Jepang adalah salah satu negara impian saya. Ia relatif aman, tertib, dan disiplin. Cara mendapatkan uang juga mudah karena pekerjaan banyak dan gaji cukup tinggi. Fasilitas lengkap dan kesejahteraan warga negaranya terjamin.
Saya pernah tinggal di sebuah kota di Jepang selama tiga tahun lebih. Mungkin ekspektasi saya yang ketinggian, tapi saya juga mengalami gegar budaya yang cukup bikin melongo. Saya pernah down juga karena hal ini. Enam hal di antaranya adalah sebagai berikut.
#1 Suka basa basi
Orang Jepang suka basa-basi. Suka memuji baik-baik meski kadang kenyataannya tak demikian. Jika mereka memuji kalian, “Wah pintar bahasa Jepangnya, ya.” Kalian jangan senang dulu. Bisa jadi itu sebuah basa-basi semata.
Saya dulu pernah disapa, “Ohayou gozaimasu (selamat pagi),” oleh orang Jepang. Lalu saya jawab, “ohayougozaimasu” saja sudah langsung dipuji, “Wah bahasa Jepangnya jago, ya.” Wait, what?! Cuma bilang begitu dibilang jago? Apanya yang jago coba?
Selain basa-basi, orang Jepang itu pintar menutupi hati dan pikiran sebenarnya. Di luarnya manis, belum tentu di dalamnya pun sama. Biasanya kalau malas ribet, saya mending menghindari untuk bertanya dan berbasa-basi.
Makanya, untuk mengetahui apakah itu basa basi atau sungguh-sungguh, kita harus pandai menilai dan mengukur tingkat keakraban hubungan.
#2 Cowok cukur alis itu biasa
Kalau di Indonesia, cowok cukur alis sampai melengkung itu mungkin aneh. Ke salon dan perawatan mungkin sekarang banyak, sih, ya. Tapi, kalau di Jepang potong rambut sekalian alisnya dirapikan itu sudah biasa. Bukan karena cowok itu melambai, memang lumrahnya begitu.
Selain alis yang dirapikan, rambut-rambut di wajah seperti kumis, jenggot, cambang itu juga harus dibabat habis sehabis-habisnya. Makanya, kebanyakan laki-laki Jepang yang pekerja kantoran itu klimis-klimis dan alisnya cantik. Jangan kaget, ya.
#3 Toilet
Di Jepang ada toilet jongkok dan toilet duduk. Sebenarnya, ini urusan gampang-gampang susah, sih, ya. Namun, sebagai makhluk yang hidup di Indonesia selama hampir 30 puluh tahun dan tahunya toilet basah (selalu ada air di toilet dan nggak apa-apa lantai toilet itu basah), awalnya sih cukup tersiksa. Di toilet umum Jepang rata-rata toiletnya kering dan bersihinnya pakai tisu toilet. Sekalinya lantai toilet basah, pikirannya sudah macam-macam, “Ini air apa, ya?”
Terus ngakalinnya bagaimana?
Biasanya kalau nggak bawa tisu basah, ya bawa bekas botol kemasan air minum kosong. Sebelum masuk toilet, isi dulu air di wastafel. Ribet.
Namun, sekarang banyak, sih, toilet umum yang sudah pakai toilet duduk berteknologi canggih. Ada semprotan airnya dari bawah, bisa diatur seberapa banyak airnya dan mau milih hangat atau biasa. Keren, kan?
#4 Kriminalitas tetap ada
Sebenarnya saya hampir selalu merasa aman tinggal di Jepang. Pulang kerja paruh waktu jam 10 malam saja, aman tanpa diganggu siapa pun. Orang mabuk berkeliaran juga hampir tak ada. Katanya, dompet jatuh dan hilang pun bisa balik sendiri. Namun begitu, saya pernah apes mengalami kejadian kehilangan uang dan sayuran. Kok, bisa?
Pernah suatu hari saat saya menarik uang di ATM, tetapi uangnya tidak saya ambil dari mesin ATM. Saya lupa karena di ATM itu uangnya keluar setelah kartu dan struknya keluar. Padahal di ATM lain, uangnya keluar duluan baru struk dan kartunya. Jadi, begitu kartu ATM-nya keluar, ya, saya masukin dompet, lalu pergi. Uangnya lupa. Apes.
Keesokan harinya, saya tanya ke bank karena kalau tidak diambil, uang itu akan otomatis ditelan kembali mesin ATM-nya. Ternyata, uang itu tidak masuk ke mesin ATM lagi dan itu berarti memang ada seseorang yang mengambilnya. Saya lapor ke Pos Polisi terdekat dan mereka bilang kemungkinan sulit untuk menyelidiki CCTV-nya. Bukan kriminalitas, sih, ya, mungkin, cuma keteledoran yang dimanfaatkan orang lain. Tahu nggak uangnya berapa? 10.000 yen alias 1,3 jutaan rupiah. Nangis.
Yang kedua, kehilangan sayur. Biasanya aman kalau kresek belanjaan ditaruh keranjang sepeda di parkiran dan saya hampir nggak pernah kehilangan. Makanya santai saja belanjaan nggak pernah saya bawa masuk ke toko atau dititipin (nggak ada penitipan, ding). Tapi hari itu, kresek belanjaan saya hilang. Apes. Saya tanya ke karyawan toko untuk memeriksa CCTV, eh ternyata CCTV-nya cuma aksesoris. What?! Sedih saya. Ada lah sekitar 500 ribuan rupiah kalau ditotal belanja mingguan kala itu.
Kejadian berikutnya, payung yang diselipkan di sepeda saat diparkir di parkiran umum hilang. Ini juga cuma sekali, sih, dan sebelumnya belum pernah juga.
Ini dasarnya apes atau memang kurang sedekah, ya?
#5 Urusan sampah ribetnya bukan main
Memang benar penanganan sampah di Jepang itu bagus sekali. Hampir tidak pernah ditemukan sampah berserakan di tempat umum. Akan tetapi, di balik itu, urusan sampah di sana memang beneran sangat-ribet-sekali.
Saya dulu pernah ditegur ibu kontrakan dan diprotes tetangga karena sebagai orang baru saya dianggap tidak bisa memilah sampah. Ibu tetangga mendapati kresek sampah saya ada plastiknya padahal jadwal buang sampah hari itu adalah sampah dapur. Bisa jadi waktu itu gara-gara sampah saya diusir dari kontrakan.
Sebenarnya, saat kita registrasi ke kantor wali kota dan mendapat KITAS di Jepang, kita diwajibkan untuk mencari tahu soal persampahan ini, tentang bagaimana memilahnya, cara membuangnya, tempat, dan jadwal pembuangan sampahnya. Gara-gara sampah juga, kita bisa dianggap sebagai orang yang nggak bisa disiplin dan nggak berbudaye. Terlebih sebagai orang asing, bisa jadi kita akan merasakan diskriminasi.
Sewaktu tinggal di asrama kampus, pihak kampus juga setiap hari memantau sampah yang dibuang mahasiswa asingnya. Satu aja salah buang sampah bisa jadi sampah satu tempat itu nggak diambil oleh truk sampah dan harus menunggu jadwal berikutnya. Gila, kan?
Saya juga pernah membuang sampah berupa kulkas bekas dan ribetnya ngadubillah sekali. Harus mendaftar ini itu dan merogoh kocek sampai sekitar 1 jutaan rupiah. Padahal kulkas bekas itu masih layak pakai juga. Cuma karena nggak ada yang mau dilungsuri, ya terpaksa harus dibuang.
#6 Bahasa Jepang itu penting
Bahasa Jepang itu nggak cuma kawaii (cute, manis), yamete (hentikan!), hidoi (kejam, tega), chotto matte (tunggu sebentar), dll yang sering muncul di anime. Tulisannya susah dan ribetnya itu mirip dengan bahasa Jawa. Ada tingkat ngoko (biasa) dan krama (sopan). Jadi, ya harus berhati-hati kalau ingin berbicara dengan orang Jepang, salah-salah mereka malah ogah ma kita.
Kalau bisa berbahasa Jepang, kita bisa melamar kerja paruh waktu. Rata-rata orang Jepang menghargai orang asing yang belajar bahasa Jepang. Kalau tidak bisa, ya susah juga bertahan hidup di Jepang, kecuali dapat beasiswa. Hehehe.
Perlu diingat juga kalau ritme hidup di Jepang itu sangat cepat dan dinamis. Tingkat kedisiplinan mereka sangat tinggi. Kalau kita tidak bisa menyesuaikan, bisa jadi kita malah stres sendiri. Akan tetapi, setiap tahun kita bisa melihat sakura mekar dan dinginnya salju. Bisa naik shinkansen dan bertemu Doraemon. Pengin, yaaa?
BACA JUGA Kehidupan SD di Jepang Versi Nobita Itu Bukan Mitos, 6 Hal Ini Buktinya dan tulisan Primasari N Dewi lainnya.