Jika kamu orang beragama, bagaimana rasanya dipaksa meninggalkan agamamu untuk memeluk agama lain? Rasanya pasti mengerikan, dan kita pastinya menolak. Sejarah mencatat, beberapa kali kejadian yang isinya memaksakan suatu kaum/kelompok untuk berpindah agama secara paksa.
Mungkin yang paling terkenal adalah reconquista, kejadian yang disebut sebagai bagian dari sejarah panjang Perang Salib, namun terjadi di tanah Andalusia yang hari ini kita kenal sebagai negara Spanyol dan Portugal. Kurang lebih, reconquista ini adalah penaklukan kembali Semenanjung Iberia yang sudah dikuasai kaum Moor yang beragama Islam sejak kekhalifahan Umayyah berkuasa selama kurang lebih 800 tahun, yang mana penaklukan ini berhasil saat Aragon, Kastila, dan Portugal bersatu mengalahkan Keemiran Granada.
Setelah Semenanjung Iberia ditaklukan kembali oleh monarki yang menganut Kristen Katolik, kebijakan untuk memeluk agama Katolik pun dilancarkan, dan barangsiapa yang menolak akan disiksa atau diusir dari wilayah Aragon dan Kastila. Banyak kaum Muslim dan Yahudi yang pergi dari wilayah tersebut, tapi ada juga yang bertahan berpura-pura menjadi Katolik tapi tetap beriman Islam.
Namun, kejadian serupa juga pernah dialami oleh kaum Kristen jauh dari wilayah asalnya, yakni di Jepang. Franciscus Xaverius, seorang jesuit yang memang berkelana menjadi misionaris ke wilayah Asia, adalah orang yang berjasa dalam menyebarkan Kristen ke Jepang. Sebelum ke Jepang, Franciscus Xaverius pernah datang ke Nusantara, tepatnya ke Ambon.
Penyebaran agama Kristen yang disebarkan oleh Fransiscus Xaverius dimulai pada 1549 di wilayah Nagasaki, dan ternyata cukup berhasil sampai sekitar 500 ribu orang Jepang memeluk agama Kristen. Apalagi, Franciscus Xaverius dan para jesuit lainnya dilindungi oleh daimyo ternama saat itu, Nobunaga Oda. Nobunaga yang dikenal tertarik dengan peradaban Barat—dalam hal ini Portugal—menganggap agama Kristen yang disebarkan bukan ancaman bagi dirinya yang sedang melakukan unifikasi Jepang.
Namun, setelah kematian Oda Nobunaga pada 1582 yang dikhianati oleh bawahannya, yakni Akechi Mitsuhide, agama Kristen dan para pemeluknya tidak lagi memiliki pelindung yang kuat. Awalnya, Toyotomi Hideyoshi yang berkuasa setelah Oda Nobunaga tidak merasa terancam dengan adanya agama Kristen, bahkan ia sempat memberi sebidang tanah untuk seorang jesuit bernama Gaspar Coelho. Namun, lama-lama Hideyoshi curiga kepada jesuit sebagai mata-mata Portugal yang hendak menguasai Jepang.
Pada 1598, Hideyoshi meninggal karena penyakit yang dia derita cukup lama. Pemeluk Kristen sempat bernafas lega, apalagi tahun berikutnya ada 40 ribu orang yang dibaptis dan mereka dilindungi oleh dua orang daimyo. Yukinaga Konishi yang dikenal sebagai daimyo pemeluk agama Kristen, dan Mitsunari Ishida yang seorang bawahan dari Toyotomi Hideyoshi. Namun, hal itu tidak bertahan lama, sampai pada 1600 perang puncak dari masa Sengoku Jidai atau masa perang saudara Jepang.
Sengoku Jidai melibatkan Mitsunari Ishida dan Yukinaga Konishi berada di pihak Barat melawan Tokugawa Ieyasu di pihak Timur. Mitsunari kalah, dan Tokugawa Ieyasu menjadi shogun. Yukinaga Konishi yang seorang Kristen menolak untuk seppuku yang membuat ia dan Mitsunari dihukum pancung oleh Ieyasu. Lalu sepuluh tahun kemudian Kristen dilarang total di Jepang dan para jesuit diusir dari Jepang. Jika menolak, mereka diancam akan dibunuh.
Kebijakan anti-kekristenan terus meluas dan dipertegas, banyak martir yang dihukum salib atau dimasukkan ke dalam lubang berisi kotoran. Sebelumnya mereka disiksa terlebih dahulu. Bagaimana penguasa Edo (nama zaman saat Tokugawa berkuasa menjadi Shogun di Jepang) mengetahui siapa saja yang beragama Kristen? Penguasa Edo menggunakan piringan dengan ukiran Yesus dan Bunda Maria. Semua penduduk disuruh menginjak kakinya ke piringan tersebut, dan yang menolak akan dianggap pemeluk Kristen lalu disiksa. Pilihannya hanya dua, murtad atau mati.
Para jesuit tidak menyerah. Banyak jesuit yang secara diam-diam kembali ke Jepang untuk tetap menyebarkan agama Kristen kembali. Namun, banyak juga yang akhirnya menjadi martir dan disiksa oleh mati. Beberapa nama seperti Saint Cosmas Takeya, Saint Francisco, Santo Francis Kichi, Saint Gabriel de Duisco adalah martir yang gugur. Total 26 martir disalib pada 1597. Kini tempat penyaliban mereka dijadikan museum di Nagasaki.
Sampai akhir masa Tokugawa yang menerapkan sistem politik isolasi (sakoku), pemeluk Kristen menjalankan keimanan secara sembunyi-sembunyi. Mereka menyamarkan diri dengan menggabungkan ajaran Budha, Kristen, dan Shinto. Patung Bunda Maria disamarkan menjadi Dewi Kwan Im, Yesus disamarkan mirip dengan Budha.
Altar mereka juga disamarkan seperti tempat ibadah Budha atau Shinto. Dua abad lebih, mereka beribadah di kuil Shinto atau Budha, tapi iman mereka Kristen. Mereka disebut dengan nama Kakure Kirishitan, yang dalam bahasa Jepang artinya Kristen yang bersembunyi. Ketika Restorasi Meiji berakhir pada, akhirnya umat Kristen berani muncul dari persembunyian. Jumlah mereka berkurang drastis, dari 500 ribu orang menjadi 30 ribu orang.
Kisah Kakure Kirishitan ini bisa dibaca lewat novel karya Shūsaku Endō yang berjudul Silence. Novel yang telah difilmkan dua kali pada 1971 dan 2016 ini menceritakan kisah dua orang Jesuit yang berdakwah secara diam-diam ke Jepang. Film ini bisa jadi gambaran visual bagaimana lika-liku penyebaran Kristen pada masa itu di Jepang.
BACA JUGA Percayalah, Putus Cinta Nggak Ada Apa-apanya Dibanding Pindah Rumah dan artikel Nasrulloh Alif Suherman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.