Pada Ramadan hari ke lima belas lalu (Jumat/08/5/2020), sempat ramai di media sosial isu tentang bakal munculnya suara teriakan dari langit yang dinarasikan oleh beberapa penceramah. Teriakan yang konon merupakan suara dari Dajjal. Topik mengenai hari kiamat pun akhirnya naik lagi setelah sempat bikin geger jagad raya pada tahun 2012 silam. Lha karena saya—dan sebagian Anda—adalah alumni kiamat 2012, maka kalau ada berita-berita kayak gini pliiisss nggak usah ikut-ikutan kalap. Kita ini sudah termasuk golongan orang-orang yang ditempa oleh peradaban heuheuheu.
Beberapa penceramah menyandarkan spekulasinya pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Syasyi, al-Thabari, dan Ahmad al-Syaibani yang menyebut; bahwa jika permulaan bulan Ramadan dan pertengahannya (hari ke-15) jatuh pada hari Jumat, maka akan terdengar suara teriakan dari langit yang menimbulkan huru-hara di mana-mana (saya ringkas demikian). Ya, meski kemudian kita tahu, bahwa hadis tersebut—menurut para kritikus hadis—sudah sangat bermasalah sejak dari periwayat (yang nggak kredibel) sampai dengan matan (isinya).
Tapi saya nggak sedang membahas tentang hadis itu secara lebih detail, saya malah tergelitik buat ngobrolin seputar Dajjal; sosok yang belakangan pamornya bisa nyaingin Bill Gates. Nggak belakangan, nding, dari dulu emang sudah jadi komoditas yang paling laku dijual oleh beberapa penceramah.
Jumat lalu, ketika narasi tentang ‘teriakan dari langit’ sedang naik-naiknya, saya tanpa sengaja nguping obrolan anak-anak tetangga yang nongkrong di pekarangan rumah saya. “Dajjal itu cuma nggak bisa masuk dua kota, loh, Makkah dan Madinah,” kata salah seorang dari mereka. “Wah, kalau gitu, gimana dong dengan nasib kita yang ada di sini?” timpal yang lain. Sayang sekali sore itu saya ada janji ngabuburit sama temen, alhasil saya nggak bisa iseng join sama mereka buat mikirin nasib Indonesia kalau ntar kedatangan Dajjal. Lagian, ngapain juga mikirin Indonesia, wong Indonesia juga belum tentu mikirin kita.
Tapi saya akhirnya terpancing juga buat merenungkan soal itu. Karena saat saya masih seumuran mereka, saya juga sempat terusik dengan perkataan guru agama yang neybut; hanya dua kota suci saja yang nggak bisa ditembus Dajjal. Sementara nasib kita yang di kota-kota lain gimana, dong?
Dulu pikiran polos saya sempat berpikir, kalau memang begitu adanya, ya sudah saya mau rajin-rajin menabung biar nanti pas tua bisa ancang-ancang; berangkat ke Makkah atau Madinah, terus menetap di sana sampai kiamat tiba. Biar saya dan keluarga selamat dari teror Dajjal.
Makin dewasa, bukannya makin mantep dengan niat nabung buat ke sana, pikiran saya tersebut akhirnya malah saya bantah sendiri. Masalahnya bener-bener kompleks. Pertama, kenyataannya nggak setiap orang bisa berangkat ke Makkah-Madinah. Kedua, kita juga nggak tahu persis kapan kiamat datang. Iya kalau pas kebetulan kita sudah mendarat di Makkah, hla kalau misalnya pesawat kita baru take off terus tiba-tiba langit runtuh (kiamat) gimana?
Ketiga, apa pertimbangan Tuhan melakukan penjagaan hanya di dua kota tersebut? Apakah hanya karena dua kota ini adalah temapt lahir, berjuang, dan wafatnya Nabi? Apakah hanya karena di sana ada Kakbah dan Masjid Nabawi? Kalau gitu, agak nggak adil, dong. Karena secara nggak langsung Tuhan seolah manafikan perbuatan manusia di dalamnya. Gampangnya gini, nggak semua orang Makkah-Madinah ini saleh dan taat. Mungkin ada juga yang ahli Maksiat. Kemudian, nggak menutup kemungkinan, loh, kalau orang-orang di luar dua kota tersebut justru adalah orang dengan kadar keimanan pilih tanding.
Kalau begitu, berarti enak dong para pelaku kejahatan di sana. Walaupun maksiat, tapi yang penting aman dari Dajjal. Apalagi ada penceramah yang bilang, siapa pun yang bertemu dengan Dajjal di akhir zaman, mereka adalah seburuk-buruk manusia. Terus, gimana juga dengan nasib orang yang seumur hidup taat betul sama Tuhan, tapi sayangnya kok lahir di Ngaglik, misalnya. Hla yo remooookkk kalau gini. Nah, ini ruwet jadinya, bisa-bisa saya murtad kalau mikir gini terus.
Suatu kali pas baca Fihi Ma Fihi-nya Rumi, saya nemu sedikit pencerahan; ibadah itu jangan dilihat dari gerak fisiknya saja, loh, tapi juga isinya (ruhaninya). Saya akhirnya menerka-nerka, apa jangan-jangan hadis tentang dijaganya Makkah-Madinah ini harus didekati dengan ruhani, ya? Kalau secara jasadi jadinya kok saya malah meragukan keadilan Tuhan, ini bahaya bagi akidah saya, heuheuheu.
Dan bodohnya saya, saya baru ingat kalau dulu banget pas awal-awal kuliah, saya sudah pernah dapat keterangan soal ini dari Cak Nun. Hampura sadayana, saya lupaaa, serius. Gegara kebanyakan mikir doi skripsi nih pasti.
Sekilas ingatan saya hanya menangkap fragmen ketika Cak Nun bilang; Dajjal nggak bakal bisa masuk ke hati orang-orang yang di dalamnya ada Makkah dan Madinah. Nggak harus di Makkah-Madinah (secara fisik), yang penting hidupkan dua kota tersebut dalam hati kita.
Caranya? Begini, kita coba urai pelan-pelan. Makkah itu nama lainnya adalah tanah haram. Haram di sini bisa diartikan mulia, bisa juga diartikan tempat yang di dalamnya diharamkan untuk berbuat kejahatan, kemaksiatan, dusta, tindakan merusak, menyakiti, membunuh, dan laku-laku merugikan lainnya. Kalau kita pengin aman dari Dajjal, maka hidupkan Makkah (tanah haram) di hati kita. Yakni, dengan mengharamkan diri kita dari nyakitin orang lain, membunuh, berbuat jahat, dusta, merusak, pokoknya jangan ngerugiin orang lain dan sekitar, deh. Dengan begitu (((InsyaAllah))) diri kita bakal dijaga dari fitnah Dajjal.
Berikutnya, Madinah itu kan nama lainnya al-munawwarah (bercahaya). Ya sudah, ketemu tuh jawabannya. Kalau pengin terhindar dari Dajjal, nyalakan cahaya dalam hati kita. Nyalakan cahaya kebaikan dengan suka menolong, saling menghormati, guyub rukun, nggak pendendam, pendengki, penghasut dan pengadu domba, nggak usah iri dan senantiasa bersyukur, pokoknya penyakit-penyakit hati kayak gini dibuang ke laut aja. (((InsyaAllah))) juga tipu muslihat Dajjal nggak bakal bisa nembus hati kita.
Jadi agak terang ya, mylov? Nggak harus terbang ke Makkah-Madinah buat menghindari Dajjal. Apalagi sampai mempertanyakan keadilan Tuhan. Coba kita bawa dan hidupkan Makkah-Madinah dalam diri kita masing-masing saja sudah cukup. Masalahnya, anak-anak yang nongkrong di pekarangan rumah saya paham nggak ya kalau dijelasin kayak gini?
BACA JUGA Tarawih Sepanjang Waktu, Puasa Sepanjang Usia dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.