Dua puluh tahun yang lalu, ketika saya masih menjadi mahasiswa baru, banyak saudara atau teman yang bertanya. Perempuan kok kuliah Jurusan Teknik Sipil? Mau jadi tukang? Ya mau jadi tukang insinyur, lah! Begitu jawaban saya saat itu.
Saya tentu saja sangat optimis. Tiga tahun sekolah di STM yang merupakan sarang buaya saja sanggup saya lewati tanpa banyak drama. Apalagi kuliah, yang tentu saja buayanya lebih jinak-jinak, pikir saya.
Saya merasa berbeda dengan teman-teman perempuan, yang kebanyakan lulusan SMA. Mereka sering merasa salah jurusan di awal masa perkuliahan di Jurusan Teknik Sipil. Mereka, para perempuan ini merasa kurang cocok dengan praktik memasang bata, membuat sambungan kayu, dan mengecor beton. Sementara itu, buat saya, aktivitas tersebut sudah jadi kebiasaan saya sejak STM.
Perempuan yang menikmati Jurusan Teknik Sipil
Dan tentu saja, selama kuliah di Jurusan Teknik Sipil, saya merasa enjoy, tidak stres, bisa mengikuti teori dan praktek. Saya bisa menikmati masa-masa kuliah yang terasa menyenangkan. Lulus kuliah, saya bisa mendapatkan pekerjaan di bidang teknik sipil, di sebuah pabrikasi beton precast. Yang tentu membuat saya semakin merasa tidak salah memilih jurusan.
Sebagai perempuan lulusan Jurusan Teknik Sipil, banyak hal menyenangkan yang saya dapatkan. Misalnya saat sedang mengawasi pengecoran, tiba-tiba hujan deras. Tanpa diminta, pasti ada bapak-bapak yang membawakan payung supaya saya tidak kehujanan. Hal seperti ini merupakan privilege yang tidak akan didapatkan oleh kaum laki-laki.
Ketika bekerja, kadang membuat saya merasa “keren” gitu. Bertemu dengan customer yang sama sekali nggak ngerti tentang beton, tapi saya bisa menjelaskannya dengan cukup baik. Saya pernah menjadi atasan dari anak-anak lulusan SMA yang baru belajar bekerja. Pernah juga menjadi atasan dari bapak-bapak yang sudah puluhan tahun bekerja di pabrik beton. Semuanya berkesan bagi saya.
Baca halaman selanjutnya: Kehidupan setelah pernikahan…