan takut salah dan mencoba, jujur saja. Bahkan tidak sedikit klien yang menawari saya untuk main ke negaranya setelah pandemi.
#3 Pemahaman materi
Terakhir dan nggak kalah penting adalah pemahaman materi yang matang. Perlu pembaca ketahui, bila orang ekspatriat memakai jasa atau berbisnis dengan orang Indonesia, secara tidak langsung mereka mengakui bahwa kita memiliki kompetensi yang baik. Pasalnya, umumnya mereka berasal dari negara yang juga memiliki etos kerja tinggi. Tentu mereka tidak akan mau buang-buang waktu berbisnis dengan orang yang nggak pahaman.
Memahami suatu materi itu sangat penting karena dengan penilaian kapabilitas, jaringan kita akan meluas dan diakui. Misal saya, seorang konsultan pajak, jasanya dipakai oleh ekspat dari Hongkong untuk mengurusi perusahaannya di Indonesia. Tentu saja saya harus memahami persoalan dan permasalahan perpajakan di Indonesia secara matang. Harapannya, saya dapat menjelaskan kepada mereka secara detail, mampu menyelesaikan dan memberikan solusi yang tepat untuk bisnis mereka.
Satu hal yang saya pelajari dari ekspat, mereka kalau berbisnis sangat komit sekali. Kuncinya, kita punya kapabilitas atau sesuatu yang tidak mereka kuasai, jika diberikan proyek tidak pernah mengecewakan, apalagi kalau menguntungkan. Duh, bonus nggak akan ke mana, kok.
Namun, kalau cuma modal bahasa Inggris cap cip cup tanpa memberikan bukti, sih, sudah pasti ditendang.
BACA JUGA Salah Kaprah Definisi Penghasilan dalam Perpajakan dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya.