Kudus, adalah salah satu Kabupaten di jalur pantura yang punya julukan “Kota Kretek”. Alasan penamaan itu punya banyak versi, tapi secara umum, daerah ini adalah pusat dari produksi rokok kretek terbesar di Jawa Tengah dan juga sebagai kota kelahiran rokok kretek itu sendiri.
Selain dijuluki Kota Kretek, daerah ini juga dianggap sebagai salah satu kabupaten terkaya di Jawa Tengah. Setidaknya bila dibandingkan dengan daerah lainnya di pantura, misalnya Demak, Pati, Jepara, bahkan Semarang. Tentu anggapan ini tidak tanpa dasar. Pasti ada alasan yang membuat Kudus bisa dinobatkan jadi daerah terkaya di Pantura. Nah coba kita bedah dari kaca mata ekonomi.
Kalau kita cek di situs BPS Kudus, di situ tertera bahwa daerah ini punya pertumbuhan ekonomi sekitar 2 persenan pada 2024. Loh rendah banget dong kalau dibandingkan daerah lainnya misal Batang atau Kebumen yang di atas 4 persenan?
Sebentar dulu, ada indikator lain yang relevan untuk mengatakan bahwa Kudus memang daerah yang kaya di Pantura. Indikator itu disebut PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) per kapita.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kudus memang kecil, TAPI…
Nah PDRB Per kapita ini adalah nilai rata-rata hasil produksi barang dan jasa per penduduk di suatu daerah dalam setahun. Satuan ukur untuk indikator ini adalah nominal. Bedanya apa dengan pertumbuhan ekonomi? Kalau pertumbuhan ekonomi itu indikator yang menunjukan persentase dari kenaikan nilai total produksi barang dan jasa di suatu daerah dibandingkan tahun sebelumnya.
Daerah Kudus ini punya PDRB per kapita yang sangat tinggi yaitu 84,33 juta per tahun, Ini dua kali lipat lebih dari PDRB per kapita Semarang yang hanya 36,69 juta per tahun. Bahkan kalau dibandingkan dengan daerah lainnya, bisa 3 – 4 kali lipat lebih besarnya.
Tapi kenapa dengan PDRB per kapita setinggi itu, pertumbuhan ekonominya kok kecil? Jadi begini, korelasi antara PDRB per kapita dengan pertumbuhan ekonomi itu seperti sebuah dompet yang berisi uang.
Simulasinya begini, sebut saja dompet om Kudus ini isinya uang 100 juta, kemudian tahun depan nambah jadi 102 juta. Artinya ada penambahan 2 persen. Nah angka 2 persen ini disebut pertumbuhan ekonomi. Sementara 102 juta adalah PDRB per kapitanya.
Sementara dompet om Semarang isinya ada 50 juta dan tahun depan bertambah jadi 55 juta. Artinya ada penambahan 10 persen. Nah berarti pertumbuhan ekonominya 10 persen tapi PDRB per kapitanya hanya 55 juta.
Dilihat dari dua orang di atas, tentu yang lebih kaya adalah Om Kudus kan? Sederhananya sih begitu. Tingginya PDRB per kapita daerah Kudus ini tentu berkaitan erat dengan iklim industrialisasinya. Keberadaan pabrik rokok seperti PT Djarum sangat menopang tingginya PDRB per kapita di daerah tersebut. Hal itu kemudian berefek terhadap pembukaan lapangan kerja dan penciptaan ceruk-ceruk ekonomi baru seperti industri pengolahan dari rokok kretek itu sendiri, kemudian sektor nonformal seperti UMKM pun bergeliat ke arah yang positif.
Tidak representatif
Secara sosial, kondisi itu membuat Kudus bergerak lebih cepat dari segi pembangunan beradabannya, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik seperti jalan yang sangat baik. Selain itu, Kudus juga terkenal dengan tradisi filantropi yang amat kental. Sebut saja Djarum Foundation dan berbagai yayasan lokal yang aktif mendanai infrastruktur publik, beasiswa, hingga fasilitas olahraga kelas nasional.
Tapi ada catatan penting. PDRB per kapita yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan, apalagi berkaitan dengan pemerataan pendapatan. Sebab, PDRB per kapita bukan berarti pendapatan yang benar-benar diterima tiap orang. Jadi PDRB per kapita yang mencapai 83 juta per tahun itu tidak selalu mengindikasikan bahwa tiap warga Kudus punya Rp83 juta dalam setahun. Sebab, sejatinya indikator ini cuma nunjukin nilai ekonomi rata-rata, bukan distribusi riil ke masyarakat.
Baca halaman selanjutnya




















